Wanprestasi dan Penipuan, Apa Bedanya?
Penulis: Sisilia Maria Fransiska
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat hampir selalu membuat perjanjian dengan pihak lain. Perjanjian yang dibuat tersebut akan melahirkan suatu perikatan. Makna perjanjian sendiri telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Suatu perjanjian akan melahirkan hak dan kewajiban atau yang biasa disebut dengan prestasi bagi masing-masing pihak.[1] Apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka pihak tersebut dianggap wanprestasi atau ingkar janji.[2] Akan tetapi, tidak jarang ketika salah satu pihak wanprestasi, justru akan dituntut secara pidana karena dianggap telah melakukan penipuan. Hal ini bisa saja terjadi karena masih adanya kebingungan di masyarakat mengenai perbedaan dari wanprestasi dan penipuan.
Wanprestasi merupakan bagian dari hukum perdata.[3] Menurut Prof. Subekti, wanprestasi terjadi apabila pihak yang berutang (debitur) tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati.[4] Wanprestasi dapat terjadi karena 4 (empat) hal, yaitu:[5]
- Tidak memenuhi prestasi dari perjanjian yang telah disepakati;
- Memenuhi prestasi dari perjanjian, namun tidak sebagaimana mestinya atau keliru;
- Memenuhi prestasi dari perjanjian, namun terlambat; dan
- Melakukan hal yang dilarang dalam perjanjian.
Dalam wanprestasi, apabila terdapat kebohongan maka kebohongan dilakukan setelah penutupan perjanjian dan tidak diketahui oleh siapapun termasuk debitur sendiri bahwa akan terjadi wanprestasi atau tidak.[6] Artinya, perjanjian yang dibuat sebenarnya dilandasi dengan iktikad baik, tetapi karena adanya situasi tertentu mengakibatkan debitur wanprestasi. Situasi tertentu yang dimaksud ini dapat terjadi karena kesalahan debitur atau keadaan memaksa (force majeur), yaitu keadaan di luar kehendak dari debitur.[7] Sebagai contoh, A meminjam uang dari B sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). A berjanji akan melunasi utangnya dengan cara mengangsur sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap bulan. Pada bulan pertama sampai bulan kelima, pengangsuran pelunasan utang dari A ke B berjalan lancar. Akan tetapi, pada bulan keenam, A hanya membayar kepada B sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). A memberitahu kepada B bahwa uangnya telah terpakai untuk membayar biaya pengobatan orang tuanya dan berjanji akan membayar kekurangannya bersama pembayaran utangnya pada bulan ketujuh. Dalam hal ini, A dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak mengangsur pelunasan utangnya sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu) setiap bulan.
Di sisi lain, penipuan merupakan bagian dari hukum pidana.[8] Dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Selanjutnya, dalam Pasal 492 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penipuan dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu:
- Memakai nama palsu;
- Memakai martabat/kedudukan palsu;
- Memakai tipu muslihat; atau
- Memakai rangkaian kebohongan.
Berbeda dengan wanprestasi, rangkaian kebohongan dalam penipuan terjadi sebelum penutupan kontrak dan menjadi sarana bagi seseorang untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain.[9] Kebohongan digunakan agar pihak lain menyerahkan barang sesuatu, memberi utang atau menghapus piutang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penipuan, memang terdapat iktikad buruk dari salah satu pihak sejak awal perjanjian dibuat. Dengan kata lain, salah satu pihak dalam perjanjian membuat kesepakatan dengan niat yang tidak baik yang dapat merugikan pihak lainnya dalam perjanjian. Sebagai contoh, A meminjam uang dari B untuk membuka sebuah restoran. Sebagai jaminan atas utangnya tersebut, A menjaminkan sebidang tanah yang dimilikinya seluas 5 (lima) hektar. A berjanji akan melunasi pinjamannya dalam waktu 3 (tiga) bulan. Hal ini membuat B sepakat dan meminjamkan uang kepada A. Setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan, A tidak melunasi utangnya sehingga B ingin mengeksekusi tanah yang A jaminkan. Akan tetapi, ternyata ketika B mendatangi lokasi tanah tersebut, tanah tersebut tidak ada. B juga mendatangi lokasi restoran A, namun restoran tersebut juga tidak ada. Dalam hal ini, maka A telah melakukan penipuan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian bisa terjadi wanprestasi atau penipuan. Wanprestasi atau penipuan ini dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Akan tetapi, keduanya merupakan 2 (dua) hal yang berbeda, baik dari ranah hukumnya, cara terjadinya, dan iktikad yang dimiliki ketika membuat perjanjian.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842).
Referensi
[1] Niru Anita Sinaga, Implementasi Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hukum Perjanjian, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Volume 10 – Nomor 1, September 2019, halaman 3.
[2] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), halaman 45.
[3] Juni Kristian Telaumbanua, Sunarmi, Madiasa Ablisar, Mahmud Muliadi, Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/Pn.Tbt Tertanggal 28 Mei 2019), Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, Volume 2 – Nomor 2, Juni 2021, halaman 301.
[4] Subekti, supra note nomor 2.
[5] Ibid.
[6] C. Djisman Samosir, S.H., M.H., Timbul Andes Samosir, S.H., Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bandung: Nuansa Aulia, 2020), halaman 141-142.
[7] Juni Kristian Telaumbanua, Sunarmi, Madiasa Ablisar, Mahmud Muliadi, supra note nomor 3, halaman 302.
[8] Si Pokrol, Wanprestasi dan Penipuan, https://www.hukumonline.com/klinik/a/wanprestasi-dan-penipuan-cl33/ (diakses pada 4 September 2022).
[9] C. Djisman Samosir, S.H., M.H., Timbul Andes Samosir, S.H., supra note nomor 6, halaman 142.