Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”
Narasumber : Renita Evelina – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
Berdasarkan aliran hukum kodrat, manusia ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan. Dalam aliran hukum ini dipercayai bahwa Tuhan menciptakan perempuan sebagai penolong yang sepadan dengan laki-laki. Menurut Thomas Aquinas, seorang laki-laki dan perempuan dikodratkan untuk hidup bersama, membina keluarga, dan memiliki anak.1 Di sisi lain, manusia adalah ciptaan Tuhan yang berbudi luhur dan beretika. Dua hal tersebut menyebabkan hukum perkawinan dikenal dalam masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengaturan tersebut menunjukkan bahwa Perkawinan merupakan sebuah ikatan perjanjian seumur hidup di antara seorang pria dan seorang wanita. Sejalan dengan hal ini, masyarakat Indonesia memaknai Perkawinan sebagai suatu ikatan yang suci dan sakral. Hal ini dapat terlihat jelas dari norma kebiasaan dan norma kesusilaan masyarakat Indonesia yang masih menentang keras adanya hubungan seksual di luar perkawinan atau zina. Masyarakat Indonesia menjunjung tinggi prinsip bahwa Perkawinan harus dilandaskan oleh ajaran agama atau kepercayaan yang mereka yakini.
Di sisi lain, Indonesia memberi kewajiban bagi masyarakatnya untuk melakukan pencatatan perkawinan manakala mereka telah melangsungkan Perkawinan. Hal ini dapat terlihat jelas dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi pun mewajibkan masyarakat Indonesia untuk melakukan pencatatan perkawinan demi kepentingan administratif. Sayangnya, masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk mencatatkan Perkawinan mereka, meski mereka telah menikah secara sah menurut agama atau kepercayaan yang dianut. Hal ini terlihat dari fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa mereka kerap menganggap Perkawinan yang sah menurut agama sudah cukup tanpa adanya pencatatan. Bagi mereka, Perkawinan mereka tersebut adalah sah. Pandangan ini bukan hanya terdapat pada masyarakat kalangan bawah, melainkan juga masyarakat kalangan atas. Contohnya, pasangan Ahmad Dhani dan Mulan Jameela, Amar Zoni dan Irish Bella, hingga Bambang Trihatmodjo dan Mayangsari masih diberitakan belum melakukan pencatatan perkawinan hingga tahun 2019.2 Pasangan-pasangan tersebut jelas bukanlah orang-orang yang berasal dari masyarakat kalangan bawah, melainkan public figure. Hal ini menunjukkan minimnya kesadaran pasangan-pasangan untuk melakukan pencatatan perkawinan bukan hanya terdapat di masyarakat kalangan bawah, melainkan juga masyarakat kelas atas. Adapun menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, konstruksi sosial dari perbuatan Perkawinan yang tidak dicatatkan terbagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:
- Perkawinan yang tidak
dicatatkan (nikah siri) yang bersifat eksploitatif dalam bentuk “kawin
kontrak”. Perkawinan macam ini sering terjadi antara warga negara asing
dengan perempuan lokal; - Perkawinan yang tidak
dicatatkan karena tidak memiliki akses terhadap pelayanan publik; dan - Perkawinan yang tidak
dicatatkan dengan tujuan hanya sebagai pelampiasan hasrat seksual semata.
Bila ditinjau lebih mendalam, Perkawinan yang dicatatkan pada negara dengan Perkawinan yang tidak dicatatkan ternyata memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda. Salah satu konsekuensi yuridis yang paling menonjol adalah terkait anak. Faktanya, masih banyak anak yang lahir dari Perkawinan yang tidak dicatatkan mengalami diskriminasi pemenuhan dan perlindungan hak anak, mencakup relasi dalam hukum keluarga. Selain itu, hak-hak anak atas pelayanan sosial dan pendidikan pun akan berbeda. Hal lain yang paling menonjol adalah anak yang dilahirkan dalam Perkawinan yang tidak dicatatkan akan memiliki akta kelahiran di luar kawin.3 Selain itu, konsekuensi yuridis lain yang mungkin timbul terkait dengan hak waris. Bukan hanya hak waris anak yang mungkin timbul masalah, hak waris pasangan justru tidak akan timbul secara hukum apabila Perkawinan mereka tidak dicatatkan.
Dengan melihat kaitan antara ketentuan yuridis, kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, serta konsekuensi yuridis dari tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, timbul pertanyaan: Apakah urgensi dari pencatatan perkawinan? Apakah pencatatan perkawinan adalah penentu sahnya perkawinan? Isu-isu semacam ini penting untuk diangkat demi meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan.
Guna menjawab pertanyaan dalam paragraf di atas, tentu masyarakat perlu meninjau UU Perkawinan sebagai payung hukum dalam permasalahan ini. Berdasarkan Pasal 2 (1) UU Perkawinan, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan dari pasangan. Adapun hukum agama atau kepercayaan yang dimaksud adalah hukum agama dan kepercayaan yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Ketentuan ini memperlihatkan secara jelas bahwa syarat sahnya suatu Perkawinan hanyalah apabila Perkawinan tersebut dinyatakan sah oleh hukum agama atau kepercayaan pasangan. Jadi, pencatatan perkawinan bukanlah penentu sah atau tidaknya suatu Perkawinan. Hal ini juga dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah faktor penentu sahnya Perkawinan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing- masing pasangan calon mempelai.
Urgensi pencatatan perkawinan dapat terlihat dari fungsi pencatatan perkawinan itu sendiri. Menurut Mahkamah Konstitusi, pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara dimaksudkan karena Perkawinan adalah perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh pasangan yang bersangkutan yang tentu menimbulkan konsekuensi yuridis yang sangat luas. Berkaitan dengan hal tersebut, dokumen yang dihasilkan dari pencatatan perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.4
Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan wajib untuk dilakukan meski tidak berkaitan dengan syarat sah suatu Perkawinan. Bukan hanya itu, edukasi bagi masyarakat untuk melakukan pencatatan perkawinan pun menjadi hal penting untuk dilakukan. Baiknya, negara dapat hadir untuk memberikan edukasi pada masyarakat terutama bagi pasangan-pasangan yang akan menikah terkait dengan pentingnya pencatatan perkawinan.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Referensi:
[1] Cliteur, Paul dan Afshin Ellian. 2019. A New Introduction to Jurisprudence Legality, Legitimacy, and the Foundations of the Law. New York: Routledge.
[2] Liputan6.com, 6 Deretan Artis yang Menikah Siri, Selain Ammar Zoni dan Irish Bella, https://www.liputan6.com/showbiz/read/4024450/6-deretan-artis-yang-menikah-siri-selain-ammar-zoni-dan-irish-bella (diakses 1 Juni 2019 pukul 19.27 WIB)
[3] Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Perkawinan yang Tidak Dicatatkan: Dampaknya Bagi Anak. https://www.kpai.go.id/berita/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak (diakses 26 April 2020 pukul 21.34 WIB)
[4] Marwin. 2014. “Pencatatan Perkawinan Dan Syarat Sah Perkawinan dalam Tatanan Konstitusi”. Asas. Volume 6-Nomor 2.
Tersedia di:
Spotify
Anchor
Google Podcast