Narasumber: Adrianus Adityo Vito Ramon, S.H., LL.M. (Adv.)
Instrumen hukum internasional yang berlaku saat ini di bidang kelautan adalah Konvensi Hukum PBB Tahun 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). UNCLOS 1982 memiliki pengaturan yang cukup luas mulai dari zona maritime yang dapat diklaim oleh suatu Negara, tentang riset kelautan, polusi, hingga prosedur penyelesaian sengketa diantara Negara-negara. Luas dan mendasarnya pengaturan UNCLOS 1982, telah membuat UNCLOS dijuluki sebagai Constitution of the Oceans oleh beberapa ahli hukum internasional dunia.
Manfaat positif UNCLOS 1982 ternyata tidak hanya dirasakan pada level internasonal. Secara khusus Indonesia juga telah merasakan banyak manfaat positif UNCLOS 1982. Terdapat cukup banyak elemen dimana manfaat UNCLOS 1982 dirasakan oleh Indonesia. Salah elemen dimana terdapat cukup besar manfaat telah dirasakan oleh Indonesia, adalah terkait zona maritim, dimana luas zona maritim yang dapat diklaim Indonesia bertambah berlipat kali secara damai.
Untuk dapat mengapresiasi secara penuh manfaat positif UNCLOS 1982 bagi Indonesia, maka kita harus kembali ke masa kolonial Belanda untuk melihat kondisi zona maritim yang dimiliki Hindia Belanda. Aturan domestik Hindia Belanda terkait zona maritim yang berlaku pada pada masa colonial adalah Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939. TZMKO 1939 mengatur bahwa lebar maksimal laut territorial yang dapat dimiliki Hindia Belanda adalah 3 Mil Laut (3 x 1,852 KM). Pengaturan tersebut dapat mengikuti prinsip cannon-shoot rule yang pertama dicetuskan oleh akademisi Belanda, Van Bynkershoek pada abad ke-17. Prinsip tersebut mengatakan bahwa lebar maksimal wilayah yang dapat diklaim suatu Negara pantai hanyalah sejauh jarak tembak meriam pantainya.
Konsekuensi berlakunya TZMKO 1939 pada Hindia Belanda adalah laut territorial Hindia Belanda hanya sejauh 3 Mil Laut dari masing – masing Pulaunya. Kondisi tersebut menimbulkan adanya Laut Bebas diantara laut territorial pada kepulauan Hindia Belanda. Wilayah maritim Hindia Belanda dapat diibaratkan seperti Keju Swiss yang penuh lubang/hampa ditengah-tengahnya.
Kondisi di atas terus berlaku pada saat Indonesia meraih kemerdekaannya di Tahun 1945. Karena Indonesia belum memiliki aturan domestik terkait wilayah maritime, TZMKO 1939 masih menjadi aturan yang mengatur untuk bidang wilayah maritime. Bagi sebuah Negara berdaulat, adanya kantong-kantong wilayah internasional diantara pulau-pulaunya tentu saja tidak ideal, atau bahkan berbahaya bagi Negara tersebut. Negara asing yang tidak bersahabat bisa dengan mudahnya melayarkan kapal perangnya untuk mengancam kedaulatan Negara. Hal ini bisa dilihat sewaktu terjadi pemberontakan PRRI/Permesta pada pertengahan Dekade 50-an dimana Armada Kapal Perang Asing bersiaga di lepas Pantai Indonesia.
Kondisi berbahaya tersebut juga disadari oleh Pemerintah Indonesia. Karenanya upaya untuk mengubah hal tersebut segera dilakukan. Dimulai semenjak masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang meminta seorang ahli hukum muda Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja untuk mengubah hal tersebut.
Dalam proses upayanya untuk mengubah sistem hukum internasional yang pada saat itu berlaku, Mochtar Kusumaatmadja menemukan putusan Mahkamah Internasional untuk Kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case. Terdapat satu elemen dari dalam kasus tersebut yaitu diterimanya praktik Norwegia yang menerapkan garis pangkal lurus (strait baselines) untuk menutup pulau-pulau kecil (fringes of islands) yang berlokasi di hadapan pantainya.
Mochtar Kusumaatmadja terinspirasi dari praktik Norwegia akhirnya mengusulkan agar Indonesia, dapat menggunakan garis pangkal lurus untuk menutup pulau-pulau di dalam Kepulauan Indonesia. Usulan yang pada akhirnya dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 sebagai, dengan formulasi inti sebagai berikut:
… “segala perairan di
sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas
atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik
Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal
asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.”…
Deklarasi Djuanda yang pada dasarnya merupakan suatu deklarasi politik yang bersifat unilateral, segera disusul dengan suatu peraturan perundang-undangan domestik Indonesia yang mengejewantahkan deklarasi tersebut, yaitu UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Dengan dideklarasikannya Deklarasi Djuanda dan kemudian diatur dalam UU No. 4/PRP/1960 maka laut bebas yang sebelumnya terdapat diantara pulau-pulau Indonesia, menjadi hilang dan menjadi suatu perairan kepulauan Indonesia, dimana Indonesia memiliki kedaulatan di wilayah tersebut.
Namun demikian, perjuangan jauh dari selesai. Deklarasi unilateral Indonesia tersebut tidak serta merta diterima masyarakat internasional. Negara-negara maritime besar yang secara tradisional sudah biasa menggunakan laut bebas di antara Pulau-pulau Indonesia sebagai jalur pelayaran Angkatan Lautnya segera menyatakan penentangannya dengan Deklarasi Djuanda. Lalu, dimulailah kisah panjang perjuangan diplomasi Indonesia, semenjak Konferensi Hukum Laut PBB I di Jenewa tahun 1958, Konferensi Hukum Laut PBB II Tahun 1960, hingga Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1973-1982 untuk memperjuangan diterimanya prinsip Deklarasi Djuanda, yang kemudian dikenal dengan istilah prinsip Negara Kepulauan, oleh masyarakat Indonesia.
Dalam Konferensi Hukum Laut PBB III, Indonesia mengajak like-minded countries, Negara-negara yang bentuk geografisnya serupa dengan Indonesia, kepulauan, seperti Filipina, Fiji, Mauritius, dan Papua Nugini, untuk bersama-sama berjuang hingga diterimanya prinsip Negara kepulauan dalam UNCLOS 1982. Dengan diterimanya prinsip Negara kepulauan dalam UNCLOS 1982, secara resmi menurut hukum internasional, wilayah kedaulatan Indonesia bertambah empat kali lipat tanpa harus menembakan sebutir pelurupun. Suatu kemenangan diplomatik Indonesia yang luar biasa. Betapa Indonesia tidak menentang hukum internasional, namun berupaya membuat hukum internasional baru yang menguntungkan Indonesia. Contoh di atas hanyalah satu contoh utama dari manfaat positif UNCLOS 1982 bagi Indonesia.
UNCLOS 1982 memanglah bukah suatu instrumen hukum internasional yang sempurna. UNCLOS 1982 tetaplah merupakan suatu instrumen hukum internasional hasil negosiasi Negara-negara sepanjang 9 tahun selama Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1973-1982, sehingga cukup banyak definisi dan terminology dalalam UNCLOS 1982 yang relative ambigu dan fleksibel dan cukup membingungkan serta merupakan hasil quid pro quo, tawar menawar dalam proses negosiasi multilateral. Diterimanya prinsip Negara kepulauan pun merupakan salah satu contoh nyata hasil quid pro quo dengan ketentuan terkait alur laut kepulauan.
Namun demikian, UNCLOS 1982 tetaplah merupakan instrumen hukum internasional terbaik yang dimiliki masyarakat internasional saat ini yang mengatur di bidang kelautan. Berbagai ketentuan dalam UNCLOS 1982 bahkan sudah dianggap Hukum Kebiasaan Internasional bagi Negara-negara yang belum/tidak menjadi pihak dalam UNCLOS 1982.
Karenanya sudah menjadi posisi dasar Indonesia untuk selalu menjaga keutamaan nilai UNCLOS 1982 dalam berbagai fora internasional. Dalam berbagai negosiasi batas maritim yang dilakukan Indonesia, Indonesia selalu menggunakan UNCLOS 1982 sebagai dasar bernegosiasi. Dalam upaya menyelesaikan berbagai isu dan persoalan di bidang kelautan, Indonesia selalu menggunakan UNCLOS 1982 sebagai dasar hukumnya.
Untuk itu, di awal Tahun menjelang peringatan 40 Tahun disepakatinya UNCLOS 1982, 10 Desember 1982, sudah sepantasnya para cendekiawan hukum di Indonesia turut serta memperingati peristiwa penting ini. Peringatan tersebut hendaknya dilakukan dengan melakukan berbagai kegiatan yang berguna misalnya dengan melakukan berbagai kajian di bidang Hukum Laut dan UNCLOS 1982. Tujuan utamanya dari berbagai kegiatan tersebut untuk menyebarluaskan nilai penting serta berbagai ketentuan utama UNCLOS 1982 bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Selamat memulai peringatan 40 Tahun disepakatinya UNCLOS 1982.
Di Lautan-lah, Kita Berjaya. !!!
Tersedia di: