Narasumber: Tiara Nabila – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (Selanjutnya disebut RUU PKS) resmi disahkan pada hari Selasa, tanggal 12 April 2022 menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Selanjutnya disebut UU TPKS).[1] Pengesahan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) ini menjadi sorotan dan perbincangan hangat di kalangan aktivis maupun akademisi. Hal tersebut dikarenakan UU TPKS menjadi sebuah pengaturan hukum yang secara spesifik mengatur mengenai tindak pidana khusus yaitu tindak pidana kekerasan seksual. Apabila dibandingkan dengan sebelum adanya UU TPKS, pengaturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual akan bergantung pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) serta tersebar pula di beberapa undang-undang seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Pornografi, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.[2] Namun, dengan adanya UU TPKS pengaturan yang tersebar tersebut menjadi spesifik dalam satu undang-undang. Perubahan tersebut tentu membawa pengaruh terhadap beberapa aspek terutama terkait materiil (substansi) serta formil (hukum acara).
Transformasi dari sisi substansi yang pertama dapat diketahui dari pengaturan mengenai ruang lingkup tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS. Setidaknya terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam pasal tersebut yakni, pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (2) juga menyebutkan sepuluh macam bentuk tindak pidana kekerasan seksual selain yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1). Dengan adanya pengaturan yang spesifik mengenai ruang lingkup ini dapat dimaknai bahwa UU TPKS hendak mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam perbuatan tindak pidana, namun sebelumnya tidak diatur di dalam KUHP. Ketentuan yang demikian ini menunjukkan bahwa UU TPKS merupakan wujud hadir pemerintah dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan. Berbeda halnya dengan KUHP yang memandang bahwa kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan semata. Padahal pengkategorian yang demikian ini tidak saja akan mengakibatkan pengurangan derajat tindak pidana yang dilakukan, namun juga berpengaruh pada pandangan bahwa kekerasan seksual hanyalah persoalan moralitas saja.[3] Selain itu berbicara mengenai perkosaan, disebutkan dalam Pasal 285 KUHP:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama lamanya dua belas tahun”
Penafsiran hukum di Indonesia mengenai perkosaan dalam KUHP tersebut hanya terbatas pada tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi alat kelamin laki-laki ke perempuan dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat tindakan tersebut. Definisi tersebut dinilai sempit, karena tentu banyak jenis dan keragaman pengalaman akan perkosaan yang jika hanya mengacu pada penafsiran tersebut, akan banyak perbuatan tindak pidana yang tidak terakomodir olehnya.[4] Selain itu KUHP hanya terfokus pada sanksi untuk pelaku, sementara seharusnya hak-hak korban yang dirugikan atas perbuatan pelaku juga menjadi perhatian.
Mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa UU TPKS ini mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang tidak diatur oleh KUHP. Terdapat contoh lain dari perbuatan tersebut yakni kekerasan seksual di luar pernikahan. Tidak adanya ikatan pernikahan tidak menjamin perempuan terlepas dari kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini ditunjukkan oleh data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (selanjutnya disebut KPPPA) bahwa diantara banyaknya kasus kekerasan pada perempuan, baik secara fisik maupun seksual dialami oleh perempuan yang belum menikah sebesar 42,7 persen.[5] Selain itu, pada tahun 2016 terlihat bahwa dari 10.847 (sepuluh ribu delapan ratus empat puluh tujuh) pelaku kekerasan sebanyak 2.090 (dua ribu sembilan puluh) pelaku kekerasan adalah pacar atau teman.[6] Meski kekerasan seksual pada perempuan di luar pernikahan pun banyak terjadi, namun sebelum adanya UU TPKS penanganan terhadap kasus demikian sangatlah kacau. Terdapat sekitar 26 (dua puluh enam) persen penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan menikahkan korban dan pelaku kekerasan seksual.[7] Hal ini justru menunjukkan bahwa hukum Indonesia tidak memihak pada korban.[8] Permasalahan-permasalahan demikian pada akhirnya oleh UU TPKS diantisipasi dengan aturan Pasal 6b yang menyatakan bahwa:
“Dipidana karena pelecehan seksual fisik:
Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Bentuk pengaturan tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah sadar terhadap kenyataan bahwa kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh pasangan yang telah menikah, sehingga regulasi tersebut pada akhirnya diatur menjadi salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual.
Kemudian, terkait dengan bagaimana perubahan yang nampak pada sisi formil (hukum acara) setelah adanya UU TPKS, dapat diperhatikan mengenai beberapa hal. Pertama, melihat keberlakuan KUHAP yang condong kepada perlindungan atas hak-hak pelaku, sedangkan untuk menjamin hak-hak korban hampir nihil. Hal ini dapat dibuktikan dengan sistem pembuktian pada kasus kekerasan seksual diperlakukan sama dengan pembuktian dalam tindak pidana lainnya. Bahwa keterangan satu saksi tidak bisa menjadi alat bukti untuk membuktikan terdakwa bersalah jika tidak disertai 1 (satu) alat bukti lainnya.[9] Bahkan keterangan saksi korban seringkali tidak dipercaya oleh Aparat penegak hukum karena kekerasan seksual yang dialami korban selalu dihubungkan dengan perilaku, cara berpakaian, dan riwayat seksual korban.[10] Berbeda halnya dengan UU TPKS yang mana sistem pembuktian diatur dalam Pasal 25 UU TPKS menyebutkan bahwa,
“Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Kedua, terkait dengan ganti rugi dan pemulihan. Sebelum UU TPKS disahkan, maka pengaturan hukum mengenai hal tersebut tidak diatur secara spesifik. Namun secara implisit, dalam Pasal 14c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dinyatakan bahwa:
“Dalam perintah yang dimaksud dalam pasal 14a kecuali jika dijatuhkan denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, Hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaannya harus mengganti segala kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana tadi.”
Maka, menurut ketentuan Pasal 14 a, b dan c KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus pada terdakwa dengan tujuan agar pelaku mengganti kerugian pada korban.[11] Namun, setelah UU TPKS ini disahkan, pengaturan mengenai ganti kerugian dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual diatur secara spesifik dalam Pasal 30 sampai 38 UU TPKS dengan menggunakan istilah “restitusi”. Pasal 30 UU TPKS menyebutkan bahwa:
“Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.”
Lebih lanjut, pada Pasal 31 sampai Pasal 38 UU TPKS mengatur perihal bentuk restitusi, hak atas restitusi, jangka waktu pemberian restitusi, serta penyitaan harta kekayaan terpidana kasus kekerasan seksual. Adanya pengaturan yang lebih spesifik mengenai ganti rugi dan pemulihan pada korban ini menjadi bukti bahwa pemerintah betul-betul ingin menciptakan perlindungan hak atas korban kekerasan seksual.
Terakhir, mengenai penyelesaian kasus kekerasan seksual yang diatur secara pasti dalam UU TPKS ini akan mengakhiri problematika kasus kekerasan seksual yang terjadi secara damai atau mediasi. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2019 lalu, kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (selanjutnya disebut UGM) ketika tengah menjalani masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) nya di tahun 2017.[12] Setelah kurang lebih satu setengah tahun mencari keadilan, penyelesaian kasus kekerasan seksual pada mahasiswi UGM tersebut justru berakhir dengan kata damai melalui proses kekeluargaan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara korban, pelaku serta Rektor UGM sebagai fasilitator pada Senin, 4 Februari 2019.[13] Penyelesaian yang seperti ini seharusnya tidak terjadi. Hal ini dikarenakan memberikan kesan bahwa supremasi hukum tidak memihak pada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Namun, dengan adanya UU TPKS ini seakan menjadi harapan pembuka belenggu ketakutan perempuan di Indonesia terhadap kasus kekerasan seksual. Mengingat isi dari muatan UU TPKS yang merincikan mulai dari ruang lingkup tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual, proses peradilan, hak-hak korban keluarga dan saksi, bahkan hingga penyelenggaraan pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak di pusat daerah, pencegahan koordinasi dan pemantauan serta partisipasi masyarakat dan keluarga. Sebagai salah satu contoh, terdapat pengaturan dalam Pasal 20 UU TPKS yang secara tegas menyebutkan bahwa:
“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk yang diberlakukan secara khusus dalam Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tertentu, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Pasal tersebut hendak menegaskan bahwa apabila terjadi suatu tindak pidana kekerasan seksual, tidak ada lagi penyelesaian yang berakhir hanya dengan kata damai. Hal ini tentu karena tujuan UU TPKS adalah untuk menjamin keberlangsungan hak-hak korban serta menjamin kepastian hukum.
Transformasi yang ada pada UU TPKS ini juga tidak terlepas dari sistem dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU TPKS. Lebih lanjut dalam Pasal 73 dinyatakan secara spesifik, para pihak tersebut adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian lainnya. Bahkan, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (selanjutnya disebut Permendikbud) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang mulai berlaku pada 3 September 2022. Mengacu pada Pasal 2 Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tersebut Peraturan Menteri ini bertujuan:
“a. sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan
b. untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.”
Hal ini menjadi bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggapi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Kemudian, apabila mengacu pada Pasal 76 ayat (2) UU TPKS pemerintah daerah juga memiliki kewajiban untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). UPTD PPA menurut Pasal 1 butir 11 UU TPKS merupakan unit pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan Anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lainnya. Tugas dari UPTD PPA lebih lanjut diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UU TPKS. Selain pemerintah pusat dan daerah, terdapat pula keterlibatan lembaga nonstruktural seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sebagaimana diatur dalam UU TPKS, LPSK ini memiliki tugas dan wewenang untuk berwenang untuk memberikan pelindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/ atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Adanya transformasi yang diakibatkan oleh pengesahan UU TPKS ini diharapkan menjadi titik terang dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan. Selain itu, UU TPKS ini dapat membuat seluruh perempuan di Indonesia merasakan perlindungan hukum yang konkret sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya tanpa takut akan kemungkinan kekerasan seksual yang dapat terjadi pada diri mereka. Namun terlepas dari itu semua, pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum serta masyarakat perlu betul-betul menjalankan dan mengimplementasikan UU TPKS itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar UU TPKS tersebut menjadi jawaban bagi kebutuhan akan perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6792).
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (selanjutnya disebut Permendikbud) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Berita Negara Tahun 2021 Nomor 1000).
Referensi:
[1] Haris Setyawan, Kilas Balik 10 Tahun Perjalanan UU TPKS, https://nasional.tempo.co/read/1582527/kilas-balik-10-tahun-perjalanan-uu-tpks (diakses pada 27 April 2022)
[2] Lia Hutasoit, Deretan UU yang Mengatur soal Kekerasan Sebelum Ada UU TPKS, https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/deretan-uu-yang-mengatur-soal-kekerasan-seksual-sebelum-ada-uu-tpks?page=all (diakses pada 1 Agustus 2022)
[3] DPR-RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
[4] Ibid, hal 6
[5] KPPPA, Waspada Bahaya Kekerasan dalam Pacaran, https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1669/waspada-bahaya-kekerasan-dalam-pacaran (diakses pada 27 April 2022).
[6] Ibid.
[7] Ghaffar Ramdi, Revitalisasi Payung Hukum Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia, https://baktinews.bakti.or.id/artikel/revitalisasi-payung-hukum-kasus-kekerasan-seksual-di-indonesia (diakses 27 April 2022).
[8] Bestha Inatsan A dan Marsha Maharani, “Nikahin aja!”: Penanganan Kasus Pemerkosaan dan Kekerasan Seksual Selama ini Belum Fokus pada Pemulihan dan Hak Korban, http://ijrs.or.id/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban/ (diakses pada 28 April 2022).
[9] DPR-RI, Op.Cit, Hal 54.
[10] Ibid, Hal 55.
[11] Johan Runtu, Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Peradilan Pidana, Lex Crimen, Volume 1-Nomor 2, Juni 2012, halaman 33.
[12] Yaya Ulya, Kasus Dugaan Kekerasaan Seksual di UGM Berakhir Damai, https://www-bbc-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.bbc.com/indonesia/trensosial-47116889.amp?amp_gsa=1&_js_v=a9&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#amp_tf=From%20%251%24s&aoh=16511399885349&csi=1&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&share=https%3A%2F%2Fwww.bbc.com%2Findonesia%2Ftrensosial-47116889 (diakses pada 28 April 2022)
[13] Dipna Videlia, Kasus Agni Berakhir “Damai”: Cermin Buram Kasus Pelecehan di Kampus, https://amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/kasus-agni-berakhir-damai-cermin-buram-kasus-pelecehan-di-kampus-dfTp?amp_gsa=1&_js_v=a9&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#amp_tf=From%20%251%24s&aoh=16511411142932&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&share=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fkasus-agni-berakhir-damai-cermin-buram-kasus-pelecehan-di-kampus-dfTp (diakses pada 28 April 2022).
Tersedia di: