Tanggung Jawab Hukum Suatu Institusi Terhadap Pekerjanya Selama Masa Pandemi Covid-19

Narasumber: Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.

Notulen: Nicolas Wianto

Pandemi Coronavirus Disease (selanjutnya disebut Covid-19) turut berpengaruh pada Hukum Ketenagakerjaan. Hal yang akan dibahas adalah mengenai seberapa jauh suatu perusahaan yang melakukan work from office harus bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja para pekerjanya, termasuk risiko untuk terpapar Covid-19. Konsep pertanggungjawaban berdasarkan risiko yang dapat terjadi pada pekerja mirip dengan pertanggungjawaban lingkungan yang sama-sama memberikan pertanggungjawaban bukan berdasarkan kesalahan, melainkan berdasarkan risiko. Covid-19 memiliki risiko yang tinggi bagi orang lain, oleh karena itu perlu dipertanyakan pertanggungjawaban suatu perusahaan terhadap risiko ini, baik dari segi moral dan terutama dari segi hukum.

Tanggung jawab perusahaan yang pertama adalah mencegah penyebaran Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan. Perusahaan yang mengumpulkan orang, otomatis protokol kesehatannya harus lebih ketat. Terdapat macam-macam gradasi pertanggungjawaban perusahaan yang tergantung dari risiko pekerjaannya, contohnya pekerja bangunan yang terikat pada keselamatan kerja. Salah satu bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap contoh tersebut adalah pemberian asuransi. Apabila dihubungkan dengan pandemi Covid-19, belum diketahui apakah peraturan perundang-undangan di Indonesia akan mengatur mengenai pertanggungjawaban terhadap risiko Covid-19 berupa pemberian asuransi. 

Hal yang dibahas berikutnya adalah mengenai pertanggungjawaban perusahaan apabila  satu atau lebih pekerja di suatu perusahaan terpapar Covid-19 akibat diberlakukannya kebijakan work from office dari perusahaan. Memang seharusnya perusahaan bertanggung jawab atas hal tersebut, namun perlu dipertanyakan apakah hukum sudah menjangkau pertanggungjawaban perusahaan terhadap risiko yang sudah terjadi. Terdapat banyak kemungkinan seseorang dapat terpapar Covid-19, baik itu pada saat perjalanan menuju perusahaan, pada saat makan siang, pada saat tidak mengikuti protokol kesehatan, atau bahkan pada saat mengikuti protokol kesehatan. Hingga saat ini, hukum Indonesia belum mengatur mengenai hal tersebut.

Tidak sepenuhnya semua hal dapat beralih secara daring, misalnya saja fungsi penjara dalam lembaga pemasyarakatan, pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan dunia pendidikan. Contoh dari pekerjaan yang masih beroperasi adalah Gojek. Pekerja Gojek dalam melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan masyarakat. Apabila pekerja Gojek tersebut terpapar Covid-19, sudah seharusnya pertanggungjawabannya ada perusahaan melalui klaim asuransi. Artinya, risiko tersebut dipindahkan kepada asuransi. Negara-negara yang sudah lebih maju dari Indonesia sudah menerapkan hal ini. Pertanyaan berikutnya adalah apakah lembaga asuransi mau menanggung risiko terpapar Covid-19 yang sangat tinggi. Hal inilah yang mencerminkan terdapat kekosongan hukum di Indonesia mengingat banyak sektor yang sudah sepatutnya dilaksanakan secara tatap muka, misalnya sekolah, perusahaan, ataupun Pemerintah Daerah. Berkaitan dengan masalah Pemerintah Daerah, bagaimana pertanggungjawaban Gubernur/Bupati/Walikota apabila terdapat perangkatnya yang terpapar Covid-19. Apakah pertanggungjawaban tersebut hanya sebatas memulangkan karyawan serta menutup kantornya? Protokol kesehatan merupakan hal minimal yang dilakukan oleh setiap perusahaan, lalu apakah tanggung jawabnya hanya sebatas itu? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, terdapat 2 (dua) perbedaan pertanggungjawaban dari pihak swasta maupun pemerintah. Pertanggungjawaban pemerintah tentu lebih besar, misalnya saja polisi dan militer yang memang hakikatnya bekerja secara langsung. Apakah cara berpikir Hukum Lingkungan mengenai pertanggungjawaban terhadap risiko dan pertanggungjawaban terhadap risiko yang terjadi dapat diterapkan dalam topik ini, terutama untuk bidang pekerjaan publik maupun swasta.

Terdapat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja pada Kasus Penyakit Akibat Kerja dalam Kasus Covid-19. Akan tetapi, surat edaran tersebut hanya berlaku untuk tenaga medis dan para pelaku kesehatan non-dokter. Memang, tenaga medis dan pekerjaan lain yang berkaitan dengan bidang kesehatan memiliki risiko yang lebih tinggi terpapar Covid-19. Prinsip berdasarkan risiko pada surat edaran ini dapat diterapkan pada pekerjaan-pekerjaan lain yang terdampak Covid-19. Persoalan pertanggungjawaban risiko tersebut dapat diselesaikan dengan asuransi. Akan tetapi, permasalahan lainnya adalah asuransi yang menanggung risiko besar tentu memiliki premi yang besar. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan rasa aman kepada pekerja di suatu perusahaan.

Pada dasarnya, banyak hal mengenai pertanggungjawaban terhadap risiko Covid-19 yang belum diatur di Indonesia. Meskipun demikian, perusahaan juga belum berinisiatif untuk menerapkan peraturan perusahaan mengenai pertanggungjawaban terhadap risiko Covid-19. Muncul persoalan apakah inisiatif harus terdapat pada pemerintah. Jawabannya perusahaan dan masyarakat tidak selalu harus menunggu pemerintah. Bahkan, pemerintah sendiri cenderung tidak satu suara dalam mengatur serta menerapkan peraturan mengenai pertanggungjawaban terhadap risiko Covid-19. Perlu adanya inisiatif dari instansi-instansi terkait untuk menanggulangi permasalahan paparan Covid-19. Misalnya saja sekolah yang ingin menerapkan pembelajaran tatap muka dapat menyiasati risiko dengan cara pembelajaran tatap muka terbatas atau mencampurkan metode pembelajaran secara luar jaringan maupun dalam jaringan. Oleh karena itu, menjadi tidak masuk akal apabila inisiatif selalu harus ada pada pemerintah.

Salah satu hal yang dipertanggungjawabkan perusahaan adalah vaksin. Perusahaan memfasilitasi vaksin melalui pembiayaan vaksin pekerjanya agar dapat bekerja secara langsung. Akan tetapi, vaksin dinilai bukanlah solusi karena virus dapat saja terus bermutasi dan juga terdapat beberapa orang yang tidak ingin divaksin. Pada praktiknya, banyak perusahaan yang lepas tangan apabila terdapat pekerjanya yang terpapar Covid-19 akibat pekerjaannya dengan dalih sudah mewajibkan divaksin. Hal ini memang masuk akal, tetapi belum tentu dapat dibenarkan.

Apabila dibandingkan dengan konteks negara, bagaimana pertanggungjawaban negara terhadap paparan Covid-19 warganya akibat kebijakan negara. Misalnya kebijakan negara terkait pelarangan mudik pada hari lebaran yang disiasati warga dengan mudik sebelum hari lebaran. Selain itu, terdapat juga permasalahan mengenai penerbangan internasional yang meloloskan orang pembawa Covid-19 karena menyuap pihak bandara. Hal ini dapat meresikokan keselamatan suatu negara. Hukum Indonesia hanya mengatur mengenai kejahatan penyuapan yang dilakukan, tetapi tidak mengatur risiko yang dialami oleh suatu negara.

Penanganan permasalahan Covid-19 di Indonesia dibagi 2 (dua) oleh pemerintah, yaitu mengutamakan ekonomi atau mengutamakan kesehatan. Hal ini seharusnya tidak selalu secara ekstrim dipisahkan. Apabila berbicara ekonomi, terdapat berbagai macam pendekatan berbeda untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi akibat Covid-19 jika dilihat dari kelas ekonominya. Salah satu cara yang diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi di kelas menengah ke atas adalah membatasi pengunjung, tetapi tetap memberikan rasa aman kepada pengunjung dan pengelola melalui penggunaan protokol kesehatan. Permasalahan lain terhadap Covid-19 adalah secara geografis luas negara Indonesia yang besar serta terdapat keberagaman penduduk di Indonesia, namun tidak terdapat disiplin dari masyarakat Indonesia. Risiko terhadap pandemi Covid-19 disadari hampir oleh setiap masyarakat, namun terdapat juga orang-orang yang tidak peduli atau tidak memprioritaskan risiko tersebut. Hal ini sangat mungkin terjadi pada masyarakat ekonomi kelas bawah. Permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dengan 1 (satu) cara penyelesaian.

Hukum Indonesia masih memfasilitasi pertanggungjawaban suatu perusahaan apabila perusahaan abai terhadap risiko atau pertanggungjawaban pekerja yang tidak menaati protokol kesehatan, yaitu Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Persoalannya adalah penyelesaian perkara di pengadilan bukan merupakan hal yang disukai oleh warga Indonesia. Hal yang disukai adalah dengan kekeluargaan. Terdapat socio-legal studies yang mengatakan bahwa status sosial orang yang bersengketa turut mempengaruhi proses penyelesaian sengketa. Selain itu, terdapat juga mekanisme permintaan pertanggungjawaban melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Akan tetapi, belum terdapat keberanian masyarakat untuk bereksperimen menggunakan penyelesaian sengketa pada lembaga peradilan. Sekali lagi, pertanggungjawaban berdasarkan risiko yang dianut oleh Hukum Lingkungan seharusnya dapat diterapkan pada topik ini sehingga dapat menjadi jalan untuk menggugat. Pemerintah perlu menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi selama masa pandemi ini, namun jangan mengharapkan hukum memberikan jawaban generik terhadap semua permasalahan yang terjadi.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...