Home / Uncategorized / Sosialisasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UNPAR

Sosialisasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UNPAR

Narasumber: Satgas PPKS UNPAR

Notulen: Febri Patricia Simanjuntak

Pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Katolik Parahyangan (selanjutnya disebut sebagai Satgas PPKS UNPAR) berawal dari keresahan beberapa dosen UNPAR yang melihat fenomena kekerasan seksual di beberapa perguruan tinggi Indonesia baik yang dialami sesama dosen maupun antara dosen dan mahasiswa. Kemudian, para dosen ini merefleksikan diri terkait apakah ada kejadian kekerasan seksual di UNPAR dan apakah ada yang pernah melaporkan kejadian tersebut. Selanjutnya, para dosen ini mengadakan survei mengenai ada atau tidaknya atau bagaimana pemahaman Civitas Akademika UNPAR tentang ada atau tidaknya kejadian kekerasan seksual di UNPAR. Hasil survei tersebut kemudian dipresentasikan di hadapan pejabat rektorat UNPAR serta para dosen berusaha untuk mendorong tindakan penanganan lebih lanjut sebab survei membuktikan ada beberapa kejadian kekerasan seksual yang tidak dilanjuti atau korban tidak pernah melaporkan kejadian tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa korban selama ini tidak pernah menceritakan kejadian yang dialaminya, namun baru menyampaikannya saat mengisi survei.

Pada waktu yang tidak jauh berbeda diterbitkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Riset Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (selanjutnya disebut sebagai Permendikbud Ristek 30/2021) yang mengamanahkan seluruh perguruan tinggi untuk membentuk Satgas PPKS di lingkungan perguruan tinggi. Berbekal dari diterbitkannya Permendikbud Ristek 30/2021 dan hasil survei yang telah dilakukan, para dosen mendorong para pejabat rektorat untuk segera menerbitkan peraturan Rektor UNPAR terkait. Akhirnya, diterbitkan Peraturan Rektor Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Universitas Katolik Parahyangan yang harus ditindaklanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas. Berdasarkan Permendikbud Ristek 30/2021, pembentukan Satuan Tugas harus melalui panitia seleksi dan lain sebagainya. Prosedur pembentukan panitia seleksi dan penjaringan tersebut sudah dilakukan oleh UNPAR dan terpilihlah beberapa orang dari dosen, tenaga pendidikan, dan mahasiswa untuk menjadi Satgas PPKS UNPAR.

Kewenangan, fungsi, dan tugas Satgas PPKS UNPAR dapat diketahui dengan mengacu dalam 2 (dua) dokumen yang dikeluarkan UNPAR, yaitu Peraturan Rektor tentang PPKS dan Surat Keputusan Rektor tentang Pembentukan Satgas PPKS yang tentunya merujuk kepada Permendikbud Ristek 30/2021. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa fungsi Satgas PPKS UNPAR adalah: 

  • Pencegahan kekerasan seksual di UNPAR

Pencegahan yang dimaksud merupakan apapun tindakan, cara, dan proses agar seluruh Civitas Akademika di UNPAR tidak melakukan kekerasan seksual di UNPAR.

  • Penanganan kekerasan seksual di UNPAR

Penanganan adalah tindakan, cara, dan proses untuk menangani ataupun menindaklanjuti berbagai laporan atau pengaduan kekerasan seksual.

Tugas dari Satgas PPKS UNPAR adalah:

  • Mengadakan survei kekerasan seksual di kampus;

Satgas PPKS UNPAR telah melaksanakan survei pertama mengenai baseline kondisi kekerasan seksual yang sudah disebarkan di akhir November 2022.

  • Mensosialisasikan kesadaran dan pendidikan tentang kesetaraan berbasis gender dan kekerasan seksual;
  • Menindaklanjuti pengaduan kekerasan seksual yang masuk;
  • Mengkoordinasi pihak penyedia layanan dan instansi yang berwenang atau berkapasitas untuk melindungi korban;
  • Memantau pelaksanaan rekomendasi Satgas terhadap pimpinan; dan
  • Menyampaikan laporan kepada pimpinan universitas paling sedikitnya sekali dalam 6 (enam) bulan.

Kewenangan yang diberikan terhadap Satgas PPKS UNPAR:

  1. Memanggil dan meminta keterangan korban, saksi, terlapor, atau ahli;
  2. Meminta bantuan pimpinan universitas (Rektor) untuk menghadirkan saksi, terlapor, atau ahli ketika ada pihak terlapor yang tidak ingin atau tidak berwenang untuk hadir dimintai keterangan sebagai salah satu mekanisme dalam prosedur pengaduan; dan
  3. Melakukan konsultasi dengan berbagai pihak terkait.

Adapun, Satgas PPKS UNPAR tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, namun dapat memberikan rekomendasi kepada Rektor untuk pemberian sanksi, sehingga Rektor yang akan menjatuhkan sanksi bila diperlukan. Hal ini didasari karena Satgas PPKS UNPAR tidak berkedudukan di atas dosen, mahasiswa, tenaga pendidikan, atau siapapun yang menjadi subjek dari pencegahan kekerasan seksual di UNPAR.

Korban ataupun pihak yang mengetahui terjadinya kekerasan seksual dapat memberikan laporan kepada Satgas PPKS UNPAR. Laporan tersebut dapat ditujukan ke hotline Satgas PPKS UNPAR di nomor 081320744852 atau email satgasppks@unpar.ac.id. Lebih lanjut, laporan yang diterima ini tidak hanya terbatas dari korban tetapi juga dapat berasal dari pihak ketiga, teman, orang yang menyaksikan, ataupun keluarga. Laporan tersebut akan dilakukan verifikasi oleh Divisi Laporan dan Penanganan, kemudian akan dilakukan tindak lanjut dengan asesmen awal. Asesmen awal ini dilakukan untuk melihat apakah ada bukti-bukti yang cukup untuk menindaklanjuti hal tersebut. Kemudian, akan dilakukan tindakan lanjutan berdasarkan rapat yang dilakukan. Tindakan lanjutan ini dapat berupa:

  1. Investigasi etik yang melibatkan korban dan terduga pelaku;
  2. Pemeriksaan medis korban yang akan dirujuk ke pihak ketiga seperti rumah sakit, klinik, dan sebagainya;
  3. Pemeriksaan psikis korban yang akan dirujuk ke pihak ketiga; atau
  4. Merujuk ke pihak berwajib dan LBH “Pengayoman” UNPAR untuk melakukan pendampingan.

Setelah itu, Satgas PPKS UNPAR akan memberikan rekomendasi kepada Rektor terkait langkah atau usulan yang harus dilakukan terhadap pelaku jika memang terbukti terjadi kekerasan seksual.

Definisi kekerasan seksual berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permendikbud Ristek 30/2021 adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, maupun menyerang tubuh ataupun fungsi reproduksi korban karena adanya ketimpangan relasi kuasa atau gender yang mengakibatkan korban mengalami penderitaan psikis maupun fisik termasuk juga mengganggu kesehatan reproduksi korban bahkan korban dapat kehilangan kesempatannya dalam melaksanakan pendidikan perguruan tinggi dengan aman dan optimal. Selain itu, dalam Permendikbud Ristek 30/2021 juga disebutkan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, maupun melalui teknologi informasi dan komunikasi. Adapun, perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam perbuatan kekerasan seksual diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbud Ristek 30/2021 yang mengkategorikan menjadi 21 bentuk. Beberapa contoh diantaranya adalah: pelaku menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, ataupun identitas gender korban; pelaku memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; pelaku menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, atau siulan yang bernuansa seksual kepada korban; bahkan pelaku menatap korban dengan nuansa seksual ataupun tidak nyaman juga termasuk ke dalam kekerasan seksual. Berdasarkan beberapa pengaturan yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Namun, kejadian kekerasan seksual yang dialami korban seperti diraba tubuhnya oleh pelaku dan korban diam saja bukan berarti korban memberikan persetujuan. Kondisi diam korban bisa jadi adalah tanda korban mendapatkan shock karena mengalami kekerasan seksual oleh pelaku.

Penjelasan lebih lanjut terkait unsur-unsur yang ada dalam definisi kekerasan seksual

  • Relasi Kuasa

Bisa jadi korban secara verbal mengiyakan atau mengangguk namun hatinya berkata tidak. Hal ini dapat terjadi ketika terdapat relasi kuasa, sebagai contoh apabila yang melakukan merupakan dosen, maka menyebabkan korban tidak berani menolak karena takut diberikan nilai jelek. Contoh lainnya, yaitu karena lingkungan pertemanan dimana adanya stereotip perempuan harus seperti apa atau laki-laki harusnya seperti apa.

  • Tanpa persetujuan korban

Hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai “tanpa persetujuan korban” adalah ketika:

  1. Secara usia belum dewasa sesuai peraturan perundang-undangan;
  2. Mengalami situasi adanya ancaman, paksaan, atau penyalahgunaan kekuasaan;
  3. Kondisi dibawah pengaruh obat-obatan, alkohol, atau narkoba;
  4. Sakit, tidak sadar, atau tertidur;
  5. memiliki kondisi fisik atau psikologis yang rentan;
  6. Mengalami kelumpuhan sementara;
  7. Mengalami kondisi terguncang.

Oleh karena itu, persetujuan dalam hal kejadian kekerasan seksual tidak selalu ada ketika korban mengatakan “iya”.

Ilustrasi kasus yang kemungkinan dapat terjadi di lingkup pendidikan

  1. Kekerasan seksual secara verbal yang dilakukan dosen ketika berbicara di kelas. Dosen tersebut mengatakan hal-hal yang menjurus pada sesuatu yang membuat perempuan tidak nyaman karena menjurus ke hal-hal yang berbau fisik, seksual, atau memberikan panggilan yang bernuansa seksual.
  2. Catcalling

Namun, batas ruang lingkup tindakan yang dapat ditindaklanjuti oleh Satgas PPKS UNPAR adalah tindakan yang bernuansa seksual baik secara verbal, nonfisik, maupun fisik. Adapun terdapat tindakan kekerasan lainnya, namun tidak termasuk ke dalam kewenangan Satgas PPKS seperti kekerasan fisik berupa tendangan, pukulan, atau tamparan, dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak termasuk ke dalam kewenangan Satgas PPKS UNPAR. Akan tetapi, apabila kekerasan fisik tersebut dilakukan dengan maksud untuk melakukan hubungan seksual yang tidak diinginkan atau ada ancaman foto akan disebarkan jika tidak mau melakukan hubungan seksual, maka hal tersebut termasuk ke dalam ranah Satgas PPKS UNPAR.

Pihak-pihak yang dapat masuk ke dalam lingkup Satgas PPKS UNPAR adalah Civitas Akademika UNPAR. Civitas Akademika UNPAR yang dimaksud dalam hal ini sudah dijelaskan dengan baik dalam Peraturan Rektor, diantaranya adalah:

  1. Mahasiswa;
  2. Tenaga pendidik atau dosen;
  3. Tenaga kependidikan seperti staf Tata Usaha, staf administrasi keuangan, dan lain-lain;
  4. Warga Kampus.

Warga kampus didefinisikan sebagai masyarakat yang beraktivitas atau berkegiatan di UNPAR. 

Keempat kategori ini merupakan pihak-pihak yang dapat melaporkan ataupun dilaporkan terkait terjadinya kekerasan seksual di lingkungan UNPAR ke Satgas PPKS UNPAR. Sepanjang korban atau pelaku kekerasan seksual merupakan Civitas Akademika UNPAR walaupun kejadiannya tidak terjadi di lingkungan kampus UNPAR dapat melaporkan hal tersebut kepada Satgas PPKS UNPAR. Namun, ketika kejadiannya terjadi di jalan dan pelakunya adalah orang luar (bukan Civitas Akademika UNPAR) maka Satgas PPKS UNPAR akan memfokuskan tindakan lanjutan kepada korban seperti penanganan psikis atau fisik kepada korban tersebut. 

Prinsip bagi Satgas PPKS UNPAR terhadap penanganan kekerasan seksual

  1. Kesetaraan gender;
  2. Keadilan;
  3. Kepentingan korban;
  4. Kerahasiaan; dan
  5. Kehati-hatian.

Terkadang terdapat beberapa korban yang khawatir dan ragu untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi padanya karena takut dirinya ketahuan melapor oleh pelaku. Namun, Satgas PPKS UNPAR akan menjamin kerahasiaan identitas korban dan tetap memperhatikan kode etik dalam hal pelaporan dan penanganan kekerasan seksual di UNPAR.

Bentuk tindak lanjut dari Satgas PPKS UNPAR dapat berupa memberikan rekomendasi atau usulan kepada pihak Rektor. Namun, ada beberapa kasus yang tidak ditindaklanjuti sampai bentuk rekomendasi kepada Rektor karena terbukti tidak termasuk ke dalam tindakan kekerasan seksual atau korban yang mencabut laporannya. Namun, seluruh laporan dan bentuk tindak lanjut dari Satgas PPKS UNPAR akan dibuat berita acara sebagai bentuk laporan kepada Rektor. Seluruh bentuk laporan kepada Rektor ini akan berbentuk rahasia dan Satgas PPKS UNPAR akan tetap merahasiakan identitas korban. Selain itu, tindakan Satgas PPKS UNPAR tidak berhenti ketika sudah memberikan rekomendasi atau usulan kepada Rektor saja, namun akan memastikan juga apakah rekomendasi tersebut sudah dibaca oleh Rektor atau sudah ditindaklanjuti oleh Rektor

Tantangan dalam memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan seksual dan pencegahan kekerasan seksual

  1. Satgas PPKS UNPAR melihat adanya laporan-laporan yang diberikan bukan kepada platform yang resmi melainkan di media sosial seperti Twitter dan Unparconfess. Bahkan, laporan tersebut diberikan dengan menyebutkan nama. Laporan-laporan yang dilakukan di platform yang tidak resmi ini menjadi sukar ditindaklanjuti karena ketidaktahuan informasi pelapor dan adanya dugaan bahwa laporan tersebut hanya untuk mencemarkan nama baik yang bersangkutan. Adapun terkait hal ini Satgas PPKS UNPAR menghimbau untuk seluruh Civitas Akademika yang mengalami atau mengetahui kejadian kekerasan seksual ini melaporkannya ke platform yang resmi agar Satgas PPKS UNPAR dapat dengan mudah untuk menindaklanjuti hal tersebut.
  2. Laporan kekerasan seksual yang dilakukan di ruangan tersembunyi atau tidak dapat dilihat orang. Hal ini membuat Satgas PPKS UNPAR kesulitan dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menginvestigasi bukti-bukti yang ada.
  3. Satgas PPKS UNPAR masih membangun mekanisme, penguatan keanggotaan, dan jaringan sampai bisa mencapai ke tahap Satgas PPKS UNPAR bisa menjalankan penanganan yang optimal.
  4. Bagaimana cara yang tepat bagi Satgas PPKS UNPAR untuk bisa masuk dan mensosialisasikan terkait kekerasan dan kesadaran kesetaraan gender di komunitas atau lingkungan yang budaya misogininya masih kental.
  5. Adanya variasi dan heterogenitas dari Civitas Akademika UNPAR dari mulai karakter, prodi, fakultas, kesadaran kesetaraan gender. Satgas PPKS UNPAR harus memikirkan bagaimana konten yang tepat yang bisa masuk ke kelompok tertentu dimulai dari bagaimana framing atau point of view, sosialisasi, cara pembawaan, dan sebagainya yang tepat. Kemudian, adanya waktu yang terbatas juga menjadi salah satu tantangan bagi Satgas PPKS UNPAR sehingga harus dibuat skala prioritas.

Rencana atau program selanjutnya yang akan digagas oleh Satgas PPKS UNPAR

Divisi Sosialisasi tentunya berencana untuk mengintensifkan sosialisasi yang efektif. Kemudian, juga memperbaiki bagaimana cara Satgas PPKS UNPAR me-reach out berbagai kelompok. Satgas PPKS UNPAR juga sudah membuat media sosial berupa akun Instagram untuk membuat konten-konten terkait kekerasan seksual. Selain itu, Satgas PPKS UNPAR juga sedang membuat modul atau panduan untuk Civitas Akademika UNPAR. Satgas PPKS UNPAR juga melakukan pelatihan internal terkait cara-cara menangani dan mendengarkan pengaduan, mensosialisasikan kesetaraan gender kepada mahasiswa dan dosen. Satgas PPKS UNPAR juga sudah komunikasi untuk bekerja sama dengan BEM, seluruh Himpunan, dan unit-unit yang ada di UNPAR.

Satgas PPKS UNPAR sangat bergantung sekali terhadap sosialisasi yang sudah dicanangkan oleh Divisi Sosialisasi. Sosialisasi yang telah direncanakan ini diharapkan adanya kesadaran, pemahaman untuk melapor, maupun pemahaman untuk tidak melakukan tindakan kekerasan seksual di kampus. Kemudian, Satgas PPKS UNPAR juga sedang menguatkan jaringan dengan membuka kerja sama bersama jaringan-jaringan di luar UNPAR seperti rumah sakit, psikolog, LBH yang ada di Bandung termasuk LBH “Pengayoman” UNPAR.

Hadirnya Satgas PPKS UNPAR diharapkan menjadikan kampus UNPAR bebas dari kekerasan seksual. Adapun untuk mencapai tujuan ini Satgas PPKS UNPAR meminta kerja sama bagi seluruh Civitas Akademika untuk melakukan pencegahan dan segera melaporkan kejadian kekerasan seksual bila mengetahui ataupun mengalami hal tersebut. Dengan terjalinnya kerja sama yang baik di antara Civitas Akademika UNPAR ini, diharapkan akan mewujudkan lingkungan yang aman, bersih, dan jauh dari tindakan kekerasan seksual.

Tersedia di: