Penulis: Febri Patricia
Hak kekayaan intelektual merupakan hak eksklusif milik pencipta yang muncul dari hasil olah pikir kreativitas manusia yang menghasilkan produk atau ciptaan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan atau kesejahteraan masyarakat.[1] Perkembangan teknologi terutama penggunaan internet yang semakin meluas turut berpengaruh terhadap bidang kekayaan intelektual. Pengaruh penggunaan internet terhadap kekayaan intelektual tersebut dapat terlihat dari masyarakat yang dapat dengan mudah mencari dan mendengarkan lagu melalui jejaring media sosial.[2] Akan tetapi, masyarakat tidak hanya mendengarkan lagu orisinal saja.[3] Versi lain dari lagu orisinal seperti lagu cover juga cukup diminati untuk didengar.[4] Suatu ciptaan berupa lagu musik memang tidak dapat dipungkiri telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Lagu yang orisinal maupun yang di-cover dapat dianggap sebagai cara untuk mengekspresikan diri, menghadirkan kesenangan, dan mempengaruhi tren yang sedang populer di masyarakat. Selain digunakan sebagai cara untuk mengekspresikan diri, lagu juga dapat dikomersialkan untuk meraih keuntungan ekonomi.
Dalam faktanya memang terdapat rekaman lagu cover yang diunggah di media sosial seperti YouTube yang menyediakan layanan monetisasi bagi pengunggah video dalam media sosial tersebut. Pendengar lagu cover inipun cukup banyak bahkan terdapat lagu cover yang mendapatkan lebih banyak atensi dibandingkan versi orisinalnya. Bahkan terdapat beberapa kasus pelanggaran dalam pembuatan dan pengunggahan lagu cover di media sosial. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah kasus keluarga Gen Halilintar yang digugat oleh PT Nagaswara Publisherindo. Hal ini terjadi karena keluarga Gen Halilintar membuat dan mengunggah video lagu cover dari lagu“Lagi Syantik” di akun YouTube-nya tanpa seizin pencipta dan pemegang hak cipta lagu tersebut dan mengubah lirik lagu tersebut dan mengakibatkan distorsi terhadap ciptaan lagu “Lagi Syantik”. Hal ini menjadi urgensi apakah benar bahwa pembuatan dan pengunggahan lagu cover di media sosial merupakan bentuk pelanggaran hak cipta?
Sebelum membahas tentang hak cipta dalam lagu cover lebih dalam lagi, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep kekayaan intelektual dan hak cipta dalam hukum positif Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU Hak Cipta), ciptaan didefinisikan sebagai:
“Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”
Lagu termasuk dalam definisi ciptaan yang dimaksud dalam pasal tersebut. Adapun lagu juga dinyatakan secara tegas termasuk ke dalam ruang lingkup kekayaan intelektual berupa hak cipta dan hak terkait. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta.
Sebagai hasil dari kreativitas atau ciptaan, lagu memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dimanfaatkan secara komersial. Artinya, hasil dari ciptaan lagu tersebut dapat digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau dapat dikatakan berbayar. Lagu bahkan dapat dijadikan sumber mata pencaharian utama bagi musisi, pencipta, maupun pemegang hak cipta dari lagu tersebut. Adapun pencipta dan pemegang hak cipta merupakan dua hal yang berbeda. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta, pencipta didefinisikan sebagai seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sementara itu, yang dimaksud dengan pemegang hak cipta dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 UU Hak Cipta, yaitu pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Adapun lagu yang digunakan secara komersial memerlukan perlindungan hak eksklusif bagi penciptanya yang diberikan melalui hak cipta.[5] Salah satu hak eksklusif yang diberikan dari hak cipta adalah hak ekonomi. Berdasarkan Pasal 8 UU Hak Cipta, hak ekonomi didefinisikan sebagai hak eksklusif yang dimiliki pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan. Menurut Pasal 9 UU Hak Cipta dapat terlihat bahwa hak ekonomi yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta ini dapat digunakan dalam hal melakukan:
- penerbitan ciptaan;
- penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
- penerjemahan ciptaan;
- pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian
ciptaan; - pendistribusian ciptaan atau salinannya;
- pertunjukan ciptaan;
- pengumuman ciptaan;
- komunikasi ciptaan; dan
- penyewaan ciptaan.
Selain hak ekonomi, hak cipta juga terdiri atas hak eksklusif berupa hak moral. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta, hak moral dijelaskan sebagai hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk:
- tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; - menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
- mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam
masyarakat; - mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
- mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi
ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat
merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
Jadi sesuai dengan Pasal 4 UU Hak Cipta, hak moral dan hak ekonomi adalah hak eksklusif yang ada dalam hak cipta.
Perlindungan hak eksklusif yang ada dalam hak cipta ini diperlukan sebagai penghargaan terhadap pencipta atau pemegang hak cipta yang telah memberikan waktu, biaya, dan tenaga dalam menghasilkan ciptaannya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkan tersebut.[6] Hal tersebut dikemukakan oleh Robert M. Sherwood dengan sebutan recovery theory.[7] Selain recovery theory, terdapat beberapa teori lain yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood. Teori kedua adalah incentive theory yang menyatakan bahwa pengembangan kreativitas dengan memberikan royalti bagi para pencipta diperlukan untuk upaya memacu kegiatan di bidang hak cipta yang berguna.[8] Teori ketiga adalah teori kepentingan makro yang menyatakan bahwa perlindungan hak cipta yang diberikan oleh negara dapat mendukung pembangunan teknologi dan ekonomi negara.[9] Hal ini dikarenakan melalui perlindungan hak cipta tersebut negara secara tidak langsung mendorong kreativitas masyarakatnya untuk terus bertumbuh menciptakan kreativitas secara nasional.[10] Teori keempat adalah risk theory yang menyatakan bahwa hasil karya mengandung risiko yang memiliki kemungkinan ditemukan terlebih dahulu oleh orang lain atau diperbaiki oleh orang tersebut. Menurut Sherwood, penggunaan ilegal ini dapat menimbulkan pelanggaran hak ekonomi dan hak moral pencipta jika tidak terdapat landasan dan penegakan hukum yang mumpuni. Teori terakhir adalah economic growth stimulus theory yang menyatakan bahwa perlindungan hak cipta merupakan instrumen pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hak cipta menjadi suatu hal yang penting untuk dijaga penerapannya.
Sebetulnya perlindungan hak cipta sudah didapatkan secara langsung setelah ciptaan dibuat tanpa perlu pendaftaran. Maka dari itu, pendaftaran hak cipta ini hanyalah penerapan prinsip deklaratif dari perlindungan hak cipta. Prinsip deklaratif berarti walaupun pencipta tidak mendaftarkan ciptaannya, pencipta tetap memiliki perlindungan langsung ketika ciptaan selesai dibuat.[11] Perlindungan langsung yang dimaksud yakni menjaga agar tidak ada pihak yang memanfaatkan haknya tanpa seizin pencipta.[12] Jadi, sebuah lagu akan mendapatkan hak ciptanya secara otomatis bila lagu tersebut sudah selesai dibuat dan diekspresikan dalam bentuk nyata seperti sudah dapat didengar, dilihat, atau dinikmati oleh orang.[13] Bentuk nyata dari lagu ini terbukti dengan adanya notasi musik baik yang terdapat kata-kata maupun tidak.[14]
Kembali ke dalam pembahasan menghargai hak cipta dalam lagu cover. Lagu cover itu sendiri merupakan lagu yang dinyanyikan atau ditampilkan ulang oleh seseorang yang bukan pencipta atau pemegang hak cipta yang sebenarnya dari lagu tersebut.[15] Lagu cover dapat dikategorikan sebagai konsep aransemen, modifikasi, dan transformasi karena lagu cover dinyanyikan oleh orang selain pencipta, pemegang hak cipta, atau orang yang diberikan performing right oleh pencipta.[16] Selain itu, terdapat pula lagu cover yang dinyanyikan oleh orang lain dengan mengubah lirik, genre, ataupun beberapa nada dari lagu tersebut.[17] Adapun lagu orisinal yang di-cover tetap harus dilindungi hak ciptanya. Hal ini selaras dengan pernyataan hak moral yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e UU Hak Cipta. Pasal tersebut menjelaskan bahwa hak moral dari suatu ciptaan melekat abadi dengan diri pencipta untuk mempertahankan haknya ketika terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan dan reputasi pencipta. Hal ini juga berlaku terhadap hasil ciptaan lagu cover yang diubah atau diaransemen oleh si penciptanya. Hasil ciptaan lagu cover tersebut termasuk ke dalam contoh dari karya turunan. Karya turunan merupakan suatu karya yang didasarkan pada satu atau lebih karya yang sudah ada sebelumnya.[18] Akan tetapi, apabila pembuatan karya turunan ini dilakukan tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta maka hal tersebut termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta.[19]
Hak cipta memang memberikan banyak keuntungan dan manfaat baik dari segi ekonomi maupun moral bagi pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait. Akan tetapi, pengaturan hak cipta di Indonesia pada dasarnya mengandung prinsip pembatasan atau limitasi yang dikenal dengan sebutan prinsip fair use atau penggunaan dalam batasan yang wajar.[20] Sebetulnya, prinsip fair use terdapat dalam Pasal 13 Perjanjian TRIPs (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Kemudian, prinsip fair use dalam Perjanjian TRIPs dijadikan sebagai acuan bagi pembentuk UU Hak Cipta dalam mengatur batasan atau pengecualian terhadap hak cipta. Batasan tersebut diatur dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 51 UU Hak Cipta. Dalam pasal-pasal tersebut secara garis besar dijelaskan bahwa penggunaan ciptaan yang tidak termasuk ke dalam pelanggaran hak cipta adalah penggunaan yang tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan ekonomi, menyebutkan sumber ciptaan dengan jelas dan lengkap, serta penggunaan ciptaan untuk kegiatan:
- pendidikan dan pengetahuan;
- penelitian dan pengembangan;
- kepentingan negara;
- pidato atau ceramah;
- berita;
- pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut biaya;
- kepentingan pribadi; dan
- perpustakaan atau lembaga arsip yang tidak bertujuan
komersial.
Jadi, pembuatan dan pengunggahan lagu cover di media sosial bukanlah bentuk pelanggaran hak cipta apabila dilakukan dengan batas-batas tertentu.[21] Batasan yang dimaksud adalah jika pihak yang mengunggah lagu cover mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Batasan lainnya juga berlaku ketika seseorang membuat dan mengunggah lagu cover sejalan dengan pembatasan dalam Pasal 43 sampai 51 UU Hak Cipta.[22] Kemudian, cara menghargai hak moral yang ada dalam hak cipta dapat dilakukan dengan mencantumkan nama pencipta dari lagu orisinal dalam unggahan lagu cover dan unggahan tersebut tidak digunakan untuk penggunaan komersial.[23] Jika ingin dikomersialkan maka pihak tersebut harus mendapatkan lisensi atau izin tertulis dari pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait sesuai dengan yang diatur dalam UU Hak Cipta lalu membayarkan royaltinya kepada lembaga yang berwenang. Adapun pemilik hak terkait yang dimaksud dalam hal ini adalah pelaku pertunjukan atau orang yang memiliki performing rights, produser fonogram, atau lembaga penyiaran.
Lembaga yang berwenang dalam hal pengumpulan royalti hak cipta di Indonesia merupakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (selanjutnya disebut LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (selanjutnya disebut LMK). Mekanisme yang dapat dilakukan oleh pencipta lagu supaya tetap mendapatkan royalti atau bayaran atas lagu ciptaannya adalah memastikan bahwa ia sudah terdaftar sebagai anggota LMK.[24] LMK adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemegang atau pemilik hak terkait untuk mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Kemudian, LMKN sebagai lembaga bantu pemerintah non Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Menkumham) akan menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemegang atau pemilik hak terkait di bidang lagu. Jadi, pencipta atau pemegang hak cipta atau pemegang atau pemilik hak terkait yang ingin memiliki royalti maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah mendaftarkan diri sebagai anggota LMK.[25] Setelah itu, LMK dibantu oleh LMKN akan menarik dan menghimpun dana dari pengguna untuk kemudian didistribusikan kepada para pemegang hak cipta atau pencipta atau pemegang atau pemilik hak terkait melalui LMK.[26] Adapun bagi pihak yang ingin menggunakan lagu orisinal untuk di-cover dapat mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemegang atau pemilik hak terkait melalui LMKN.[27] Kemudian, perjanjian lisensi ini dicatat ke Menkumham sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.[28] Lalu pengguna wajib memberikan laporan penggunaan lagu kepada LKMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik.[29] Setelah itu, LMKN akan menghimpun royalti dan menetapkan besaran royalti yang menjadi hak masing-masing LMK sesuai praktik berdasarkan keadilan.[30] LMKN akan mendistribusikan royalti berdasarkan laporan penggunaan data lagu yang ada di Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik ke pencipta atau pemegang hak cipta dan pemegang atau pemilik hak terkait.[31]
Mengunggah lagu cover di media sosial seperti YouTube yang menyediakan layanan monetisasi konten bagi channel yang terdaftar tanpa memenuhi syarat dan ketentuan untuk memanfaatkan suatu ciptaan secara ekonomi merupakan hal yang melanggar hak cipta dari lagu orisinal tersebut. Padahal seharusnya hasil ciptaan lagu dari seseorang diberikan perlindungan dan penghargaan hak eksklusif melalui hak cipta sebagai bentuk perlindungan kreativitas pencipta. Perlindungan hak cipta memberikan hak bagi para musisi untuk mengatur persyaratan penggunaan ciptaan mereka dan mendapatkan bentuk penghargaan yang adil, baik dari segi hak moral maupun hak ekonomi. Selain itu, perlindungan hak cipta terhadap lagu yang diterapkan di Indonesia memiliki peran dalam memajukan industri musik di Indonesia. Berjalannya perlindungan hak cipta dengan baik juga turut membantu menciptakan lingkungan yang kondusif dan baik bagi para pencipta dan musisi untuk terus berkarya menciptakan lagu-lagu baru. Para pelaku di industri musik juga akan semakin termotivasi untuk berinvestasi baik dalam hal produksi, promosi, maupun distribusi karya musik. Oleh karena itu, menjadi penting bagi para pendengar, penikmat, maupun sesama musisi untuk menghargai hasil karya orisinal musisi serta memastikan hasil karya musisi tetap diberikan pengakuan dan perlindungan yang adil.
Referensi:
[1] Vera Ayu Riandini dan Lisa Gusrianti, Analisis Hukum Keterkaitan Perjanjian dan Perjanjian Hak Cipta Karya Fotografi di Indonesia, Jurnal Komunikasi Hukum, Volume 7-Nomor 2, Agustus 2021, halaman 869.
[2] Ghaesany Fadhila dan U. Sudjana, Perlindungan Karya Cipta Lagu dan/atau Musik yang Dinyanyikan Ulang (Cover Song) di Jejaring Media Sosial DIkaitkan dengan Hak Ekonomi berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Jurnal Hukum Kenotariatan dan ke-PPAT-an, Volume 1-Nomor 2, Juni 2018, halaman 223.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Naskah Akademik Undang-Undang Hak Cipta, halaman 3.
[6] Ibid, halaman 11.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid, halaman 12.
[11] Indra Nurdahniar, Analisis Penerapan Prinsip Perlindungan Langsung Dalam Penyelenggaraan Pencatatan Ciptaan, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2-Nomor 1, Juni 2016, halaman 234.
[12] Ibid
[13] Risa Amrikasari, Jerat Hukum Jika Menyanyikan Lagu Orang Lain Tanpa Izin, https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-jika-menyanyikan-lagu-orang-lain-tanpa-izin-lt54b9fc67d1bcd (diakses pada 11 Desember 2023).
[14] Ibid.
[15] Media Informasi, Perbedaan Parodi, Cover, Plagiat dan Remix, https://mediaformasi.com/2018/10/perbedaan-parodi-cover-plagiat-dan-remix/ (diakses pada tanggal 29 Mei 2023).
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Edward A. Haman, What are derivative works under copyright law?, https://www.legalzoom.com/articles/what-are-derivative-works-under-copyright-law (diakses pada 15 Desember 2023).
[19] Ibid.
[20] Indra Nurdahniar, supra note nomor 11, halaman 113.
[21] Ibid, halaman 114.
[22] Ibid.
[23] Ibid, halaman 127.
[24] Saufa Ata Taqiyya, Yang Berwenang Menarik Royalti Lagu, LMKN atau LMK?, https://www.hukumonline.com/klinik/a/yang-berwenang-menarik-royalti-lagu–lmkn-atau-lmk-cl755 (diakses pada 15 Desember 2023).
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
Tersedia di: