




Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)
Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1] Keadilan restoratif harusnya tidak dipahami sebatas sebagai mekanisme/cara menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan, tetapi lebih ke paradigma soal keadilan. Ada 3 (tiga) konsepsi tentang keadilan restoratif:
- Encounter conception: mempertemukan korban dengan pelaku. Artinya, keadilan dimaknai sebagai konsensus korban dan pelaku.
- Reparative conception: mengutamakan reparasi/upaya pemulihan terutama untuk korban. Artinya, keadilan dimaknai sebagai pemulihan.
- Transformative conception: mengarah pada transformasi masyarakat menuju masyarakat yang adil. Artinya, keadilan dimaknai secara menyeluruh dalam scope masyarakat luas, tidak sebatas pada pelaku dan korban.[2]
Yang sekarang terjadi, restorative justice disamakan maknanya dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Ini boleh saja dilakukan, tetapi berarti mempersempit keadilan restoratif sebagai konsepsi keadilan menjadi sebatas hal-hal prosedural-teknis tentang tata cara menyelesaikan perkara di luar pengadilan, bahkan di saat-saat tertentu ada tendensi untuk dilekatkan dengan yang sifatnya transaksional antara pelaku-korban.
Restorative justice sebetulnya bukan ciptaan barat. Mereka melakukan studi justru di luar Barat (misalnya studi kepada suku Aborigin, indigenous people di Afrika, dll.), dan ditemukan satu konsep tentang keadilan. Konsep yang ditemukan dalam masyarakat-masyarakat “adat” tersebut adalah konsep keadilan restoratif. Temuan-temuan ini tidak menunjukan bahwa Barat adalah tradisi pertama yang mengenal keadilan restoratif, karena ternyata pandangan keadilan restoratif itu ditemukan pada satuan-satuan masyarakat indigenous.
Dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif (“PERKAP”), keadilan restoratif dimaknai sebagai penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban, dan/atau keluarganya serta pihak terkait dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak. Definisi keadilan restoratif tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 3 PERKAP:
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula”
Dalam PERKAP, fokusnya pada pemulihan korban, tapi yang banyak berandil adalah penyidik (sebagai mediator) dan justru minim peran masyarakat, pun secara normatif masyarakat cukup diberi peran.
Versi Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif (“PERJA”), pembalasan tidak menjadi fokus utama, melainkan pemulihan ke keadaan semula. Pasal 1 angka 1 PERJA menyebutkan bahwa:
“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”
Ini yang ditekankan dalam PERJA, sedangkan tidak dalam PERKAP. Selain itu, PERJA menghendaki agar keadilan restoratif dilaksanakan dengan berlandaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, serta biaya ringan.
Pasal 5 ayat (8) PERJA mengecualikan beberapa tindak pidana, yaitu tindak pidana terhadap negara, lingkungan hidup, narkotika, yang diancam dengan pidana minimum, dan yang subjeknya adalah korporasi. Yang menjadi persoalan adalah: kenapa perlu ada pengecualian-pengecualian ini? Mungkin, keadilan restoratif dianggap sebagai pendekatan yang lunak (soft approach). Penyelesaian perkara pidana bukan soal lunak atau kerasnya, tapi efektif atau tidaknya. Di Skandinavia, pendekatan berdasarkan keadilan restoratif melahirkan hasil yang efektif terhadap penanggulangan kejahatan. Mengingat Indonesia punya Pancasila, harusnya paradigma keadilan restoratif ini bisa lebih compatible dibandingkan dengan Barat.
Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“RUU HAP”), terdapat aturan tentang definisi “mekanisme keadilan restoratif”. Dengan kata lain, RUU HAP sudah dengan sendirinya memandang keadilan restoratif sebagai prosedur, bukan tentang konsep keadilan. Dari sistematikanya, ia terletak di dalam bab berjudul “alternatif penyelesaian perkara”. Tendensi reduksionis seharusnya dihindari, apalagi mengingat bahwa RUU HAP nantinya akan menjadi undang-undang yang berjalan bersama Kitab Undang-Undang Pidana Nasional (“KUHP Nasional”) sebagai hukum materiilnya.
Syarat agar bisa dilakukan keadilan restoratif adalah: a.) baru pertama kali melakukan tindak pidana; b.) telah terjadi pemulihan keadaan semula oleh pelaku tindak pidana, tersangka, terdakwa, atau terpidana; dan, c.) telah ada kesepakatan. Mengapa yang sudah lebih dari satu kali melakukan tindak pidana tidak boleh diberlakukan keadilan restoratif? Ini berakar dari cara pandang keadilan restoratif sebagai mekanisme yang lunak (soft approach), padahal kembali lagi, bukan soal lunak-keras, tapi apakah efektif atau tidak. Fariz RM telah ditangkap 4 (empat) kali untuk kasus yang serupa sejak 2007, dan pendekatan lewat sarana penal ini ternyata tidak efektif.[3] Maka, tidak selalu sanksi yang keras menimbulkan efektifitas, dan mekanisme yang lunak tidak akan efektif.
Dalam diskusi terakhir yang dilaksanakan Fakultas Hukum UNPAR bersama dengan DPC AAI Bandung, berdasarkan RUU HAP per 17 Februari 2025 yang beredar, keadilan restoratif didefinisikan pada pasal 1 angka 18 dengan bunyi sebagai berikut:
“Mekanisme Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, terdakwa, keluarga terdakwa, dan/atau pihak lain yang terkait, yang bertujuan mengupayakan pemulihan keadaan semula”
Definisi di atas kurang lebih senada dengan PERJA, terlebih dengan adanya kata “mekanisme” yang menganggap keadilan restoratif semata-mata sebagai prosedur, bukan paradigma tentang keadilan. Ini semakin terlihat lagi dalam seluruh Bab IV RUU HAP yang mengidentikan keadilan restoratif dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Pasal 77 RUU HAP mengatur tentang pengecualiannya yaitu terhadap:[4]
- Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
- Tindak pidana terorisme;
- Tindak pidana korupsi;
- Tindak pidana tanpa korban; dan
- Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali karena kealpaannya;
- Tindak pidana terhadap nyawa orang;
- Tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus;
- Tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat;
- Tindak pidana narkoba kecuali yang berstatus sebagai pengguna
Adanya pengecualian terhadap beberapa jenis tindak pidana, khususnya tindak pidana tanpa korban mengindikasikan kuat bahwa yang digunakan adalah encounter conception (mempertemukan antara pelaku dan korban). Misalnya lain, pengecualian terhadap tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat, membingungkan mengapa mesti dikecualikan selain membingungkan juga mengenai cara mengukur “sangat membahayakan” itu. Yang ideal justru memahami keadilan restoratif dengan transformative conception, dan ini juga selaras dengan politik Hukum Pidana Indonesia hari ini. Bahkan, sebelum KUHP Nasional diundangkan, sudah ada usulan agar paradigma keadilan restoratif dapat diinjeksi ke dalamnya, serta dimunculkan secara eksplisit dalam KUHP Nasional. Namun demikian, upaya ini tidak berhasil, sehingga narasi itu tidak muncul dalam teks KUHP Nasional. Kalau saja dalam KUHP Nasional ada, maka akan menjadi sinkron antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, mengingat akan diaturnya keadilan restoratif dalam KUHAP yang akan datang.
Idealnya, jika keadilan restoratif dipahami berdasarkan transformative conception, tidak ada pengecualian bagi tindak pidana mana yang diselesaikan lewat pendekatan restoratif. Misalnya, bagi tindak pidana tanpa korban, karena pandangan tentang keadilan restoratif itu sebatas merupakan pertemuan kehendak/penyelesaian antara korban dan pelaku (encounter conception), maka tindak pidana yang tidak ada korbannya menjadi tidak relevan untuk diselesaikan secara restoratif. Seharusnya, pendekatan keadilan restoratif masih bisa dilakukan, karena visi transformatif yang mau dicapai tidak sebatas pada korban, tapi juga pada masyarakat.[5] Pada satu titik tertentu, justru menggunakan encounter conception bisa menjadi aneh. Sebagai ilustrasi, ada A adalah seorang kaya raya yang memperkosa B, perempuan miskin. Dengan dasar encounter conception, A dipertemukan dengan B, dan akhirnya disepakati bahwa A akan membayar Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada B. Bagi encounter conception, selesai sudah restoratifnya, dan sudah dianggap adil, padahal bagi masyarakat luas belum tentu (anggap saja tindak pidana terhadap kesusilaan tidak dikecualikan dan murni menggunakan encounter conception).
Basisnya transformative conception adalah kebutuhan para pihak, bukan hak, dan yang dimaksud para pihak itu tidak sebatas pada pelaku dan korban, melainkan mencakup juga masyarakat. Dengan demikian, yang bisa mengukur apakah kebutuhan itu sudah terpenuhi atau belum adalah kembali lagi kepada para pihak itu. Mungkin ini menjadi persoalan, bagaimana mengukurnya dari masyarakat yang seluas itu, sehingga sebaiknya diatur bahwa penegak hukum mesti sedapat mungkin melibatkan masyarakat luas setiap kali pendekatan keadilan restoratif hendak dilakukan (best efforts).[6]
Maka dari itu, aturan-aturan yang ada mengenai keadilan restoratif dalam RUU HAP, termasuk mengenai pengecualiannya, bukanlah aturan yang ideal. Namun demikian, ini mesti diapresiasi sebagai suatu langkah strategis dalam mendekatkan sistem hukum pidana (baik materiil maupun formil) Indonesia ke arah paradigma keadilan restoratif. Suatu saat nanti, dan memang butuh waktu, Hukum Acara Pidana akan berjalan dengan semangat restoratif berdasarkan konsepsi transformatif itu.
Terdapat beberapa simpulan sekaligus sebagai saran perumusan kebijakan/norma dalam RUU HAP:
- Keadilan restoratif perlu dimaknai sebagai paradigma. Mekanisme penyelesaian hanya salah satu komponen saja untuk mewujudkan paradigma yang sifatnya filosofis itu.
- Konsepsi yang ideal digunakan adalah transformative conception, yang menjadikan fokus utama dari keadilan restoratif ini menjadi keadilan bagi seluruh komponen masyarakat melalui perubahan secara utuh masyarakatnya itu sendiri. Bahwa untuk sementara ini konsepsi yang digunakan masih cenderung ke encounter conception bukanlah masalah yang demikian signifikan, sepanjang dipahami sebagai langkah strategis, bukan langkah ideal.
- Pandangan terhadap keadilan restoratif sebagai pendekatan yang lunak/soft harus digeser, karena yang paling relevan untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan penanggulangan kejahatan adalah dengan mengevaluasi seberapa efektif kebijakan itu, bukan soal lunak-kerasnya.
- Keadilan restoratif bukan konsep keadilan dari Barat, melainkan hidup dalam masyarakat-masyarakat yang justru cenderung kolektif, tidak individual. Demikian ia dapat bersandingan dengan nilai-nilai komunal masyarakat Indonesia dan berjalan bersama ideologi Pancasila.
***
Daftar Pustaka
Belinda Hopkins (2015), “From Restorative Justice to Restorative Culture”, Revista de Asistenta Sociala 14 (4), 19-34.
International Center for Transitional Justice (2024), Reserach Report: Transforming Social Relations Restorative Responses to Massive Human Rights Violations.
Jeremy Julian Sarkin (2025), “Why the International Criminal Court Should Apply Restorative Justice and Transitional Justice Principles to Improve the Impact of Its Criminal Trials on Societies around the World”, The International Journal of Transitional Justice, 1-19.
Meredith Rossner, Helen Taylor (2024), “The Transformative Potential of Restorative Justice: What the Mainstream Can Learn from the Margins”, Annual Review of Criminology 7, 357-381.
Rhama Purna Jati (2025), “Fariz RM Ditangkap Lagi karena Narkoba, Kasus Keempat sejak 2007”, Kompas (https://www.kompas.id/artikel/lagi-fariz-rm-terjerembab-kasus-narkoba. Diakses pada tanggal 26 Maret 2025, pukul 10:49 WIB).
[1] Meredith Rossner dan Helen Taylor (2024), “The Transformative Potential of Restorative Justice: What the Mainstream Can Learn from the Margins”, Annual Review of Criminology 7, 357-381, hal.357.
[2] Belinda Hopkins (2015), “From Restorative Justice to Restorative Culture”, Revista de Asistenta Sociala 14 (4), 19-34, hal.22.
[3] Rhama Purna Jati (2025), “Fariz RM Ditangkap Lagi karena Narkoba, Kasus Keempat sejak 2007”, Kompas (https://www.kompas.id/artikel/lagi-fariz-rm-terjerembab-kasus-narkoba. Diakses pada tanggal 26 Maret 2025, pukul 10:49 WIB).
[4] Terdapat perbedaan pasal 77 versi RUU HAP yang didapatkan per 17 Februari 2025, yaitu yang dijadikan bahan diskusi pada FGD 10 Maret 2025, dengan pasal 77 versi RUU HAP yang didapatkan setelah FGD dilakukan dengan nama file “Finale Draft RUU KUHAP”. Hal ini merupakan salah satu dampak tidak transparannya pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan sektor-sektor krusial.
[5] Jeremy Julian Sarkin (2025), “Why the International Criminal Court Should Apply Restorative Justice and Transitional Justice Principles to Improve the Impact of Its Criminal Trials on Societies around the World”, The International Journal of Transitional Justice, 1-19, hal.11.
[6] International Center for Transitional Justice (2024), Research Report: Transforming Social Relations Restorative Responses to Massive Human Rights Violations, hal.15