Problematika Pengungsi Afghanistan di Indonesia

Narasumber: Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum.

Notulen: Josef Henokh Widodo

Faktor dominan yang mendorong terjadinya pengungsi Afghanistan adalah konflik sosial dan politik di negara asal. Afghanistan merupakan negara yang telah mengalami konflik yang sangat lama, sehingga terjadi pengungsian yang masif. Indonesia menjadi negara transit bagi para pengungsi Afghanistan. Sebenarnya Indonesia bukan negara tujuan dari pengungsi, tetapi Indonesia sebagai negara transit untuk menuju ke negara lain. 

Terdapat perbedaan pengungsi (refugee) dan pencari suaka (asylum seekers). Sebenarnya baik pengungsi dan pencari suaka adalah orang yang terusir dari daerah atau negaranya karena beberapa sebab, seperti bencana alam, konflik sosial, peperangan, maupun konflik di bidang politik. Status perlindungan yang membedakan antara pengungsi dan pencari suaka. Apabila mengacu kepada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Status Pengungsi (selanjutnya disebut Konvensi 1951), terdapat United Nations High Commissioner for Refugees (selanjutnya disebut UNHCR) yang menjabarkan definisi pengungsi sebagai seorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan yang disebabkan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu yang berada di luar negara kebangsaannya, dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut. Kemudian, seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum dapat dipertimbangkan. Pencari suaka yang sedang mencari dan meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi. Untuk menjadikan pencari suaka sebagai status pengungsi harus melewati berbagai tahap yang dimulai sejak tahap pendaftaran atau registrasi, melakukan proses wawancara, lalu proses wawancara menghasilkan keputusan terhadap pencari suaka sebagai status pengungsi. Apabila pencari suaka tidak dapat melewati proses wawancara, maka status pengungsi akan ditolak. 

Pengungsi sebenarnya adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya dikarenakan rasa takut yang berdasar dan mengalami penindasan atau persekusi. Rasa takut yang berdasar inilah yang membedakan pengungsi dengan jenis imigran lainnya. Situasi yang berat sehingga membutuhkan bantuan kemanusiaan karena pengungsi tidak dapat menggunakan perlindungan dari negara seharusnya memberikan perlindungan kepada pengungsi, misalnya Pemerintah Taliban tidak dapat memberikan perlindungan kepada pengungsi warga negara Afghanistan. Pengungsi dapat dikelompokan ke beberapa jenis. Pertama, pengungsi internal atau pengungsi dalam negeri atau internally displaced persons yang biasa disingkat IDPs. IDPs adalah orang-orang atau sekelompok orang yang dipaksa atau diharuskan meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka, terutama sebagai akibat konflik bersenjata. Dalam situasi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) atau peristiwa alam atau karena perbuatan manusia dan orang-orang ini tidak menyeberang perbatasan negara yang diakui secara internasional. Kedua, pengungsi (refugee) yang sekarang  ada di Indonesia itu, mereka melarikan diri dari negaranya karena persekusi, mengalami kebijakan negara karena tindakan diskriminatif atau bahkan nyawanya terancam jika tidak keluar dari negaranya dan mereka terpaksa keluar dari negaranya untuk menetap di negara lain. Ketiga, menjadi pengungsi karena bencana alam, terpaksa keluar dari negaranya dan biasanya ketika bencana sudah reda orang-orang ini kembali ke tempat asalnya. Keempat, sekelompok orang menjadi pengungsi karena ingin mencari kehidupan baru yang lebih baik, terdampar di tempat yang bukan tujuan utamanya atau ini yang biasa disebut dengan imigran gelap.

Pembahasan berikutnya mengenai pencari suaka. Seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan. Pencari suaka yang sedang mencari dan meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi. Orang-orang yang memasuki wilayah suatu negara karena di negaranya mereka dianiaya karena keyakinan pendapat atau afiliasi politik mereka atau karena perbuatan-perbuatan yang mungkin dianggap sebagai pelanggaran politik. Apabila seorang pencari suaka meminta masuk ke wilayah negara lain, maka negara lain berhak untuk memperkenankan masuk ke dalam wilayahnya pada orang-orang yang dianggap layak tanpa mengakibatkan timbulnya pengaduan oleh negara mana pun. Orang-orang ini biasanya mencari suaka dan meminta statusnya sebagai pengungsi atau refugee, lalu baru akan dicarikan oleh UNHCR itu negara ketiga yang merupakan anggota UNHCR itu. Dengan demikian, jelas perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi. Jadi, pencari suaka itu berusaha untuk jadi pengungsi (refugee). Lalu, negara anggota UNHCR yang menentukan seseorang itu pengungsi atau bukan. Setelah negara anggota UNHCR menilai apakah memang betul di negara seorang pencari suaka terancam dan teraniaya apabila tidak meninggalkan negaranya maka nyawanya akan hilang, maka negara anggota UNHCR itu berhak memberikan status sebagai pengungsi dan kemudian ia wajib menentukan warga negaranya tinggal di negaranya atau apabila tidak ingin tinggal di negaranya akan dicari negara anggota UNHCR. Indonesia belum menjadi anggota UNHCR dan tidak meratifikasi Konvensi 1951. Setelah pencari suaka sudah ditetapkan sebagai pengungsi, lalu apabila suatu negara menjadi anggota UNHCR dan meratifikasi Konvensi 1951, maka dapat menentukan. Akan tetapi, apabila suatu negara tidak menjadi anggota UNHCR dan tidak meratifikasi Konvensi 1951, maka UNHCR yang akan menentukan apakah pencari suaka menjadi pengungsi atau tidak.

Terkait masalah di Afghanistan, banyak orang-orang di Afghanistan melarikan diri dari negaranya untuk mendapatkan kebebasan dari Pemerintahan Taliban. Namun, di sisi lain Pemerintah Taliban sudah membuat perjanjian dengan pihak Amerika Serikat dan mereka sudah menyatakan bahwa akan terdapat transisi kekuasaan dengan damai, mereka juga akan melindungi hak-hak wanita dan sebagainya. Apakah setelah janji-janji dari Pemerintahan Taliban itu dikeluarkan, orang-orang Afghanistan masih dapat dikatakan sebagai pengungsi atau sebagai alasan saja supaya mereka dapat keluar dari Afghanistan? Apabila dinilai bahwa seorang kembali ke negaranya dan membahayakan jiwanya, maka tidak boleh dikembalikan. Prinsipnya adalah non-refoulement, yaitu negara tidak boleh mengembalikan pengungsi ke negara asalnya sepanjang tidak dijaminkan oleh negara asalnya. Misalnya, warga negara Afghanistan yang di Indonesia apabila dikembalikan ia akan menjadi dipersekusi dan dihukum, maka negara melarang untuk mengembalikan. Akan tetapi, apabila di negaranya tidak ada alasan bahwa orang-orang tersebut terancam, maka orang-orang tersebut tidak akan diberikan status pengungsi sehingga dikembalikan dan dianggap sebagai imigran gelap apabila tidak ada alasan ia meninggalkan negaranya. Harus terdapat alasan yang kuat pengungsi meninggalkan negaranya, sehingga tidak boleh suatu negara mengembalikan pengungsi ke negara asalnya.

Indonesia bukan merupakan negara peserta Konvensi 1951 dan Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi (Protokol 1967), yang merupakan 2 (dua) dokumen terpenting dalam hukum pengungsi. Akan tetapi, sekali pun Indonesia bukan menjadikan tempat sebagai negara baru bagi para pengungsi, Pemerintah Indonesia terus menerus berhadapan dengan persoalan pengungsi yang hadir di wilayah Indonesia, termasuk pengungsi dari Afghanistan. Kebijakan penanganan pengungsi di Indonesia tidak berlandaskan kepatuhan negara Indonesia atas prinsip non-refoulement terhadap Konvensi 1951 karena Indonesia tidak meratifikasi, melainkan berdasarkan kepada kovenan tentang HAM dan hak sipil yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (selanjutnya disebut UU 37/1999) dalam hal penanganan pencari suaka dan fungsi dari luar negeri dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (selanjutnya disebut Perpres 125/2016).

Bahwa pada prinsipnya berlaku bagi seluruh negara di dunia termasuk semua negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951, negara-negara di dunia wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum. Jadi, walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951, tetapi Indonesia wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum. Hal ini dikarenakan Konvensi 1951 sudah menjadi semacam jus cogens dan tidak seorang pengungsi pun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam, termasuk oleh Indonesia walaupun tidak meratifikasi Konvensi 1951. Fenomena migrasi pengungsi lintas negara ini mempengaruhi terbentuknya regulasi supra nasional tentang perlindungan, status, hak-hak pencari suaka, baik di negara penerima maupun di negara singgah, seperti Indonesia yang menjadi negara singgah. Regulasi tersebut memuat norma kepastian dari prinsip jus cogens yang merupakan kaidah hukum umum yang memaksa, yang mempunyai daya paksa baik kepada negara anggota Konvensi 1951 maupun negara bukan anggota Konvensi 1951 termasuk Indonesia. Adanya prinsip non-refoulement adalah prinsip yang memuat norma bahwa tidak dibenarkan bagi otoritas pemerintah untuk melakukan pengusiran, mengeluarkan, menolak masuknya pengungsi ke dalam wilayah yuridiksinya baik yang telah mendapatkan pengakuan status resmi sebagai pengungsi dari UNHCR maupun yang belum mendapatkan pengakuan status resmi sebagai pengungsi. Jadi, walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951, Indonesia tetap terikat pada ketentuan-ketentuan karena adanya prinsip jus cogens

Di waktu yang akan datang, mungkin Pemerintah Indonesia akan meratifikasi Konvensi 1951 karena maupun Konvensi 1951 diratifikasi atau tidak itu tetap kalau terdapat pengungsi wajib ditangani berdasarkan hukum internasional dengan jus cogens. Oleh karena itu, lebih baik Indonesia meratifikasi Konvensi 1951 karena akan lebih mudah dalam menangani pengungsi dan Indonesia bebas untuk menentukan status pengungsi. Dikarenakan Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951, maka yang menentukan status pengungsi itu bukan Indonesia, tetapi UNHCR yang menentukan. Jadi, Indonesia seharusnya meratifikasi Konvensi 1951, perkara Indonesia tidak meratifikasinya mungkin Indonesia berpikir bahwa Indonesia akan menjadi negara tujuan pengungsi. Sebenarnya Indonesia itu hanya sebagai negara transit saja dan para pengungsi pada umumnya ingin mengungsi bukan ke Indonesia, tetapi ingin mengungsi ke Australia. Begitu Indonesia telah meratifikasi Konvensi 1951, maka apabila terdapat orang yang masuk ke Indonesia sebagai pengungsi itu harus diterima oleh Indonesia.

Pada tanggal 31 Desember 2016 telah menandatangani Perpres 125/2016. Menurut Perpres 125/2016, penanganan pengungsi dilakukan berdasarkan kerjasama antara Pemerintah Pusat dengan Persatuan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia dan/atau organisasi internasional di bidang urusan imigrasi atau di bidang kemanusiaan yang memiliki perjanjian dengan Pemerintah Pusat. Penandatanganan Perpres 125/2016 juga mempertimbangkan pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 37/1999. Diberlakukan Perpres 125/2016 ini dapat diasumsikan sebagai komitmen negara Indonesia dalam melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 37/1999, khususnya terkait menangani masalah pengungsi, serta komitmen dalam menghormati dan melindungi HAM. Berdasarkan Perpres 125/2016, bahwa penanganan pengungsi dikoordinasikan oleh kementerian yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang politik, hukum dan keamanan. Koordinasi yang dimaksud salah satunya adalah dalam hal pengawasan keimigrasian. Kewenangan pengawasan keimigrasian bagi pengungsi dilakukan oleh petugas Rumah Detensi Imigrasi dan Pengawasan Keimigrasian yang meliputi saat ditemukan pengungsi, tempat penampungan pengungsi dan di luar tempat penampungan pengungsi, kemudian diberangkatkan ke negara tujuan, pemulangan sukarela dan pendeportasian apabila terdapat dinyatakan bahwa seseorang tidak layak dikategorikan sebagai pengungsi.

Indonesia dalam menerima pengungsi wajib untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti kesehatan dan makanan, dan Indonesia akan dibantu pendananya oleh International Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi (selanjutnya disebut IOM), serta juga melakukan kerjasama dengan UNHCR. Jadi, Indonesia wajib menghormati dan memperlakukan secara baik terhadap orang-orang yang statusnya sebagai pengungsi (refugee) sebagaimana warga negaranya. Akan tetapi, apabila kualifikasi seseorang tidak sebagai pengungsi atau pendatang haram atau imigran gelap, maka biasanya ditempatkan di Tahanan Detensi, baru kemudian dikembalikan ke negara asalnya. Misalnya, pengungsi dari Bangladesh yang ingin ke Australia namun terdampar di Indonesia, pengungsi tersebut biasanya tidak ada alasan untuk pergi dari negara asalnya karena di negara asalnya tidak ada ancaman kekerasan dan ancaman yang membahayakan lainnya. 

Prinsip non-refoulement adalah prinsip yang melarangkan atau tidak diperbolehkannya suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu wilayah tempat pengungsi yang akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kepada kelompok sosial tertentu atau karena keyakinan politiknya. Di dalam Pasal 33 Konvensi 1951 menyebutkan secara tegas prinsip non-refoulement tersebut. Ketentuan Pasal 33 Konvensi 1951 berlaku juga bagi negara yang bukan anggota Konvensi 1951. Pemerintah Indonesia harus mengurai persoalan terletak dimana ketika pengungsi dan pencari suaka datang ke Indonesia. Pertama kali harus dilihat ada penentuan apakah orang-orang yang datang ke Indonesia tersebut termasuk refugee atau bukan, maka hal ini akan tergantung kepada faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Faktor subyektif. Faktor ini yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri yang meminta status pengungsi. Faktor inilah yang menentukan apakah pada diri orang tersebut ada rasa ketakutan atau kekhawatiran akan adanya persekusi, penuntutan atau pembinaan tanpa hukum. Apabila ada alasan-alasan tersebut, maka dapat dikatakan orang tersebut eligibility. Ketakutan itu dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.
  2. Faktor obyektif. Faktor ini terkait keadaan asal pengungsi. Apakah di negara tersebut benar terdapat persekusi terhadap pengungsi, misalnya akibat perbedaan ras, agama, pandangan politik atau lainnya. Apabila keadaan tersebut memang terjadi di negara tersebut, maka keadaan tersebut dapat membuat pengungsi menjadi eligibility.

Seseorang tidak dapat dikatakan eligibility ialah orang-orang yang melarikan diri ke luar negeri karena alasan ekonomi, misalnya agar lebih baik hidupnya maka mereka tidak dapat disebut sebagai pengungsi. Kaum imigran yaitu yang pindah dari suatu negara lain ke negara lainnya tidak bisa disebut sebagai pengungsi. Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi, misalnya tidak bisa mengikuti kebijakan pemerintah atau politik di negaranya itu tidak diakui. Dengan demikian, itulah pertimbangan dari segi hukum nasional negara yang menerima pengungsi yang memang diatur oleh hukum internasional khususnya tentang pengungsi. Kemudian kedaulatan negara dan hukum administrasi negara (selanjutnya disebut HAN) dari pada pengungsi itu harus tetap dilindungi para pengungsi untuk bertahan hidup. Misalnya, walaupun Afghanistan dan Indonesia merupakan negara berdaulat, kemudian apabila pengungsi dari Afghanistan di Indonesia dikembalikan ke Afghanistan dan pengungsi tersebut akan menghadapi persekusi karena perbedaan paham politiknya, maka negara Indonesia tidak boleh mengembalikan pengungsi tersebut dan hal tersebut tidak bertentangan dengan kedaulatan negara karena memang semua negara wajib untuk melaksanakan ketentuan hukum internasional akibat prinsip jus cogens tersebut. Belum pernah ada contoh kasus mengenai negara menolak pengungsi karena negara takut kepada dunia internasional dan pasti mempunyai pertimbangan dan khawatir apabila tidak tunduk pada hukum internasional. Apabila suatu negara tidak menjadi peserta Konvensi 1951, maka UNHCR dan IOM tersebut berusaha untuk mencarikan negara ketiga atau negara lain yang mau menerima pengungsi tersebut supaya mereka selamat dan terjamin HAM-nya.

Indonesia sudah saatnya meratifikasi konvensi-konvensi yang mengatur tentang pengungsi karena demi kemanusiaan yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Jadi, prinsipnya memang demi kemanusiaan, maka sudah saat Indonesia untuk meratifikasi konvensi-konvensi yang mengatur pengungsi. Ketika Indonesia sudah meratifikasi Konvensi 1951 dan juga akan ada kerjasama-kerjasama internasional, sehingga bukan hanya negara Indonesia yang menangani sendiri tapi negara-negara peserta Konvensi 1951 saling membantu. 

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem...

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Penulis: Tiara Nabila Dalam kehidupan sehari-hari tanda tangan bukanlah merupakan suatu hal yang asing. Setiap orang pernah menandatangani dokumen dalam bentuk apa pun. Tanda tangan dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen yang memerlukan persetujuan, dokumen resmi dari...