Problematika Penagihan dengan Pengancaman Online pada Pinjaman Online Ilegal

Narasumber: Yunita, S.H., LL.M.

Notulen : Nicolas Wianto

Sehubungan dengan kebutuhan penanganan klien LBH “Pengayoman” UNPAR, sebelumnya terdapat diskusi dengan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan (LBH “Pengayoman” UNPAR) mengenai topik apa yang cocok untuk diangkat di podcast kali ini. Apabila dilihat dari berita, masalah mengenai pengancaman pada pinjaman online (pinjol) cukup marak. Hal ini dikarenakan banyak sekali masyarakat yang terlibat pinjol dengan bunga dari pinjol tersebut sampai terdapat beberapa orang yang bunuh diri. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam podcast kali ini topik pinjol ilegal diangkat. 

Sebenarnya, bahasa resmi dari pinjol adalah financial technology (fintech). Akan tetapi, kata pinjol akan digunakan selanjutnya karena kata ini lebih familiar di kalangan masyarakat. Sebelum dibahas mengenai pengancaman pinjol, pertama-tama dapat dibahas dahulu mengenai perbedaan pinjol legal dan ilegal. Terkait perbedaannya, ciri utama pinjol legal adalah terdaftar dan berizin. Pinjol legal diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan suatu lembaga negara yang diberi kewenangan untuk menangani masalah-masalah fintech atau sistem jasa keuangan, salah satunya adalah pinjol. Terkait tata cara agar pinjol terdaftar dan berizin, kita dapat merujuk pada POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Peraturan ini mengatur mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dan menjelaskan bagaimana tata cara agar pinjol dapat terdaftar dan berizin. 

Konsekuensi pinjol terdaftar dan berizin di OJK sehingga disebut sebagai pinjol legal adalah adanya pengawasan bahwa sumber uang yang dipakai bukan hasil kejahatan. Kemudian, terdapat ketentuan mengenai batas maksimum pinjaman, yaitu Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) per orang. Meskipun sebenarnya batas ini terlalu tinggi untuk diberikan kepada setiap orang. Pada umumnya, pinjol legal dapat terlibat di suatu asosiasi yang memiliki code of conduct. Code of conduct ini mengatakan suku bunga tidak boleh terlalu tinggi, yaitu ditetapkan flat 0,8% (nol koma delapan persen) per hari. Jadi, pinjol yang menetapkan bunga 4% (empat persen) per hari sebenarnya telah melanggar ketentuan code of conduct meskipun tidak terdapat sanksi. Kemudian, terdapat ketentuan jika misalkan total biaya maksimum keterlambatan 100% (seratus persen) dari nilai prinsipal pinjaman. Misalnya, seseorang meminjam Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) maka maksimal pengembalian atas keterlambatan adalah Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pinjol legal harus membuat laporan berkala kepada OJK. Setidak-tidaknya, konsumen dari pinjol legal dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui asosiasi seperti Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau OJK.

Pinjol ilegal merupakan pinjol yang tidak terdaftar dan tidak berizin sehingga tidak bisa diawasi oleh OJK. Pinjol ilegal tidak diketahui dari mana sumber uangnya. Pinjol ilegal juga bebas menentukan biaya administrasi dan suku bunga yang diberikan. Apabila terjadi sengketa, tidak bisa diselesaikan dengan baik. LBH “Pengayoman” UNPAR sendiri sempat menangani kasus pengancaman pinjol berupa pengancaman penyebaran data pribadi.

Delik pengancaman diatur dalam Pasal 369 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran, baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, ataupun supaya membuat hutang dan menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Kemudian, pasal 369 ayat (2) KUHP menjelaskan bahwa tindak pidana pengancaman termasuk delik aduan. Artinya, harus ada orang yang mengadu terlebih dahulu agar tindak pidana pengancaman tersebut dapat diproses. Pengancaman secara online menjadi ranah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE memperluas alat bukti yang terdapat di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memungkinkan informasi dan dokumen elektronik untuk menjadi alat bukti di persidangan. UU ITE juga mengatur mengenai pengancaman dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE yang menyatakan:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Definisi kata pemerasan dan/atau pengancaman di dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE harus mengacu pada KUHP.

UU ITE juga mengatur mengenai pasal pengancaman yang lain, contohnya Pasal 29 jo. Pasal 45B UU ITE yang berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”

Ketentuan ini bersifat lebih spesifik mengatur mengenai ancaman, yaitu ancaman dengan kekerasan atau menakuti-nakuti. Model pengancaman online yang lain, misalnya mengancam untuk menyebarkan sesuatu yang bersifat kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Jadi, pengenaan seseorang terhadap delik pengancaman UU ITE tergantung pada metode pengancaman yang dilakukan. 

Pengancaman untuk menyebarkan data pribadi memang diatur dalam UU ITE, namun perlindungannya masih sangat lemah. OJK memang menentukan data pribadi yang bisa diambil hanyalah microphone, kamera, dan lokasi. Akan tetapi apabila mengacu pada POJK, pinjol legal wajib menjaga data pribadi dan tidak boleh menyerahkan kepada pihak ketiga. Hal ini dikecualikan jika peminjam memberikan izin untuk itu. Permasalahannya peminjam sangat sulit menolak karena sudah ada perjanjian baku yang wajib disetujui jika seseorang ingin meminjam uang. Padahal, hal tersebut sangat melanggar data pribadinya. Permasalahan berikutnya adalah belum adanya sanksi untuk pelindungan data pribadi, sehingga ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.

Apabila terdapat ancaman pengrusakan, ancaman kesusilaan, ancaman pembunuhan yang dilakukan secara online dapat terkena UU ITE. Apabila terdapat muatan pornografi, maka dapat terkena UU Pornografi. Apabila diancam untuk dibunuh atau rumahnya dirusak, maka dapat terkena Pasal 45B UU ITE. Jika terdapat muatan kesusilaan dapat terkena Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Jika melakukan pengancaman atau pemerasan yang dimaksud Pasal 369 KUHP, maka dia dapat terkena Pasal 45 ayat (4) UU ITE jika dilakukan secara online

Pengancaman itu pada dasarnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun, baik oleh pinjol legal maupun pinjol ilegal. Masalah pengancaman ini menjadi serius karena kita belum memiliki mekanisme penagihan utang bagi pinjol. Surat Edaran Bank Indonesia hanya berlaku bagi penagihan utang untuk mekanisme pembayaran secara kartu, misalnya soal kartu kredit. Surat Edaran tersebut berisi etika penagihan utang secara baik, yaitu:

  1. Menggunakan kartu identitas resmi;
  2. Dilarang dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan, atau tindakan yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit; 
  3. Dilarang dilakukan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;
  4. Dilarang dilakukan pada pihak selain pemegang kartu kredit;
  5. Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus-menerus yang bersifat mengganggu;
  6. Hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili pemegang kartu kredit;
  7. Hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 pagi sampai pukul 20.00 di wilayah waktu alamat penagihan kartu kredit; dan
  8. Penagihan hanya atas dasar persetujuan pemegang kartu kredit terlebih dahulu. 

Artinya, penagihan utang kartu kredit sudah terdapat pedomannya melalui Surat Edaran Bank Indonesia. Menurut narasumber, penagihan pinjol seharusnya sama dengan mekanisme penagihan utang oleh kartu kredit.

Memang orang yang melakukan pengancaman itu dapat dipidana sesuai dengan pasal-pasal yang dibahas. Akan tetapi, tidak hanya debt collector yang dapat dipidana. Menurut narasumber, orang yang menyuruh debt collector untuk melakukan tindak pidana juga dapat dipidana. Artinya, tanggung jawab pidana tidak hanya terbatas pada debt collector tetapi juga pada orang yang menyuruh debt collector.

Dalam menghadapi pinjol ilegal, terdapat langkah preventif dan langkah represif. Langkah preventif yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah pertama-tama harus mengetahui legalitas dari pinjol tadi melalui akses terhadap halaman OJK untuk melihat pinjol mana saja yang sudah berizin dan terdaftar. Kedua, masyarakat harus punya literasi keuangan dan literasi hukum yang sangat baik. Masyarakat harus membaca perjanjian pinjol dan bisa menolak apabila tidak setuju dengan perjanjian itu. Hal-hal seperti ini dapat dilakukan jika masyarakat memiliki literasi hukum yang baik. Permasalahannya menurut narasumber bukan hanya pada masyarakat tetapi negara harus turut andil dalam mengatasi masalah ini.

Terdapat beberapa aspek dalam pinjol, yaitu aspek perdata dan aspek pidana. Aspek pidana dalam pinjol adalah sebagai korban dapat melaporkan kepada kepolisian. Pertanyaannya, lembaga yang melindungi korban secara perdata adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan OJK. Secara Pidana, lembaga yang melindungi korban adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK adalah lembaga yang melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana, misalnya berupa perlindungan dan pemberian tempat aman. 

Narasumber melihat bahwa masyarakat harus memiliki literasi hukum yang sangat baik bagi pinjol ilegal agar tidak terjerat. Pada sisi lain, negara perlu berperan lebih dalam mengatur dan memberikan perlindungan bagi masyarakat. Mulai dari pelindungan data pribadi, kebijakan hukum yang melindungi korban, termasuk juga tata cara preventifnya mengenai mekanisme penagihan utang yang baik di pinjol, apa saja sanksinya, dan bagaimana jika ada yang melanggar. Aturan-aturan tersebut harus lebih banyak terlibat dan diberikan wewenang yang lebih terkait hal ini. Permasalahan ini terjadi selama ini karena negara hanya bersifat reaktif yang fungsinya hanya seperti pemadam kebakaran. Padahal, seharusnya negara juga mengambil langkah-langkah preventif untuk mengatasi permasalahan ini.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...