Narasumber: Staf dan Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
Notulen : Josef Henokh Widodo
Belakangan ini terdapat berita terbaru mengenai seorang pria yang mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) karena merasa dirugikan tidak dapat melangsungkan perkawinan beda agama. Fenomena tersebut terdapat korelasi dengan keberagaman yang ada di Indonesia, di mana seperti yang diketahui Indonesia dikenal sangat pluralistik. Sebagai contoh hukum waris Indonesia mengakui adanya hukum waris perdata, hukum waris adat dan hukum waris Islam. Sama halnya fenomena yang ada di dalam perkawinan beda agama di Indonesia, di mana hal tersebut berkaitan dengan hukum agama dan kepercayaan yang dianut di Indonesia. Pembahasan mengenai kebebasan beragama dan kepercayaan di Indonesia sebelumnya sudah pernah dibahas lebih lengkap di Podcast Bincang Hukum Episode 29 dengan narasumber salah satu dari dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR), yaitu Valerianus Beatae Jehanu, S.H., M.H.
Indonesia merupakan salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB). Dalam PBB terdapat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut DUHAM). Dalam DUHAM, khususnya dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) DUHAM menyebutkan bahwa:
“(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.”
Selain itu, sejalan dengan ketentuan di atas, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan pelaksanaan DUHAM. Lalu, dalam Pasal 10 ayat (2) UU HAM disebutkan bahwa:
“Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pengaturan atau dasar hukum mengenai tata cara perkawinan di Indonesia secara lebih rinci diatur dalam UU Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebut bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Berdasarkan ketentuan di atas, semua perkawinan di Indonesia sebenarnya balik lagi ke aturan-aturan yang dianut dan diajarkan oleh masing-masing agama dan kepercayaan. Selain itu, negara melakukan pendataan setiap perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing masyarakat. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Peraturan lebih lanjut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP 9/1975).
Pencatatan perkawinan telah diatur dalam PP 9/1975. Berdasarkan PP 9/1976, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan di Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA). Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya selain menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan di Kantor Catatan Sipil setempat. Selain itu, pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan telah diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut PP 40/2019 menyebutkan bahwa:
“Pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan ketentuan di atas, pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Namun, hukum positif Indonesia belum memberikan kepastian hukum bagi mereka yang ingin melaksanakan perkawinan beda agama dan kepercayaan. Sedangkan, fenomena perkawinan beda agama dan kepercayaan cukup banyak di masyarakat. Selain itu, penafsiran hukum positif Indonesia juga cenderung menganggap bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama. Hal ini menyebabkan perkawinan beda agama dan kepercayaan sulit dilakukan dan dicatatkan. Dengan tidak dicatatkan perkawinan tersebut, para pihak kesulitan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap perkawinannya, termasuk di antaranya adalah hak-hak istri dan anak-anak hasil perkawinan. Begitu juga dalam hal terjadi gugatan cerai para pihak yang melangsungkan perkawinan beda agama, lembaga negara akan mengalami kesulitan untuk dapat menangani dan memberi perlindungan hukum bagi hak-hak istri dan anak. Dengan demikian, negara seolah-olah menyarankan untuk melangsungkan perkawinan dengan agama dan kepercayaan yang sama.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Pasal 2 UU Perkawinan meletakkan frasa agama dan kepercayaan. Lalu, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara garis besar menilai bahwa agama dan kepercayaan adalah 2 (dua) jenis yang berbeda, tetapi setara. Berdasarkan hal tersebut, semakin memungkinkan banyak terjadi perkawinan beda agama dan kepercayaan. Misalnya, apabila salah satu pihak memiliki agama X, kemudian pasangannya memiliki kepercayaan, maka hal tersebut akan dianggap sebagai 2 (dua) jenis yang berbeda. Artinya, hal tersebut dapat dikatakan sebagai perkawinan beda agama dan kepercayaan. Semakin kelihatan bahwa pada praktiknya masih banyak terjadi perkawinan beda agama dan kepercayaan. Dengan adanya fenomena tersebut, muncul beberapa upaya lain yang dapat dilakukan untuk melegalkan perkawinan beda agama dan kepercayan. Berdasarkan pernyataan dari salah satu Guru Besar Hukum Keperdataan Universitas Indonesia, Prof. Wahyono Darmabrata, terdapat 4 (empat) cara yang biasanya dapat ditempuh untuk melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan, yaitu:
- Meminta penetapan pengadilan;
- Melangsungkan perkawinan dengan cara agama dan kepercayaan masing-masing;
- Penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan kepercayan; dan
- Melakukan perkawinan di luar negeri.
Namun, dalam podcast episode kali ini secara garis besar hanya membahas dua cara yang dapat ditempuh untuk melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan, yaitu meminta penetapan pengadilan dan melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan di luar negeri.
Pertama, mengenai meminta penetapan pengadilan. Hal ini terdapat yurisprudensinya, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/PDT/1986 (selanjutnya disebut Putusan MA 1400K/PDT/1986). Dalam Putusan MA 1400K/PDT/1986 diputuskan bahwa pemohon selaku pasangan yang berbeda agama tersebut diperkenankan untuk melakukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Putusan MA 1400K/PDT/1986 dapat menjadi dasar bagi perkawinan beda agama yang di mana oleh pasangan yang mengajukan tersebut untuk melakukan pencatatan sebagaimana yang dinyatakan pada isi putusannya. Putusan MA 1400K/PDT/1986 dapat menjadi salah satu contoh dari penemuan hukum dalam menyikapi perkawinan beda agama dan kepercayaan. Selain itu, hal tersebut juga diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan) yang menyebutkan bahwa:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
- perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
- perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.”
Berdasarkan ketentuan di atas, pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Lalu, dalam Penjelasan Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan oleh umat yang berbeda agama. Dengan demikian, pada dasarnya, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil bukan dalam hal keabsahan suatu perkawinan, melainkan hanya sebagai pemenuhan syarat administrasi di Indonesia.
Kedua, mengenai melakukan perkawinan di luar negeri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 56 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
“(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”
Berdasarkan ketentuan di atas, Warga Negara Indonesia (WNI) diperbolehkan untuk melakukan perkawinan di luar negeri selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan-ketentuan di dalam UU Perkawinan. Selain itu, apabila pasangan suami-istri tersebut kembali ke Indonesia, mereka harus mendaftarkan surat bukti perkawinannya ke Kantor Pencatatan Perkawinan dalam jangka waktu satu tahun setelah mereka kembali. Misalnya, di negara Australia, perkawinan dilakukan tidak dengan melakukan upacara keagamaan atau kepercayaan, melainkan hanya dilakukan di depan hakim atau di Kantor Catatan Sipil. Apabila mengacu Pasal 56 UU Perkawinan, WNI yang melakukan perkawinan di Australia yang sesuai dengan hukum Australia, lalu ia kembali ke Indonesia, maka WNI dan pasangannya dapat melakukan pencatatan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 UU Perkawinan. Namun, perkawinan di luar negeri hanya merupakan kesempatan yang dapat dirasakan sama pasangan suami-istri yang mampu secara finansial. Bagi para pasangan yang tidak memiliki dana untuk melangsungkan perkawinan di luar negeri merupakan sisi negatif dari perkawinan di luar negeri, sehingga pada praktiknya banyak pihak yang menuntut adanya kepastian hukum terkait perkawinan beda agama dan kepercayaan agar dapat memadai seluruh WNI. Oleh karena itu, belakangan ini terdapat pengajuan judicial review terhadap UU Perkawinan terkait perkawinan beda agama dan kepercayaan oleh warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, yang bernama Ramos Petege. Judicial review tersebut dilakukan karena Ramos Petege merasa bahwa UU Perkawinan menyebabkan dirinya tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangannya yang berbeda agama.
Pada tahun 2014, pernah juga dilakukan judicial review terkait perkawinan beda agama oleh orang yang berbeda pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 oleh 4 (empat) pemohon, yaitu Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra. Para pemohon mengajukan uji materiil terkait dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Alasan para pemohon mengajukan uji materiil terkait dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah memberikan dampak pada sah atau tidak sahnya perkawinan yang berbeda agama dan kepercayaan. Akibat ketidakjelasan terkait dengan hal tersebut, maka pada praktiknya sering dilakukan beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan yang sudah dijelaskan sebelumnya agar sah di mata hukum. Misalnya, dengan melakukan perkawinan di luar negeri, perkawinan secara adat atau pindah agama sesaat. Berdasarkan fenomena tersebut, terlihat bahwa pasangan yang ingin melakukan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan tidak dapat melakukan perkawinannya secara bebas, sehingga para pemohon juga berpendapat bahwa hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) terkait hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah. Selain itu, hal tersebut juga melanggar hak atas persamaan dihadapan hukum dan kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karena itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) agar membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan dari negara terhadap perkawinan berbeda agama dan kepercayaannya.
Akan tetapi, permohonan dari keempat pemohon tersebut ditolak. Alasan MK menolak adalah bahwa UU Perkawinan telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD NRI 1945, serta dapat menampung segala kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Terlebih lagi, dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga negara wajib untuk tunduk terhadap pembatasannya ditetapkan oleh undang-undang yang salah satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama. Selain itu, MK juga tidak setuju dengan para pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan memberi legitimasi kepada negara untuk mencampur adukan administrasi dan pelaksanaan ajaran agama, serta mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Hal ini disebabkan karena dalam Pancasila dan UUD NRI 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Oleh karena itu, MK juga berpendapat bahwa perkawinan itu tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal saja, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial.
Terdapat pendapat dari Hakim Konstitusi, yaitu Maria Farida. Beliau menyatakan bahwa perkawinan beda agama itu tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan karena itu menimbulkan beberapa penafsiran. Hal ini disebabkan UU Perkawinan dibentuk sebelum adanya perubahan UUD NRI 1945, sehingga sudah selayaknya UU Perkawinan perlu dikaji kembali dan dipertimbangkan dilakukan perubahan agar menjadi undang-undang yang dapat melindungi, serta menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara. Namun, Hakim Konstitusi Maria Farida tidak setuju dengan pengajuan penambahan frasa oleh para pemohon dalam pasal tersebut menjadi “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai”. Hal ini disebabkan karena penambahan frasa tersebut justru akan membuat ketidakpastian hukum dan menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga penambahan frasa tersebut menyebabkan tidak beralasan demi hukum.
Berbeda dengan judicial review yang belakangan ini baru diajukan pada tahun 2022, pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Pemohon menilai terdapat ambiguitas dalam pelaksanaannya di Indonesia karena perkawinan di Indonesia melekat pada berbagai macam agama, budaya dan suku. Lalu, hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia juga melibatkan hukum adat, hukum negara dan hukum agama.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ternyata masih banyak permasalahan yang dihadapi di Indonesia dalam hal perkawinan beda agama dan kepercayaan. Permasalahan yang terjadi seperti adanya kekosongan hukum mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama dan kepercayaan dalam UU Perkawinan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat potensi dilakukannya upaya-upaya lain untuk melegalkan perkawinan beda agama dan kepercayaan, seperti dengan melakukan perkawinan di luar negeri dan upaya-upaya lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya, upaya-upaya tersebut bukan mengenai keabsahan perkawinan, melainkan hanya memenuhi syarat di bagian administrasi. Selain itu, UU Perkawinan merupakan undang-undang yang sudah cukup lama, yaitu sudah ada sejak tahun 1974. Artinya, apabila sekarang tahun 2022, maka UU Perkawinan sudah berumur 48 (empat puluh delapan) tahun. Meskipun demikian, sudah terdapat perubahan pada tahun 2019 terkait dengan UU Perkawinan. Akan tetapi, perubahan UU Perkawinan tersebut hanya sebatas mengenai umur, sehingga mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan belum ada pengaturannya secara lebih jelas. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan untuk melakukan perubahan agar menjadi undang-undang yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional, serta hak asasi semua warga negara. Apabila sudah terdapat peraturan yang secara tegas mengatur mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan, maka pemerintah perlu melakukan sosialisasi peraturan ke masyarakat dan pelaksana peraturan agar dapat mengetahui maksud dari peraturan tersebut dan dapat menerapkannya, sehingga tidak terjadi problematika dalam kehidupan bermasyarakat.
Tersedia di: