Polemik Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 Tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI

Narasumber: Daffa Dhiya – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pada tanggal 1 Januari 2021, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Kapolri) menerbitkan Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI (selanjutnya disebut Mak/1/I/2021). Dalam poin Nomor 2 Mak/1/I/2021, Kapolri mengklaim bahwa maklumat tersebut dibuat dengan maksud untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan serta keselamatan masyarakat. Tentu saja, niat dari Kapolri untuk membuat maklumat tersebut merupakan niat yang baik. Akan tetapi, niat baik itu justru membawa permasalahan.[1]

Pada dasarnya, maklumat tersebut berisi beberapa perintah dan larangan yang terdapat pada poin nomor 2 Mak/1/I/2021. Pertama, masyarakat tidak boleh terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung dan memfasilitasi serta menggunakan simbol dan atribut Front Pembela Islam (selanjutnya disebut sebagai FPI). Kedua, masyarakat harus segera melaporkan kepada aparat yang berwenang apabila menemukan kegiatan, simbol, dan atribut FPI serta tindakan yang melanggar hukum. Ketiga, mengedepankan Satuan Polisi Pamong Praja dengan didukung sepenuhnya oleh TNI-Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut Polri) untuk melakukan penertiban di lokasi-lokasi yang terpasang spanduk, atribut, pamflet, dan hal lainnya terkait FPI. Keempat, masyarakat tidak boleh mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten FPI baik melalui website maupun media sosial.

Permasalahan yang timbul dari penerbitan maklumat ini adalah bahwa sebenarnya Kapolri tidak berwenang untuk membuat peraturan yang mengikat. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, polisi berfungsi sebagai penegak hukum, bukan sebagai legislator. Akan tetapi, Ahmad Ramadhan selaku Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes mengatakan, Polri akan menindak masyarakat yang tidak mematuhi Maklumat Kapolri soal FPI sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ramadhan lewat keterangannya pada Minggu, 3 Januari 2021 menyatakan bahwa:

“Apabila masih ada masyarakat yang tidak mematuhi maklumat ini tentunya Polri wajib mengambil langkah-langkah yang disesuaikan dengan perbuatan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.” [2]

Akan tetapi, maklumat Kapolri tidak terdapat dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut sebagai UU No. 12/2011). Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011 menyebutkan bahwa:

            “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. “

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011 yang telah dijabarkan di atas, jelas bahwa maklumat Kapolri bukan merupakan jenis peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Jadi, ucapan Ahmad Ramadhan yang mengatakan bahwa Polri akan menindak pelanggaran terhadap Mak/1/I/2021 tentu saja tidak tepat karena maklumat Kapolri tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga jika maklumat Kapolri dilanggar pun seharusnya rakyat tidak dapat diproses melalui hukum.

Selain itu, sebenarnya ada jenis peraturan perundang-undangan selain yang terdapat pada Pasal 7 UU No. 12/2011, yaitu Pasal 8 UU No. 12/2011 yang menyatakan bahwa peraturan yang dibuat oleh lembaga negara dapat dianggap sebagai peraturan perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Misalnya peraturan KPU tentang Pemilu bisa dianggap sebagai peraturan perundang-undangan. Namun, tidak semua peraturan yang dibuat oleh lembaga negara dapat mengikat ke luar atau mengikat secara umum. Sebagai contoh, dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib dituliskan bahwa ia bertujuan untuk mengatur susunan dan kedudukan, hak dan kewajiban, serta pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas DPR beserta alat kelengkapannya. Oleh karena itu, peraturan tata tertib DPR hanya berlaku secara internal dan peraturan peraturan tersebut bukan merupakan peraturan perundang-undangan.

Maka dari itu, dapat dikatakan juga bahwa sebenarnya isi dari maklumat Kapolri ini bukanlah hal yang tepat. Hal ini dikarenakan isi maklumat tersebut mencoba mengatur hak konstitusional rakyat tetapi dari segi formal pun sudah cacat. Maklumat Kapolri ini jika dinilai dari segi formal, maka dapat dikatakan bahwa kedudukannya tidak jelas.

Selain permasalahan dari segi formal, ada permasalahan juga dari segi substansinya. Dalam Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 sudah jelas terdapat peraturan yang membatasi hak berorganisasi yang terdapat pada poin 2a dan 2b yang bertentangan dengan Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Dengan demikian, UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression).[3] Lalu, ada juga peraturan yang membatasi hak untuk memperoleh informasi. Pada poin 2d Mak/1/I/2021 disebutkan bahwa masyarakat tidak boleh mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten FPI. Hal ini juga tentunya bertentangan dengan UUD 1945.

Informasi publik merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) yang telah  diatur secara  konstitusional dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam rangka mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Lebih dari itu, setiap orang dijamin pula haknya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, serta  menyampaikan informasi dengan menggunakan semua jenis saluran yang tersedia.[4]

Jadi, terlihat bahwa peraturan dari Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 bertentangan dengan UUD 1945 yang melanggar HAM. Akan tetapi, bukan berarti hak-hak rakyat yang terdapat dalam UUD 1945 tidak dapat dibatasi. Pembatasan hak sebenarnya dapat dilakukan apabila sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa: 

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Berdasarkan ketentuan di atas, pembatasan hak dan kebebasan harus ditetapkan dengan undang-undang. Hal tersebut tidak dapat diatur oleh jenis peraturan perundang-undangan lain.Maka dari itu, sebaiknya isi peraturan yang terdapat dalam maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 dapat dibuat apabila bentuknya bukan dalam maklumat, melainkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan harus sesuai dengan UU No. 12/2011.

Akan tetapi, walaupun ada beberapa permasalahan dalam maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 sebenarnya ada tujuan baik yang ingin dicapai oleh maklumat tersebut. Seperti yang dituliskan dalam maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021, maklumat ini memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan serta keselamatan masyarakat. Hal ini menyebabkan, niat awal yang ingin dicapai oleh maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 sudahlah tepat karena bertujuan untuk mencapai ketertiban umum.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa permasalahan dalam maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021, baik dari segi formal maupun substansi. Namun, walaupun ada permasalahan tersebut tetapi sebenarnya maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 memiliki tujuan yang baik. Solusi yang dapat penulis tawarkan adalah bahwa sebaiknya isi dari maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 ini dijadikan dalam bentuk perundang-undangan. Isinya pun harus sesuai dengan UU No. 12/2011 dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14).
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Referensi:

[1] Achmad Nasrudin Yahya, Maklumat Kapolri: Masyarakat Tak Boleh Mengakses, Mengunggah, dan Menyebarluaskan Konten FPI, https://nasional.kompas.com/read/2021/01/01/12011121/maklumat-kapolri-masyarakat-tak-boleh-mengakses-mengunggah-dan (diakses pada 5 Agustusu 2021).

[2] Luqman Nurhadi Arunanta, Polri Akan Tindak Masyarakat yang Tak Patuhi Maklumat Kapolri soal FPI, https://news.detik.com/berita/d-5319141/polri-akan-tindak-masyarakat-yang-tak-patuhi-maklumat-kapolri-soal-fpi (diakses pada 19 Januari 2021).

[3] Bahar Elfudllatsani, Kajian Mengenai Kebebasan Berkumpul dan Berserikat Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Melalui Organisasi Kemasyarakatan Kaitannya Dengan Teori Kedaulatan Rakyat dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Volume 7-Nomor 1, Januari – Juni 2019, Halaman 53.

[4] Adam Muhshi, Pemenuhan Hak atas Informasi Publik sebagai Tanggung Jawab Negara dalam rangka Mewujudkan Good Governance, Lentera Hukum, Volume 5- Nomor 1, Mei 2018, Halaman 73.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...