Pewarisan Berdasarkan KUHPerdata: Siapa Ahli Waris Ab Intestato

Penulis : Febri Patricia Margareth S.

Sengketa atau konflik akibat harta warisan tidak jarang terdengar di kalangan masyarakat. Salah satunya seperti sengketa harta warisan antara ibu dan anak-anaknya yang pernah terjadi di Yogyakarta. Mengetahui siapa saja ahli waris yang sah menurut undang-undang (ab intestato) dapat membantu untuk menghindari sengketa atau konflik yang mungkin timbul di antara ahli waris. Hukum waris sendiri adalah hukum yang mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.[1] Hukum waris di Indonesia memiliki karakteristik pluralisme karena terdapat beberapa macam sistem hukum waris yang dapat digunakan dalam hal mewaris. Sistem hukum waris yang dimaksud adalah: 

  1. hukum waris menurut hukum perdata;
  2. hukum waris menurut hukum islam; dan 
  3. hukum waris menurut hukum adat. 

Setiap hukum waris tersebut berlaku di Indonesia dan memiliki karakteristik serta cara pembagian yang berbeda-beda. Hukum waris menurut hukum perdata sendiri memiliki 2 (dua) macam sistem pewarisan, yaitu pewarisan menurut undang-undang (ab intestato) dan pewarisan berdasarkan surat wasiat (testamentair). Oleh karena itu, hadirnya tulisan ini akan memberikan panduan bagi masyarakat untuk memahami penggolongan ahli waris secara ab intestato.

Sebelum membahas penggolongan ahli waris ab intestato perlu diketahui terlebih dahulu beberapa unsur esensial dalam hukum waris. Pertama, adanya pewaris yakni orang yang meninggal dan meninggalkan harta kekayaannya kepada orang lain. Kedua, adanya ahli waris yang masih hidup. Ahli waris merupakan orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan, baik sebagian maupun untuk seluruhnya.[5] Terakhir, adanya harta yang diwariskan. Harta yang dapat diwariskan merupakan segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (pewaris).

Lebih lanjut, pengaturan hukum waris menurut hukum perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) tepatnya dalam Buku Kedua tentang Kebendaan pada Titel XII sampai dengan Titel XVIII. Hal ini menunjukkan bahwa hukum waris itu mengatur peralihan hak kebendaaan yang ditinggalkan oleh seseorang. Oleh karena itu, dalam hukum waris hanya hak dan kewajiban yang berada dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang diwariskan.[2] Beberapa contohnya adalah hak milik atas barang pewaris, piutang, dan utang. Hak dan kewajiban seperti hak dan kewajiban seorang suami atau istri, hak dan kewajiban seseorang sebagai anggota perkumpulan, atau hak dan kewajiban seseorang berdasarkan perjanjian perburuhan bukanlah jenis hak dan kewajiban yang dapat diwariskan.[3] Selain itu, dalam hukum waris juga berlaku beberapa asas yang diantaranya:

  1. Asas le mort saisit levif  yang berarti apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.[4] 
  2. Asas perderajatan yang berarti ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan pewaris akan menutup peluang ahli waris yang derajatnya lebih jauh.

Oleh karena itu, pewarisan ab intestato mengadakan 4 (empat) golongan ahli waris untuk mempermudah penghitungan waris. Dimana keempat golongan ahli waris tersebut dapat mewaris karena kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) dan/atau karena penggantian tempat (bij plaatsvervulling/representasi).[7] 

Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata, ahli waris yang memiliki hak untuk menerima warisan berdasarkan pewarisan ab intestato (selanjutnya disebut ahli waris ab intestato) didasarkan pada hubungan keluarga sedarah maupun hubungan perkawinan. Dimana pembagian ini terbagi menjadi beberapa 4 (empat) golongan yang diantaranya sebagai berikut:[6]

  1. Golongan I yang terdiri dari: anak sah, suami atau istri yang hidup paling lama, termasuk istri kedua atau suami kedua, dan seterusnya. 
  2. Golongan II yang terdiri dari: orang tua dan saudara-saudara sekandung, seayah, atau seibu;
  3. Golongan III yang terdiri dari: sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas baik dalam garis ayah, maupun ibu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa golongan III ini meliputi kakek nenek dari pihak ayah dan kakek nenek dari pihak ibu;
  4. Golongan IV yang terdiri dari: keluarga sedarah ke samping beserta keturunannya sampai derajat keenam.

Sebagaimana yang telah dijelaskan Penulis terkait asas perderajatan maka keluarga yang lebih dekat menutup peluang keluarga yang lebih jauh (kecuali dapat terjadi golongan III dan golongan IV bersama-sama menjadi ahli waris.)[8] Berikut Penulis berikan contoh ilustrasi pembagian harta waris dan pengecualian terhadap golongan III dan golongan IV yang dapat mewaris bersama-sama:

  • X meninggal dunia meninggalkan seorang istri bernama A dan 2 (orang) anak kandung bernama B dan C maka pembagian warisannya adalah A = B = C yang masing-masing memperoleh ⅓ bagian. Akan tetapi, perlu diingat jika sepasang suami istri tidak memiliki perjanjian pra nikah maka harta warisan adalah setengah harta bersama. Pembagian warisan dengan ilustrasi yang sama akan menjadi ½ bagian dikali seluruh harta warisan adalah milik istri X sebagai pasangan pernikahan yang hidup lebih lama. Kemudian, ½ bagiannya lagi akan dibagi kepada 3 ahli waris, yaitu A sebagai istri serta B dan C sebagai anak pewaris.
  • X adalah anak tunggal dari pasangan suami istri bernama A dan B. Kedua orang tua X telah meninggal dunia pada tanggal 12 Desember 1998. Pada tanggal 3 April 2024, X dinyatakan meninggal dunia. Diketahui bahwa X tidak memiliki istri maupun anak semasa ia hidup. Pada kondisi ini artinya tidak terdapat golongan I maupun II. Lebih lanjut, dari sisi ayah X, yaitu A diketahui bahwa kakek dan nenek X, yaitu C dan D masih hidup dan tidak memiliki anak selain A yang masih hidup. Kemudian, dari sisi ibu X, yaitu B diketahui bahwa terdapat paman X, yaitu U yang masih hidup dan sepupu X, yaitu S yang masih hidup yang merupakan anak dari bibinya T yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini C dan D yang merupakan golongan III dari garis ayah bersama-sama menjadi ahli waris dengan U dan S yang merupakan golongan IV dari garis ibu. Maka dari itu, cara pembagian warisannya adalah C dan D bersama-sama mendapatkan ½ bagian dan masing-masing memperoleh ½ x ½ = ¼ bagian. Kemudian, U dan S juga bersama-sama mendapatkan ½ bagian dan masing-masing memperoleh ½ x ½ = ¼ bagian. Adapun dalam ilustrasi ini, S menggantikan kedudukan T untuk mewaris bersama-sama U karena penggantian tempat.

Lebih lanjut, anak yang masih berada dalam kandungan seorang ibu juga memiliki bagian terhadap harta warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 836 juncto Pasal 2 KUHPerdata. Dimana bagian terhadap harta warisan tersebut akan diterima oleh anak tersebut ketika lahir nanti. Selain itu, seiring dengan perkembangan anak luar kawin yang diakui dapat mewaris berdasarkan kedudukannya tersendiri bersama dengan keempat golongan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sekalipun pewarisan ab intestato menggunakan asas yang menyatakan bahwa hanya hak dan kewajiban yang berada dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang diwariskan, pada dasarnya KUHPerdata juga mengatur mengenai orang-orang yang tidak patut menjadi ahli waris sehingga tidak berhak mendapatkan harta warisan yang diantaranya:[9]

  1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si pewaris;
  2. mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;
  3. mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya; atau
  4. mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat si pewaris.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ahli waris merupakan unsur esensial dari hukum waris. Dimana dalam pengaturan hukum waris menurut hukum perdata, ahli waris terbagi menjadi 4 (empat) golongan. Ahli waris tersebut dapat mewaris berdasarkan kedudukan sendiri dan/atau penggantian tempat. Hal ini menyebabkan apabila golongan pertama tidak ada maka golongan kedua akan menggantikan kedudukan golongan pertama. Begitu pula jika golongan kedua tidak ada maka golongan ketiga akan menggantikannya, dan seterusnya dengan pengecualian terhadap golongan ketiga dan keempat yang dapat menerima warisan bersama-sama.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesië, (Staatsblad 1847 Nomor 23).

Referensi:

[1] Nuryanto, Konflik Harta Warisan, Seorang Ibu di Yogyakarta Saling Gugat dengan 4 Anaknya di Pengadilan, https://www.tvonenews.com/daerah/yogyakarta/114371-konflik-harta-warisan-seorang-ibu-di-yogyakarta-saling-gugat-dengan-4-anaknya-di-pengadilan.

[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata 17 (Jakarta: Intermasa, 2017).

[3] Rizkisyabana Yulistyaputri, Hukum Waris Indonesia (BW – Hukum Islam – Hukum Adat) Teori dan Praktik 18 (Depok: Rajawali Pers, 2021).

[4] Id.

[5] Id.

[6] Subekti, supra catatan no. 2, pada 95.

[7] Pasal 833 KUHPerdata.

[8] Id.

[9] Id.

[10] Djaja Meliala, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 4 (Bandung: Nuansa Aulia, 2019).

[11] Id., pada 10. 

[12] Id., pada 9-10. 

[13] Rizkisyabana Yulistyaputri, supra catatan no. 3, pada 30.

[14] Id.

[15] Djaja Meliala, supra catatan no. 10, pada 11-12 dan 17-18.

[16] Pasal 863 KUHPerdata.

[17] Rizkisyabana Yulistyaputri, supra catatan no. 3, pada 19.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...