Narasumber: Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
Belakangan ini banyak kasus-kasus persidangan selebriti yang menjadi perhatian masyarakat luas. Seperti salah satunya persidangan pada kasus suap petugas karantina yang dilakukan oleh Selebriti Instagram (selanjutnya disebut Selebgram)RV. RV divonis bersalah karena telah melarikan diri dan tidak melakukan karantina setelah pulang dari Amerika Serikat sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah, dengan cara menyuap Satuan Gagas Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).[1]Kasus tersebut ramai diperbincangkan masyarakat karena Hakim memberikan vonis hukuman percobaan selama 8 (delapan) bulan, dan tidak menjatuhkan pidana penjara sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada saat sidang pembacaan putusan, Hakim mengatakan bahwa hal yang meringankan adalah RV terus terang mengakui perbuatannya. Selain itu, RV juga dikatakan bersikap sopan dan kooperatif selama menjalani proses hukum.[2] Pernyataan Hakim yang menyebutkan bahwa “sopan” menjadi salah satu alasan meringankan menjadi pergunjingan diantara masyarakat, bahkan banyak yang mengecam putusan tersebut. Maka dari itu, menjadi sebuah pertanyaan apakah “sikap sopan” ini dapat menjadi pertimbangan meringankan dalam memutus sebuah putusan. Selain itu, akan dibahas terkait dengan kewenangan Hakim mengenai faktor meringankan dan memberatkan sebuah putusan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat merujuk kembali pada fungsi kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.”
Dari pasal tersebut, terlihat bahwa sebenarnya, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu ciri khas Indonesia sebagai suatu negara hukum. Selain itu, terdapat juga prinsip kemandirian Hakim yaitu kebebasan Hakim dalam pelaksanaan tugas peradilan, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apapun yang dapat memengaruhi keyakinan dan putusan pengadilan.[3] Akan tetapi, kebebasan ini tentunya tidak mutlak tanpa batas yang dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan. seorang Hakim harus berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku Hakim.[4] Terlebih lagi, Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tersebut juga menjadi bukti bahwa Hakim harus memutuskan perkara yang diadilinya berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan yang diyakininya. Agar putusannya diambil secara adil dan objektif, dalam sidang yang terbuka untuk umum, Hakim wajib membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipergunakan dalam mengutus perkara nya demi mencegah subjektivitas, dimana beberapa pertimbangannya adalah pertimbangan yang memberatkan dan meringankan.
Selanjutnya, dapat muncul juga pertanyaan mengenai bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara? Terdapat 2 (dua) ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang dapat menjawab pertanyaan ini yaitu:
- Pasal 53 UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa:
“(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.”
- Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman yang mengatakan bahwa:
“Putusa pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Dari kedua ketentuan tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya Hakim tidak boleh membaca hukum hanya secara normatif (yang terlihat) saja, melainkan dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas dan lebih jauh kedepan. Bahkan, seorang Hakim juga harus mampu melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatu ketentuan tertulis, pemikiran apa yang ada disana dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu.[5] Di samping itu, terdapat juga landasan yuridis dan filosofis kekuasaan kehakiman yang berlandaskan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga agar selaras dengan ketentuan tersebut, Hakim sebagai unsur inti dalam Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakiman wajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman.[6]
Setelah mengetahui wewenang dan pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara, dapat dibahas pertanyaan berikutnya yaitu faktor apa saja yang memberatkan dan meringankan serta memengaruhi Hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana? Berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan, terdapat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang merumuskannya sebagai berikut:
- Hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana oleh
KUHP, yaitu:[7] - jabatan dalam Pasal 52 KUHP yang
mengatur bahwa jika pejabat melakukan tindak pidana dengan melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya,
pidananya akan ditambah ⅓ (satu per tiga); - pengulangan (recidive) yaitu pengaturan mengenai pengulangan (recidive) tindak pidana, dimana KUHP
memberi pengaturan mengenai pengulangan yang diatur secara tersebar pada Buku
II dan Buku III KUHP; dan - penggabungan tindak pidana, dimana gabungan melakukan tindak
pidana dalam hukum positif sering diistilahkan dengan (Belanda: samenloop, Latin: concursus) yang diatur dalam buku 1 bab VI KUHP Pasal 63-71.
b. Hal-hal yang dijadikan alasan meringankan oleh KUHP, yaitu:
- Percobaan dalam melakukan kejahatan
yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan (3) KUHP; - Membantu melakukan (medeplichtigheid)yang
ada pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) KUHP; dan - Belum dewasa (minderjarigheid) yang ada
pada Pasal 47 KUHP.
Untuk membantu pemahaman mengenai pertimbangan Hakim, dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli No. 08/Pid.B/2013/PN GS yang menjatuhkan pidana mati terhadap Terdakwa Yusman Telaumbanua karena terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Putusan tersebut memuat pertimbangan keadaan memberatkan sebagai berikut:
- perbuatan Terdakwa sadis, keji dan
tidak berperikemanusiaan; - perbuatan Terdakwa diikuti dengan
perbuatan lain, mengambil uang korban, membakar mayat korban dan memenggal
kepala korban; - perbuatan Terdakwa menimbulkan
kesedihan mendalam pada keluarga korban; dan - motivasi Terdakwa menunjukan sikap atau karakter kurang dapat
memberi penghargaan terhadap kehidupan manusia.
Selain itu, terdapat juga Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 151/Pid.Sus/2013/PN Jkt. Tim. Dalam perkara, Terdakwa M. Rasyid Amrullah Rajasa, dijatuhkan pidana percobaan dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia, korban luka dan terjadi kerusakan barang, dengan pertimbangan keadaan meringankan sebagai berikut:
- Terdakwa berlaku sopan dan tidak
mempersulit jalannya persidangan; - Terdakwa masih berusia muda dan
masih berstatus mahasiswa; - Terdakwa maupun keluarga Terdakwa
telah meminta maaf kepada keluarga korban, Terdakwa dan/atau keluarganya
memberikan perhatian yang begitu besar kepada para korban dengan mengunjungi
keluarga korban, menghadiri pemakaman korban, memberikan santunan dan biaya
pemakaman, mengganti kerugian kendaraan yang rusak, membiayai perawatan korban
yang sakit dan membiayai pendidikan anak korban yang meninggal dunia; dan - Terdakwa aktif memberikan pertolongan kepada korban.
Berikutnya, dapat terlihat juga dalam bahwa dalam KUHP terdapat alasan-alasan pemaaf dan pembenar atas suatu tindak pidana. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) adalah alasan yang mempertimbangkan dengan sikap batin pelaku tindak pidana sebelum atau sesudah tindak pidana dilakukan, sehingga menghapuskan kesalahan si pelaku tindak pidana.[8] Adapun contoh dari alasan pemaaf terdapat dalam Pasal 44 KUHP yang mengatur mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab pelaku tindak pidana karena adanya kecacatan jiwa karena penyakit yang dinyatakan oleh psikiater. Berbeda dengan alasan pemaaf, alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) justru berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang berada di luar sikap batinnya, sehingga menghapus sifat melawan hukum perbuatan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan mengenai sikap sopan sebagai alasan meringankan Terdakwa secara eksplisit. Akan tetapi, terdapat beberapa putusan seperti Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS.2015, dimana terdapat 2 (dua) alasan yg digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung yang meringankan Terdakwa yaitu belum pernah dihukum dan bersikap sopan. Putusan itu juga diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017 yang mengatakan bahwa memang sikap sopan meringankan pidana bagi Terdakwa. Di sisi lain, ada juga beberapa ahli yang mengatakan bahwa sikap sopan di persidangan itu tidak bisa dipertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan pidana bagi Terdakwa karena sikap sopan di persidangan adalah kewajiban bagi setiap orang. Akan tetapi, Dwi Hananta, seorang Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Kelas I A mengatakan bahwa memberatkan pidana karena sifat jahat tapi tidak meringankan pidana karena sifat baik itu bisa menimbulkan ketidakseimbangan dalam pemidanaan. Maka dari itu, dapat terlihat bahwa sebenarnya masih terdapat pendapat pro dan kontra dalam anggapan sikap sopan sebagai alasan yang meringankan pidana. Namun, yang harus diperhatikan lagi bahwa tujuan dari hukum adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dan yg menjadi penentu dari terciptanya keadilan itu dalam persidangan adalah Hakim melalui putusannya.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
Referensi:
[1] Aiman Witjaksono, Alur Kongkalikong Suap Rp.40 Juta Rachel Venya Agar Bebas Karantina, https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/21/07062261/alur-kongkalikong-suap-rp-40-juta-rachel-vennya-agar-bebas-karantina?page=all (diakses pada tanggal 25 Januari 2022).
[2] Ibid.
[3] Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12-Nomor 2, Juni 2015, halaman 217.
[4] Ibid.
[5] Afif Khalid, Penafsiran Hukum Oleh Hakim dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Al’ Adl, Volume 6-Nomor 11, Januari 2014, halaman 27.
[6] Firman Floranta Adonara, supra note 2, halaman 219.
[7] Sugali, Hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana, https://sugalilawyer.com/hal-yang-memberatkan-dan-meringankan-pidana/ (diakses pada tanggal 25 Januari 2022).
[8] Sionit T. Martin Gea, Alasan Pemaaf dalam Tindak Pidana, http://www.martingealawyers.com/2020/03/05/alasan-pemaaf-dalam-tindak-pidana/ (diakses pada tanggal 25 Januari 2022).
[9] Syafira Agata Ramadhani, Dasar Peniadaan Pidana dan Peringanan Pidana dalam KUHP, https://menuruthukum.com/2020/04/29/dasar-peniadaan-pidana-dan-peringanan-pidana-dalam-kuhp/#:~:text=Dasar%20Pembenar%20(rechtvaardigingsgronden)%2C%20yaitu,perbuatan%20yang%20patut%20dan%20benar (diakses pada tanggal 25 Januari 2022).
[10] Erizka Permatasari, Terdakwa Sopan, Bisakah Jadi Alasan Peringan Pidana?, https://www.hukumonline.com/klinik/a/terdakwa-sopan-bisakah-jadi-alasan-peringan-pidana-lt61baf87211bd2 (diakses pada tanggal 25 Januari 2022).
Tersedia di: