Narasumber: Josef Henokh Widodo – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR
Pada hari Rabu, 19 Januari 2022 silam, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (selanjutnya disebut PN Jakarta Timur), Lingga Setiawan memvonis Gaung Sabda Alam Muhammad (selanjutnya disebut GM), seorang selebriti Instagram (selanjutnya disebut selebgram) berumur 21 (dua puluh satu) tahun terbukti telah lalai dalam mengemudi sehingga menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban menderita luka berat. GM divonis pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Jika denda tidak dibayar, maka akan diganti kurungan 2 (dua) bulan penjara.[1]
Kronologi kecelakaan tersebut berawal dari 7 Desember 2019, GM bersama kekasihnya, yaitu Laura Anna (selanjutnya disebut LA) dan teman-temannya pergi ke salah satu kelab malam di kawasan Sudirman Central Business District (selanjutnya disebut SCBD), Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta (selanjutnya disebut DKI Jakarta). Ketika berada di kelab malam tersebut GM mengkonsumsi alkohol jenis gin dan tonic sebanyak 2 (dua) atau 3 (tiga) gelas. Lalu, setelah dari kelab malam, GM dan LA pergi ke kawasan Blok M, Jakarta Selatan, DKI Jakarta untuk makan terlebih dahulu. Kemudian GM bersama LA melanjutkan perjalanan dan mengalami kecelakaan di tol Jagorawi pada kilometer 10 (sepuluh).[2]
Akibat kecelakaan itu, LA menderita cervical vertebrae dislocation atau dislokasi tulang belakang leher yang menyebabkan dirinya mengalami kelumpuhan.[3] Sementara GM sebagai pengemudi hanya mengalami cedera ringan pada beberapa bagian tubuh.[4] GM divonis telah melanggar Pasal 310 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ)[5], yang berbunyi:
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
Dengan demikian, kelalaian dalam kecelakaan lalu lintas yang diatur di dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ terjadi di luar apa yang dikehendaki. Sebagai contoh, pengemudi sudah berhati-hati, namun rem kendaraan bermotor tersebut mengalami rem blong.[6]
Pada tahun 2016, kasus kecelakaan yang hampir sama pernah terjadi di Maluku Tengah. Pada kasus ini, Yudha Tumagola (selanjutnya disebut YT) yang berumur 31 (tiga puluh satu) tahun juga mengalami kecelakaan yang mengakibatkan korban luka berat.[7] YT bersama dengan saksi Noho Saputra Manilet (selanjutnya disebut NS) mengkonsumsi minuman keras jenis sopi sebanyak 1 (satu) setengah botol, setelah minuman tersebut habis, YT membonceng NS menuju ke Dusun Pohon Lemon untuk melihat temannya di Pengasaran Kopra, lalu YT kembali membonceng NS dengan tujuan ke Desa Kobi Sadar, namun di dalam perjalanan YT mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang pada saat itu YT dalam pengaruh minuman keras. Kemudian YT menabrak bagian sebelah kanan sepeda motor yang dikendarai oleh Abdullah Manimalu (selanjutnya disebut AM). Akibat dari kecelakaan itu, AM sebagai korban mengalami luka berat. Berbeda dengan kasus GM, YT terbukti dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban menderita luka berat. YT divonis telah melanggar Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ[8], yang berbunyi:
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).”
Kutipan Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ mengutip pada Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).”
Dengan demikian, kecelakaan lalu lintas yang diatur di dalam Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ disebabkan karena orang sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang.[9] Hal ini menimbulkan pertanyaan apa perbedaan Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ dan Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ? Lalu bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pengemudi dalam keadaan mabuk yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas?
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat terdapat perbedaan antara Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ dan Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ, yaitu sikap batin pelaku. Sikap batin pelaku pada Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ adalah lalai (culpa), sementara sikap batin pelaku pada Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ adalah sengaja (dolus). Membahas mengenai sikap batin dalam hukum pidana itu masuk dalam pembahasan mengenai asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa kesalahan (culpabilitas).[10] Pengertian asas kesalahan adalah bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum pidana yang berlaku, tidak dapat dipidana karena ketiadaan kesalahan dalam perbuatannya tersebut.[11] Pada prinsipnya asas kesalahan merupakan salah satu asas fundamental yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan yang mencakup kelalaian (culpa) dan/atau kesengajaan (dolus) dalam dirinya.[12]
Menurut Memorie van Toelichting (MvT), sengaja (dolus) diartikan sebagai willen en wetten atau menghendaki dan mengetahui.[13] Kemudian, seorang ahli hukum pidana, Van Hattum menjelaskan bahwa menghendaki diartikan sebagai opzet als oogmerk atau menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatan, sementara mengetahui diartikan sebagai opzet als wetenschap atau mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatan.[14] Sedangkan, lalai (culpa) diartikan sebagai situasi dimana seseorang seharusnya melakukan tindakan kehati-hatian, namun tidak melakukannya (tidak adanya kehati-hatian) atau seharusnya melakukan penduga-dugaan namun tidak melakukannya (kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul).[15]
Bab XIV UU LLAJ secara tegas mengatur kecelakaan lalu lintas yang di dalamnya memuat sanksi pidana bagi para pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat.[16] Sementara, penjelasan luka berat adalah: 1) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh atau yang menimbulkan bahaya maut, 2) tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian, 3) kehilangan salah satu pancaindera, 4) mendapat cacat berat, 5) menderita sakit lumpuh, 6) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, 7) gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.[17]
Berkaitan dengan sanksi pidana terhadap kejahatan menyebabkan korban menderita luka berat termuat dalam Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), ketika seseorang menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat dalam kondisi karena kelalaiannya (culpa) maupun ketika dengan sengaja (dolus) seperti dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP.[18] Akan tetapi, kedua pasal tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban mengalami luka berat.[19] Hal ini dikarenakan adanya asas lex specialis derogate lex generalis, yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).[20] Dengan demikian, UU LLAJ diberlakukan di dalam peristiwa yang berkaitan dengan lalu lintas karena sifatnya yang lebih khusus dibandingkan dengan KUHP yang bersifat umum.[21]
Pada Pasal 311 UU LLAJ, ukuran dari bentuk kesengajaan mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi, Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ menguraikan bahwa luka berat yang dialami korban merupakan sebagai akibat dari peristiwa kecelakaan lalu lintas murni, dan bukan merupakan peristiwa penganiayaan berat seperti halnya yang diatur di dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, unsur sengaja pada pasal tersebut adalah dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor yang dapat membahayakan. Selain itu, pengemudi telah mengetahui dalam kondisi tidak layak untuk mengendarai kendaraan bermotor yang akan berakibat membahayakan orang lain. Dengan demikian, Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ bukan sengaja untuk mengakibatkan adanya korban mengalami luka berat.[22]
Pengemudi kendaraan bermotor dalam pengaruh minuman keras dapat menimbulkan serangkaian efek yang dapat mengganggu konsentrasi, penilaian, penglihatan dan koordinasi daripada aktivitas gerak pengemudi tersebut.[23] Jika dikaitkan dengan Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ, maka seseorang yang berkendara dalam pengaruh minuman keras yang mengakibatkan konsentrasinya menurun sehingga mengalami kecelakaan dan menyebabkan orang lain mengalami luka berat yang dapat membahayakan nyawa orang tersebut. Dengan demikian, hal tersebut sudah termasuk dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan membahayakan bagi nyawa atau barang.[24] Di sini terlihat pentingnya peran aparat penegak hukum dalam hal pembuktian kesalahan, sehingga memerlukan keahlian khusus dan kecermatan dalam melakukan pembuktian terkait dengan kecelakaan lalu lintas, apakah suatu kejadian kecelakaan lalu lintas dapat dikatakan sebagai kesengajaan atau kelalaian.[25]
Dalam hukum pidana diatur mengenai keadaan-keadaan yang membuat seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan sebagai alasan-alasan penghapus pidana.[26] Sebagian alasan penghapus pidana diatur dalam KUHP, yaitu pada Buku Kesatu tentang Aturan Umum Bab III: Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana, khususnya dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP.[27] Misalnya, dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, orang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.[28] Artinya, seseorang yang tidak menyadari perbuatannya, seperti seseorang yang menderita gangguan jiwa berat, yang biasanya disebut orang gila, tidak dapat dipidana.[29] Hal ini merupakan sesuatu yang rasional atau sesuai akal sehat. Akan tetapi, terdapat pandangan orang-orang yang menarik hal ini lebih jauh lagi dengan menggunakan dalih bahwa misalnya jika ada seseorang mabuk atau pengaruh obat terlarang, maka seseorang tersebut dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, berarti dirinya juga tidak dapat dipidana sekalipun melakukan suatu perbuatan pidana.[30]
Sebagai lawan dari pandangan tersebut, di Negeri Belanda setelah Perang Dunia II mulai dikenal adanya asas culpa in causa.[31] Menurut pandangan para ahli hukum pidana, D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E.Ph. Sutorius, asas culpa in causa adalah barangsiapa yang keberadaannya dalam situasi darurat dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggung jawab.[32] Berdasarkan asas culpa in causa, jika seseorang menghadapi suatu situasi darurat atau gawat, sedangkan situasi itu dialaminya karena kesalahannya sendiri atau dapat dicelakan kepadanya,[33] misalnya seseorang yang berkendara dalam pengaruh minuman beralkohol yang mengakibatkan mabuk sehingga mengalami kecelakaan dan menyebabkan orang lain mengalami luka berat, maka ia tetap bertanggungjawab atas perbuatannya saat keadaan darurat atau gawat tersebut, dengan kata lain tidak dapat menggunakan alasan penghapus pidana.[34] Dengan demikian, asas culpa in causa merupakan suatu asas yang rasional untuk dipertahankan dalam hukum pidana Indonesia karena seseorang seharusnya tidak boleh mendapatkan keuntungan dari kesalahannya sendiri. Jika seseorang membuat dirinya mabuk alkohol, maka jika melakukan tindak pidana karena kesadarannya menurun akibat dari alkohol, maka ia tidak sepantasnya bisa membebaskan diri dengan dalih kurang menyadari perbuatannya yang diakibatkan kesalahannya sendiri.[35]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain mengalami luka berat telah diatur di dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ dan Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ, di antara kedua pasal tersebut terdapat perbedaan. Perbedaan dari kedua pasal tersebut terdapat pada bentuk kesalahan pelaku. Bentuk kesalahan pelaku pada Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ adalah telah lalai mengemudikan kendaraan bermotor sehingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan luka berat. Sedangkan dalam Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ adalah telah sengaja mengemudikan kendaraan bermotor yang dapat membahayakan bagi nyawa atau barang sehingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan luka berat. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk kesengajaan yang diatur di dalam Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ. Namun, yang dimaksud unsur sengaja pada Pasal 311 ayat (4) UU LLAJ, yaitu dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor yang dapat membahayakan, bukan sengaja untuk mengakibatkan adanya korban mengalami luka berat. Dalam menentukan pelaku dianggap telah sengaja atau lalai dalam sebuah kejadian kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban mengalami luka berat, aparat penegak hukum tentunya memerlukan keahlian khusus dalam melakukan pembuktian terkait dengan kecelakaan lalu lintas, apakah suatu keadaan pada saat kecelakaan lalu lintas dapat dikatakan sebagai sebuah kesengajaan atau kelalaian. Dengan demikian, peran aparat penegak hukum harus cermat dalam membuktikannya.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025).
Referensi:
[1] Revi C. Rantung, Gaga Muhammad Divonis 4,5 Tahun Penjara, Sesuai Tuntutan Jaksa, https://www.kompas.com/hype/read/2022/01/19/113331066/gaga-muhammad-divonis-45-tahun-penjara-sesuai-tuntutan-jaksa (diakses pada 31 Januari 2022).
[2] Baharudin Al Farisi, Gaga Muhammad Ungkap Kronologi Kecelakaan dengan Laura Anna, Sempat Tertidur dan Salah Injak Pedal Rem, https://www.kompas.com/hype/read/2021/12/30/140211566/gaga-muhammad-ungkap-kronologi-kecelakaan-dengan-laura-anna-sempat-tertidur?page=all (diakses pada 31 Januari 2022).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Febriyanto Nur Pratama, Gaga Muhammad Divonis 4,5 Tahun Penjara, https://hot.detik.com/celeb/d-5904549/gaga-muhammad-divonis-45-tahun-penjara (diakses pada 31 Januari 2022).
[6] Dimas Hutomo, Contoh Kesengajaan dan Kelalaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas, https://www.hukumonline.com/klinik/a/contoh-kesengajaan-dan-kelalaian-dalam-kecelakaan-lalu-lintas-lt5be8116c61d90 (diakses pada 1 Februari 2022).
[7] Putusan Pengadilan Negeri Masohi Nomor: 127/Pid.B/2016/PN Msh., halaman 2-3.
[8] Ibid.
[9] Dimas Hutomo, Op.Cit.
[10] Nefa Claudia Meliala, Beberapa Catatan Unsur “Sengaja: dalam Hukum Pidana, https://www.hukumonline.com/berita/a/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh–nefa-claudia-meliala-lt5ee99dda4a3d2?page=all (diakses pada 1 Februari 2022).
[11] A.A. Ngurah Wirajaya, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Asas Kesalahan) dalam Hubungannya dengan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Program Kekhususan Hukum Pidana, Universitas Udayana), halaman 3.
[12] Nefa Claudia Meliala, Op.Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Iqbal Zaky, Skripsi: Analisis Teori Dolus Eventualis dan Bewuste Culpa pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia (Yogyakarta: Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2020), halaman 3.
[17] Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[18] Iqbal Zaky, Op.Cit., halaman 3
[19] Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), halaman 33.
[20] Ali Ridho, Lelang Bersifat Lex Specialis, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12716/Lelang-Bersifat-Lex-Specialis.html#:~:text=Lex%20specialis%20derogat%20legi%20generali,bersifat%20umum%20(lex%20generalis) (diakses pada 1 Juli 2022).
[21] Adam Chazawi, Op.Cit.
[22] Iqbal Zaky, Op.Cit., halaman 70.
[23] Ibid., halaman 75.
[24] Dimas Hutomo, Op.Cit.
[25] Ibid.
[26] Landai Malasai, Asas Culpa in Causa (Penyebab Kesalahan) sebagai Pengecualian Terhadap Pembelaan Terpaksa Menurut Pasal 49 ayat (1) KUHP, Lex Crimen, Volume 8-Nomor 8, Agustus 2019, halaman 78.
[27] Ibid.
[28] Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), halaman 30.
[29] Landai Malasai, Op.Cit.
[30] Ibid.
[31] Ibid., halaman 79.
[32] D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E.Ph. Sutorius, Hukum Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1995), halaman 61.
[33] Landai Malasai, Op.Cit., halaman 79.
[34] Ibid.
[35] Ibid., halaman 81
Tersedia di: