Pertanggungjawaban BPOM dalam Kasus Gagal Ginjal Akut Akibat Peredaran Obat Sirup Berbahaya

Narasumber: Joshua Gabriel Nainggolan, Sisilia Maria Fransiska, dan Tiara Nabila – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR

Notulen : Tiara Nabila

Pada akhir Agustus 2022, terjadi lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak-anak, terutama pada anak-anak yang berusia di bawah 5 (lima) tahun. Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan hingga Senin, 7 November 2022 telah tercatat 324 (tiga ratus dua puluh empat) total kasus pasien gagal ginjal progresif atipikal dengan angka kematian 195 (seratus sembilan puluh lima) anak. Hal ini dikarenakan adanya kandungan ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) di atas ambang batas aman pada obat sirup yang dikonsumsi oleh anak-anak tersebut. Padahal, obat parasetamol dan obat-obat yang sukar larut di air diperlukan bahan tambahan untuk memudahkan kelarutan. Bahan tambahan kelarutan yang biasa digunakan di Indonesia adalah propilen glikol atau gliserin. Bahan baku propilen glikol atau gliserin ini yang kemungkinan mengandung cemaran EG, DEG, dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE). 

Akibat dari kasus tersebut, terdapat beberapa daftar obat yang ditarik oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seperti Termorex sirup, Flurin DMP Sirup, Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops. Kemudian, setelah kasus penarikan obat-obat ini Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) menggugat BPOM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini dikarenakan KKI menilai bahwa BPOM dalam hal ini merupakan lembaga yang berwenang untuk memberikan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) kepada pihak yang memasok bahan baku ke produsen obat. Kasus ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat mengenai apakah BPOM dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kasus gagal ginjal akut akibat dari peredaran obat sirup yang berbahaya ini.

Sebelum membahas mengenai pertanggungjawaban dari BPOM, perlu diketahui pengaturan mengenai BPOM. Pengaturan mengenai BPOM diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (selanjutnya disebut Perpres BPOM). Dalam Pasal 1 ayat (1) Perpres BPOM dinyatakan bahwa:

“Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan”

Dalam Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Negara Non Departemen (selanjutnya disebut Keppres No. 103 Tahun 2001) disebutkan bahwa BPOM adalah Lembaga Negara Non Departemen yang bertugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keppres No. 103 Tahun 2001 menyebutkan bahwa BPOM dalam melaksanakan tugasnya dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan. Sementara itu, kewenangan BPOM itu secara lebih lanjut telah diatur dalam Pasal 4 Perpres BPOM yang menyatakan bahwa:

“Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM mempunyai kewenangan: 

a. menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 

b. melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan kewenangan BPOM tersebut, dapat diketahui alasan mengapa BPOM digugat oleh KKI. BPOM disangkakan telah lalai atas pelaksanaan tugas dan wewenang terkait pemberian izin edar atas produk obat. 

Merujuk pada Pasal 3 Perpres BPOM, sistem pengawasan BPOM terdiri dari 2 (dua) macam, yakni pengawasan sebelum beredar atau pre-market dan pengawasan selama beredar atau post-market. Pre-market merupakan pengawasan obat dan makanan sebelum beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan. Sementara itu, post-market merupakan pengawasan obat dan makanan selama beredar untuk memastikan obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum. Pengawasan pre-market terdiri dari tahapan sertifikasi, registrasi dan distribusi produk. Pre market dilakukan saat pelaku usaha atau importir mengurus pendaftaran di BPOM dan saat pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen dan barang di pintu gerbang pelabuhan/bandara yang dilakukan oleh petugas bea dan cukai. Pada tahapan pengawasan post-market dilakukan dengan melakukan inspeksi ke pasar, supermarket maupun toko retail lainnya untuk mengambil sampel obat yang dicurigai berbahaya bagi masyarakat dan kemudian diujikan ke laboratorium.

Apabila dikaitkan dengan kasus gagal ginjal akut yang diakibatkan oleh obat sirup berbahaya, pada waktu mendaftarkan obat, seharusnya BPOM telah melakukan tindakan pengawasan sebelum memberikan izin edar. Hal ini dikarenakan pada waktu registrasi, pemohon akan menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Selanjutnya pemohon juga akan mengirimkan contoh obat yang didaftarkan kepada BPOM untuk dilakukan pengujian sebanyak 3 (tiga) kali dan juga bahan baku pembanding sesuai spesifikasi dan metoda pengujian zat aktif dan obat dimaksud. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Keputusan Kepala BPOM tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Akan tetapi, hal tersebut harus dipastikan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan dapat terjadi kondisi dimana ketika mendaftarkan diketahui bahwa komposisi dari obat sirup itu telah sesuai standar yang ada namun tidak menutup kemungkinan komposisi yang digunakan oleh produsen dalam membuat obat mengalami perubahan komposisi.  Selain itu, terkait dengan masa berlaku izin edar untuk obat sirup tersebut adalah selama 5 (lima) tahun. Selama jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut perlu dipastikan kembali apakah pengecekan dan pengawasan tersebut dilakukan oleh BPOM. Apabila tidak dilaksanakan, maka akan muncul celah bagi produsen untuk mengedarkan obat dengan kandungan yang berbahaya. Kesimpulannya, penyebab obat dengan kandungan berbahaya yang beredar di masyarakat itu tidak dapat hanya dilihat hanya dari satu sisi saja, masing-masing pihak yang terkait dalam kasus ini memiliki celah yang menjadi faktor dari beredarnya obat dengan kandungan berbahaya. 

Terkait dengan pertanggungjawaban BPOM, perlu dibahas terlebih dahulu terkait alasan mengapa KKI menggugat BPOM ke PTUN. KKI menggugat BPOM ke PTUN dikarenakan kasus ini termasuk ke dalam sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara merupakan sengketa antara orang atau badan hukum dengan badan lembaga atau pejabat pemerintahan akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Dalam kasus ini objek sengketanya adalah surat izin peredaran obat yang dikeluarkan oleh BPOM. Selain itu, BPOM adalah wakil pemerintah yang memberikan izin edar kepada produsen obat yang memproduksi obat tersebut. PTUN kemudian akan memberikan putusan akhir yang dapat memerintahkan BPOM mencabut izin edar obat dengan kandungan berbahaya tersebut.

Terkait dengan sistem pengawasan post-market yang dilakukan oleh BPOM, sistem post-market ini sangatlah penting karena berfungsi untuk menjamin konsistensi mutu produk, keamanan produk, dan informasi produk. Salah satu upaya dari pengawasan post-market yang dapat dilakukan oleh BPOM adalah dengan BPOM melakukan intelijen di bidang pengawasan obat dan makanan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perpres BPOM. Intelijen yang dimaksud, yakni BPOM melakukan pengambilan sample obat sirup yang telah beredar di masyarakat. Setelah diambil, maka kemudian kandungan-kandungan obat itu perlu diuji untuk mengetahui apakah kandungan-kandungan yang ada dalam obat sirup tersebut aman. Apabila diketahui hasilnya tidak aman maka BPOM dapat menariknya dari peredaran pasar di kalangan masyarakat. Akan tetapi, masih perlu dipertanyakan terkait apakah BPOM telah melakukan tugas intelijennya tersebut. Hal ini dikarenakan apabila benar jika penyebab gagal ginjal akut berasal dari EG dan DEG yang terkandung dalam obat sirup, maka seharusnya BPOM dapat mencegahnya. Akan tetapi, apabila  ternyata BPOM tidak melakukan tindakan intelijen ini dan benar bahwa penyebab gagal ginjal akut berasal dari EG dan DEG yang terkandung dalam obat sirup maka BPOM dapat dimintai pertanggungjawaban.

Mengacu pada Pasal 62 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat (selanjutnya disebut Peraturan BPOM 24/2017) disebutkan bahwa BPOM dapat melakukan penilaian kembali terhadap obat yang telah memperoleh izin edar. Bentuk penilaian kembali ini hanya berupa hasil pemantauan khasiat, keamanan dan mutu obat selama obat diedarkan yang dilakukan oleh pemilik izin edar obat, dan hasil pemantauan tersebut dilaporkan kepada Kepala BPOM. 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa terhadap kasus ini harus dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Jika ditinjau dari sisi pemasok dalam kasus ini pemasok bahan baku obat mungkin saja telah memasok bahan baku yang bukan seharusnya dibutuhkan produsen obat. Hal tersebut menyebabkan produsen obat pada akhirnya memproduksi obat dengan kandungan yang berbahaya. Oleh karena itu, apabila terbukti benar bahwa bahan baku dalam obat mengandung EG dan DEG yang menyebabkan gagal ginjal akut maka pemasok dapat dimintakan pertanggungjawaban. Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala BPOM dalam konferensi pers di Tapos, Depok pada Rabu, 9 November 2022.  Beliau menyatakan bahwa BPOM telah melakukan uji sampel bahan kimia dari salah satu perusahaan. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa 12 (dua belas) sampel dengan integritas propilen glikol terdeteksi memiliki kandungan EG dan DEG yang sangat jauh dari persyaratan yang seharusnya 0,1% (nol koma satu persen). Akan tetapi, 9 (sembilan) sampel terdeteksi kadarnya sampai 52% (lima puluh dua persen) bahkan ada yang sampai 99% (sembilan puluh sembilan persen). Jadi, hampir 100% (seratus persen) adalah kandungan EG bukan lagi propilen glikol

Berkenaan dengan produsen yang memproduksi obat, terdapat regulasi yang mengatur bagaimana seharusnya produsen memproduksi obat. Sebuah produsen obat ketika akan memproduksi harus melaporkan ke BPOM terkait bahan baku dan kandungan. Setelah itu, seharusnya prosedur tersebut diuji oleh BPOM baru kemudian BPOM dapat mengeluarkan surat izin edar untuk selanjutnya produsen dapat memproduksi obat tersebut secara massal. Ketika surat izin telah kadaluarsa, produsen hanya perlu melakukan daftar ulang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Peraturan BPOM 24/2017. 

Perlu diketahui bahwa tulisan ini tidak ditujukan untuk menjustifikasi satu pihak tertentu bersalah sebelum adanya putusan hakim. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa BPOM perlu membenahi sistem pengawasan post market mereka karena hingga saat ini BPOM melakukan pengawasan penilaian kembali terhadap obat yang sudah memperoleh izin edar berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh pemilik izin edar. Seharusnya, bentuk penilaian kembali ini dilakukan oleh BPOM berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh BPOM secara mandiri. Selain itu, penting juga bagi BPOM untuk melakukan tindakan intelijen terhadap obat-obat yang telah beredar di masyarakat.  Hal ini bertujuan agar obat-obatan yang beredar tersebut tetap terjamin keamanannya untuk dikonsumsi oleh masyarakat dan apabila diketahui adanya kandungan berbahaya maka BPOM bisa segera menindaklanjutinya. 

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...