Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Penulis: Raymond Candela

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) merupakan suatu hukum positif yang mengatur ketentuan terkait rukun dan syarat perkawinan Islam di Indonesia. Menurut Pasal 14 KHI, dalam suatu perkawinan harus terdapat calon suami, calon istri, wali nikah, 2 (dua) orang saksi, serta ijab dan kabul. Keempat unsur tersebut merupakan rukun islam dan syarat materiil terbentuknya perkawinan Islam menurut KHI. Pengaturan Pasal 14 KHI ini menyebabkan beberapa orang beragama Islam berpikir untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Akan tetapi, anggapan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah hal yang penting merupakan pemikiran yang salah. Hal ini karena selain syarat materiil, KHI mengatur pula syarat formil yang menentukan sahnya perkawinan. Syarat formil sahnya perkawinan ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) KHI yang secara tegas menyatakan bahwa bagi orang beragama Islam di Indonesia yang melaksanakan perkawinan wajib mencatatkan perkawinannya. Pencatatan perkawinan ditunjukkan agar terciptanya ketertiban perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Akibat ketika perkawinan tidak dicatatkan secara resmi adalah timbulnya permasalahan hukum terkait hak suami, istri, dan anak yang lahir dari perkawinan. Secara lebih konkrit, tidak dicatatnya  perkawinan menimbulkan potensi pasangan yang ditinggalkan tidak memperoleh hak waris apabila salah satu pasangan meninggal dunia, tidak dapat mengurus akta kelahiran anak, dan anak tidak memiliki hak untuk mendapatkan harta waris peninggalan orang tuanya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa melakukan pencatatan perkawinan merupakan perbuatan yang penting dilakukan agar dapat melindungi hak-hak istri, suami, dan anak. Lantas bagaimana jika masyarakat Islam telah melaksanakan perkawinan tetapi belum dicatatkan?

Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai pencatatan perkawinan bagi orang beragama Islam, perlu dipahami terlebih dahulu definisi perkawinan menurut Pasal 2 KHI yang menyatakan bahwa:

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa perkawinan menurut agama Islam merupakan perintah Allah sekaligus sebagai ibadah. Lebih lanjut, menurut Pasal 3 KHI, perkawinan memiliki tujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketiga tujuan perkawinan tersebut pada dasarnya hanya dapat dicapai apabila pencatatan perkawinan terlaksana dengan baik.

Pencatatan perkawinan bagi orang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 KHI yakni Kantor Urusan Agama. Lebih lanjut, menurut Pasal 6 ayat (1) KHI, keberadaan Pegawai Pencatat Nikah juga merupakan unsur yang penting dalam menentukan kekuatan hukum dari suatu perkawinan, di mana perkawinan umat orang beragama Islam harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 6 ayat (2) KHI, apabila perkawinan dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 KHI dapat dibuktikan dengan adanya Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KHI yang pada dasarnya menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah. Meskipun demikian, apabila terdapat pasangan beragama Islam yang telah melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) dan tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta Nikah tetap dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KHI.

Itsbat nikah adalah prosedur yang digunakan untuk melakukan pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama yang berwenang. Dengan demikian, ketika permohonan itsbat nikah dikabulkan, maka perkawinan yang dilakukan secara nikah sirri dapat dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum. Setelah dikabulkannya permohonan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama, maka pasangan beragama Islam dapat melakukan pencatatan perkawinan dengan membawa penetapan itsbat nikah terkait.

Secara normatif, alasan-alasan untuk mengajukan itsbat nikah diatur dalam Pasal 7 ayat (3) KHI yang menyatakan:

“Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

(b) Hilangnya Akta Nikah;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 dan;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.”

Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa terdapat 5 (lima) alasan untuk mengajukan itsbat nikah. Lebih lanjut, menurut Pasal 7 ayat (4) KHI, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan itsbat nikah adalah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dalam perkawinan tersebut. Selain itu, yang perlu menjadi perhatian pula adalah tempat pengajuan itsbat nikah adalah Pengadilan Agama tempat tinggal pemohon dengan menyebutkan alasan dan kepentingan yang jelas.

Sebagai informasi, jika terdapat kasus yang diajukan ke Pengadilan Agama berupa permohonan itsbat nikah sekaligus gugatan perceraian, hal tersebut dapat dibenarkan karena sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, secara khusus pada bagian Kamar Agama (selanjutnya disebut SEMA No.7/2012). Hal ini karena pada dasarnya menurut SEMA No.7/2012, pada prinsipnya itsbat nikah dalam rangka perceraian dapat dibenarkan kecuali perkawinan yang akan dilakukan proses itsbat tersebut nyata-nyata melanggar undang-undang. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilakukan bagi masyarakat Islam di Indonesia melakukan perkawinan. Apabila masyarakat Islam telah melakukan perkawinan dan tidak dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka itsbat nikah merupakan langkah hukum yang dapat dilakukan, agar perkawinan tersebut dapat dinyatakan sah serta mempunyai kekuatan hukum. Lebih lanjut, menurut Pasal 7 ayat (3) KHI terdapat 5 (lima) alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama, dan harus diperhatikan para pihak yang hendak mengajukan itsbat nikah. Adapun pihak yang dapat mengajukan itsbat nikah diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (4) KHI. Setelah permohonan itsbat nikah dikabulkan oleh Pengadilan Agama, maka dapat melakukan pencatatan perkawinan oleh pasangan yang beragama Islam dengan membawa penetapan itsbat nikah terkait. Pada kasus pengajuan perceraian, sangat dimungkinkan untuk melakukan gugatan perceraian sekaligus dengan permohonan itsbat nikah sebagaimana diatur dalam SEMA No.7/2012. 

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
  2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
  3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Referensi:

[1] Rukun Islam adalah pokok-pokok ajaran agama Islam dan menjadi pedoman umum bagi umat Islam dalam beribadah kepada Allah.

[2] Tim KPAI, Perkawinan Tidak Dicatatkan: Dampaknya bagi Anak, https://www.kpai.go.id/publikasi/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak (diakses pada 3 Oktober 2024).

[3] Nafiatul Munawaroh, Langkah dan Prosedur Permohonan Itsbat Nikah, https://www.hukumonline.com/klinik/a/langkah-dan-prosedur-permohonan-itsbat-nikah-lt4e67428a5d0ea/ (diakses pada 3 Oktober 2024).

[4] id.

[5] Karimatul Ummah, Itsbat Nikah: Prosedur, Syarat, dan Implikasi Hukumnya,  https://www.hukumonline.com/klinik/a/isbat-nikah–prosedur–syarat–dan-implikasi-hukumnya-lt56ce748d48ca5/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=syarat_itsbat (diakses pada 3 Oktober 2024). 

[6] Id.

[7] Id.

Baca Juga

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui...

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Ilham Restu Ramadhani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan Program Revolusi di bidang agraria yang sering disebut dengan Agrarian Reform Indonesia, salah satu isi dari program tersebut...