Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H.

Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan tetapi, untuk mengetahui definisi atau arti dari perjanjian perkawinan, dapat dilihat dari pendapat para ahli. Salah satu ahli yang memberikan definisi perjanjian perkawinan adalah Soetojo Prawirohamidjojo. Menurut beliau, perjanjian perkawinan adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan. Selain itu, Subekti juga berpendapat dengan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dan UU Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Dengan demikian, berdasarkan definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan itu terbatas mengenai harta kekayaan.

Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian perkawinan dapat dibuat hanya sebelum perkawinan. Akan tetapi, dalam UU Perkawinan diatur bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat secara tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah sebelum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan. Kemudian, setelah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada tanggal 27 Oktober 2016, ditetapkan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan. Dengan demikian, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Adapun isi perjanjian perkawinan juga dapat berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Selain itu, perjanjian perkawinan juga harus didaftarkan atau dicatatkan untuk memenuhi asas publisitas yang bertujuan agar pihak ketiga di luar pasangan suami istri tersebut mengetahui dan juga tunduk pada ketentuan dan aturan dalam perjanjian perkawinan yang telah dibuat.

Pasal 29 ayat (1) UU tentang Perkawinan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menerangkan bahwa kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Maka dapat kita simpulkan bahwa perjanjian perkawinan itu bentuknya harus tertulis dan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Maka dari itu, ketika perjanjian perkawinan didaftarkan maka perjanjian perkawinan dapat menjadi alat bukti yang bersifat otentik. Akan tetapi, apabila perjanjian perkawinan dibuat di bawah tangan atau tidak didaftarkan maka akan timbul konsekuensi hukum yang berbeda dengan perjanjian perkawinan yang telah dicatatkan atau didaftarkan di kantor pencatat perkawinan. Konsekuensi hukum yang terjadi adalah perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak di dalamnya saja, yakni pasangan suami dan istri yang bersangkutan.

Pengaturan perjanjian perkawinan di Indonesia sendiri diatur dalam lebih dari 1 (satu) sistem hukum, diantaranya hukum perdata dan hukum islam. Lebih spesifik, pengaturan terkait perjanjian perkawinan termuat dalam UU Perkawinan dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Sekalipun pada umumnya terdapat perbedaan konsep perkawinan antara umat muslim dengan umat non-muslim, dalam hal ini pengaturan perjanjian perkawinan juga turut berlaku bagi masyarakat yang melangsungkan perkawinan secara islam selama tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum islam. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak ada yang membedakan pengaturan perjanjian perkawinan untuk umat beragama muslim dengan umat beragama lainnya selama tidak bertentangan dengan asas-asas dalam hukum islam. 

Apabila membahas mengenai kapan perjanjian perkawinan itu berakhir, pada pokoknya tidak ada ketentuan khusus atau peraturan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan menjadi hapus atau berakhir ketika perkawinan juga berakhir. Bahkan UU Perkawinan juga tidak mengatur terkait pengakhiran perjanjian perkawinan. Akan tetapi, pada dasarnya perjanjian perkawinan dapat dikatakan berakhir ketika perkawinan itu selesai atau bubar atau ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia.

Isi dari perjanjian perkawinan pada pokoknya adalah sama dengan perjanjian pada umumnya. Pertama, tentunya harus menyertakan tanggal, bulan, dan tahun dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Kedua, harus juga menuliskan identitas dari notaris serta para pihaknya. Setelah itu, serupa dengan perjanjian-perjanjian yang lain dituliskan pula penjabaran-penjabaran dari perjanjian perkawinan yang disepakati oleh para pihaknya. Maka dari itu, hal-hal yang dimuat dalam perjanjian perkawinan itu sama saja seperti pada perjanjian pada umumnya.

Apabila perjanjian perkawinan telah ada dan mengikat para pihak maka perjanjian perkawinan tersebut tidak menyebabkan hilangnya harta bersama di antara pasangan suami istri tersebut. Harta bersama sendiri berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Ada atau tidak adanya harta bersama setelah perjanjian perkawinan dibuat sangat tergantung pada kesepakatan yang telah dituangkan oleh kedua belah pihak. Jika dalam sebuah perjanjian perkawinan terdapat kesepakatan untuk memisahkan harta suami dan istri maka tidak akan ada harta bersama selama perkawinan. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan untuk memisahkan harta suami dan istri, maka harta yang diperoleh selama perkawinan secara otomatis menjadi harta bersama. Merujuk pada konsep di atas, maka pada intinya semua tergantung pada isi perjanjian perkawinan.

Pada dasarnya perjanjian perkawinan mengikat para pihak di dalamnya, namun jika kemudian hari perjanjian perkawinan justru menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga tentu pihak ketiga mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atau tuntutan berdasarkan kerugian yang dialami. Adapun contoh klausul dalam perjanjian perkawinan yang memiliki potensi untuk merugikan pihak ketiga contohnya adalah apabila terdapat klausul pemisahan harta yang diperoleh oleh suami istri baik sebelum dan selama perkawinan. Misalnya terdapat kalimat bahwa seluruh harta yang didapatkan oleh masing-masing suami istri tetap menjadi harta pribadi masing-masing pihak dan tidak akan menjadi bagian dari harta bersama. Klausul perjanjian perkawinan tersebut tentu dapat merugikan pihak ketiga misalnya kreditur yang berhak untuk dapat menuntut pembayaran utang dari harta bersama. Jika terdapat klausul mengenai pemisahan harta, maka pihak ketiga tadi kemungkinan akan kesulitan dalam menuntut pembayaran dari harta bersama karena harta suami istri ini diklaim sebagai milik pribadi masing-masing pasangan. 

Selanjutnya, dalam UU Perkawinan sendiri dipaparkan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Artinya, ketika membuat suatu perjanjian perkawinan tidak boleh mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan 3 (tiga) hal tersebut. Misalnya, dalam perjanjian perkawinan terdapat klausul bagi istri untuk memenuhi semua keinginan suami, termasuk hal-hal yang melanggar norma kesusilaan atau moralitas umum. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa klausul tersebut meminta istri untuk memberikan kewajiban yang tidak pantas kepada pihak suami. Merujuk pada UU Perkawinan, hal semacam ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

Jika berbicara terkait eksekusi perjanjian perkawinan, maka erat kaitannya dengan apabila salah satu pasangan melanggar isi perjanjian perkawinan atau melakukan wanprestasi atau ingkar janji setelah perjanjian itu berlaku. Sebagai contoh, misalnya ketika salah satu pihak mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian perkawinan terkait dengan pembagian harta seperti pengelolaan keuangan atau hak dan kewajiban lainnya yang telah disepakati para pihak. Apabila hal seperti ini terjadi, maka dapat dianggap bahwa salah satu pihak telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan dan pihak yang dirugikan dapat melakukan langkah hukum. Langkah hukum pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan somasi. Selain itu, pihak yang dirugikan juga dapat melakukan gugatan ke pengadilan, dan tentunya eksekusi dilakukan dengan cara memaksa pihak yang melakukan wanprestasi untuk mematuhi perjanjian perkawinan tersebut dan/atau membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Tersedia di:

Spotify for Podcasters

Spotify

Baca Juga

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Ilham Restu Ramadhani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan Program Revolusi di bidang agraria yang sering disebut dengan Agrarian Reform Indonesia, salah satu isi dari program tersebut...

Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Joki Skripsi, Hukum Pidana, dan Kita Yang Tutup Mata

Narasumber: Olivia Agatha Kusuma S.H., M.H. “Suits” adalah satu serial Netflix terkemuka bergenre hukum. Serial ini berputar pada kehidupan seorang tokoh bernama Mike Ross, yang dikenal sebagai seorang jenius karena memiliki ingatan fotografis. Suatu ketika ia...