Peran Penegak Hukum Dalam Memutus Rantai Korupsi

Narasumber: Kurnia Ramadhana

Notulen: Sisilia Maria Fransiska

Tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut tipikor) merupakan permasalahan yang telah ada sejak lama di Indonesia. Akan tetapi, akhir-akhir ini kasus-kasus mengenai tipikor mulai kembali bermunculan di Indonesia. Beberapa kasus tersebut, seperti kasus tipikor yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, yaitu Juliari Peter Batubara dan kasus korupsi yang dilakukan oleh Jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari, dan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara lainnya. Bahkan, jika mundur lagi ke belakang terdapat juga kasus korupsi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, yaitu Edhy Prabowo. Berangkat dari kasus-kasus tersebut, perlu untuk dipahami peran dari penegak hukum dalam memutus rantai korupsi.

Dalam banyak literatur, korupsi memiliki banyak pemaknaan, seperti extraordinary crime, serious crime, transnasional crime, dan lain sebagainya. Dari banyak pemaknaan tersebut ingin menunjukkan bahwa tipikor merupakan kejahatan yang sangat berbahaya sehingga perlakuan dari penegak hukum tidak bisa menggunakan cara-cara biasa, tetapi harus dengan cara-cara luar biasa dan dengan 2 (dua) tujuan, yaitu memberikan efek jera bagi pelaku dan memberi pesan kepada masyarakat agar tidak lagi melakukan praktik korupsi. Secara sederhana, korupsi merupakan tindakan mengambil hak yang bukan miliknya. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjabarkan lebih lanjut mengenai 7 (tujuh) tindakan yang termasuk dalam tipikor, yaitu menyebabkan kerugian keuangan negara, tindak pidana suap, gratifikasi, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam pengadaan. Selain itu, tipikor juga memiliki dampak yang multisektor. Tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi bisa juga menyinggung soal demokrasi ketika korupsi itu dilakukan di tengah kontestasi politik, melanggar hak asasi manusia seperti pada korupsi bantuan sosial (selanjutnya disebut bansos), dapat juga menyinggung tentang lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

Indonesia Corruption Watch (selanjutnya disebut ICW) merupakan organisasi yang lahir 5 (lima) tahun sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK) berdiri, yaitu pada tahun 1998. ICW merupakan organisasi masyarakat sipil yang memiliki tujuan untuk memastikan proses penyelenggaraan pemerintahan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (selanjutnya disebut KKN). Sebagai perwujudan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat, ICW dalam mewujudkan tujuannya mengajak keterlibatan rakyat untuk punya andil dan turut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. ICW sendiri terbagi atas beberapa divisi, yaitu divisi hukum dan monitoring peradilan, divisi korupsi politik, divisi pelayanan publik dan reformasi birokrasi, divisi kampanye publik, divisi informasi dan pengelolaan pengetahuan, dan divisi penggalangan dukungan publik. Adanya berbagai divisi tersebut karena ICW beranggapan dan meyakini bahwa korupsi bukan hanya persoalan hukum, tetapi multidisiplin ilmu. 

KPK baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK). Akan tetapi, KPK baru efektif berdiri pada tahun 2003. Latar belakang dari berdirinya KPK karena pada kala itu negara menganggap pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan dan Kepolisian belum maksimal. Atas dasar itu KPK dibentuk dan diberi kewenangan sebagaimana diatur dalam UU KPK. Kewenangan tersebut, seperti dalam hal KPK melakukan penyadapan, penyitaan, penggeledahan, dan lain sebagainya, maka KPK tidak memerlukan izin dari pengadilan. 

Sejak tahun 2003 sampai 2009, efektivitas KPK dalam memberantas korupsi dapat dinilai sangat baik. Pada tahun tersebut juga, KPK selalu menjadi lini sektor pemberantasan korupsi dan mendapat apresiasi publik yang sangat tinggi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kancah internasional. Hal ini karena sampai tahun 2019, seluruh pelaku korupsi one hundred percent conviction rate dan belum ada terdakwa tipikor yang diputus bebas atau lepas.

Sejak tahun 2010, rencana perubahan UU KPK sudah dimulai, tetapi perubahan tersebut tidak pernah terealisasi akibat adanya protes dari masyarakat yang merasa bahwa perubahan UU KPK justru sangat melemahkan KPK. Pada tahun 2019, saat masyarakat sipil sedang mengadvokasi proses seleksi pimpinan KPK yang penuh dengan kontroversi, tiba-tiba terdengar kabar adanya rencana merevisi UU KPK hingga akhirnya perubahan UU KPK tersebut terealisasi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasca perubahan UU KPK tersebut, terjadi perubahan pada KPK. Perubahan pertama yang begitu tampak mengenai independensi KPK. Di negara manapun, hal utama yang harus ada pada KPK adalah independensi, tidak hanya independensi kelembagaan tapi juga independensi kepegawaian. Akan tetapi, dengan perubahan UU KPK tersebut, KPK justru dikooptasi dan dipaksa masuk ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif serta pegawai KPK juga berubah menjadi aparatur sipil negara. Selain itu, KPK juga sudah bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tidak hanya itu, KPK juga sempat menghentikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mengakibatkan pada tanggal 1 April 2021, kerugian negara mencapai Rp4.580.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus delapan puluh miliar rupiah). Perubahan kedua, yaitu dengan dibentuknya Dewan Pengawas sebagai lembaga khusus pengawas KPK. Pembentukan Dewan Pengawas ini justru sangat bertolak belakang dengan konsep hukum karena KPK telah memiliki pengawas dalam internal KPK sendiri.  Selain itu juga, Dalam perubahan UU KPK, baik secara substansi maupun formil yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, proses kilat dalam rapat paripurna, dan tidak tercapainya kuorum menunjukkan potret otoritarianisme legislasi yang sangat nyata diperlihatkan oleh negara.

Permasalahan di tubuh KPK sekarang ini sebenarnya bukan hanya akibat dari perubahan regulasi, tapi juga timbul karena pimpinan KPK yang baru bukan menguatkan KPK, namun seperti ingin menggembosi dan menurunkan derajat KPK di mata masyarakat. Selama ini, publik sudah selalu mengkritik banyak terkait KPK, tetapi pemerintah justru mengatakan bahwa tidak terbukti kelemahan dari KPK. Hal ini karena KPK tetap bisa meringkus 2 (dua) Menteri sekaligus dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, yaitu mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, yaitu Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, yaitu Juliari Peter Batubara.

Dalam kasus korupsi bansos, kerugian negara sangat nyata dirasakan akibat penarikan fee sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) atas setiap paket bansos yang berjumlah Rp22.700.000,00 (dua puluh dua juta tujuh ratus ribu). Dalam kasus tersebut, KPK memang sangat baik dalam mengusut secara jabatan, tapi jika melihat kualitas kasusnya sebenarnya sangat buruk. Selain itu, dalam kasus tersebut juga terlibat beberapa orang yang diduga menguasai paket bansos, namun orang-orang tersebut tidak pernah dipanggil oleh KPK dan namanya juga tidak dicantumkan dalam surat dakwaan. Padahal, dalam Pasal 143 KUHAP menyebutkan bahwa surat dakwaan harus cermat, jelas, dan lengkap. Artinya, apabila surat dakwaan tidak cermat, jelas, dan lengkap, seharusnya surat dakwaan batal demi hukum. Hal ini menunjukkan bahwa KPK memang tidak memiliki niat untuk menuntaskan kasus korupsi bansos tersebut. Di lain sisi, KPK justru menyingkirkan 2 (dua) penyidiknya melalui tes wawasan kebangsaan. Tindakan KPK yang seperti itu yang menunjukkan KPK sebagai lembaga negara bukan memberantas korupsi justru memberantas pegawainya dan melindungi para koruptor.

Melihat perkembangan saat ini, semestinya lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi cukup diberikan kepada KPK saja. Sedangkan, Kepolisian dan Kejaksaan seharusnya memberantas kejahatan-kejahatan lainnya. Hal ini didasari karena sampai saat ini masih banyak kasus-kasus yang bisa dikritik dari Kepolisian dan juga Kejaksaan. Sebagai contoh pada kasus korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari (selanjutnya disebut Pinangki). Pada kasus tersebut tampak jelas adanya indikasi perlakuan dari Kejaksaan Agung yang berusaha melindungi Pinangki. Dimulai dengan Persatuan Jaksa Agung yang sempat ingin memberikan bantuan hukum. Selanjutnya juga tuntutan yang diberikan kepada Pinangki sangat rendah, mengingat Pinangki adalah penegak hukum seharusnya Pinangki mendapatkan pemberatan. Selain itu, terdapat berbagai kejanggalan-kejanggalan juga yang tidak terungkap. Begitu pula pada kasus Kepolisian dalam kasus yang sama, yaitu ada 2 (dua) Perwira Tinggi Kepolisian Republik Indonesia, yaitu Brigadir Jenderal dan Inspektur Jenderal yang tersangkut kasus Djoko Sugiarto Tjandra yang memiliki berbagai kejanggalan. Harapannya dengan adanya pembagian kompetensi tersebut, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dapat menunjukkan performa yang baik.

Selain penegak hukum, baik Presiden dan DPR juga harus dikritik. Pertama, lembaga eksekutif dan lembaga legislatif memang tidak bisa mengintervensi proses hukum, tapi tatkala proses hukumnya terdapat kejanggalan seharusnya lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dapat bertindak. Kedua, persoalan serius yang terjadi adalah tatkala ada bawahan Presiden yang sebenarnya bisa dievaluasi lebih lanjut tapi tidak diambil kewenangan itu oleh Presiden. Ketiga, baik lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif harusnya dapat menyokong kerja penegak hukum dengan menghasilkan legislasi yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak tuntutan terhadap Pemerintah untuk menghasilkan Undang-Undang, tetapi tidak dikerjakan, seperti revisi Undang-Undang Tipikor, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Pemerintah justru hanya fokus menggembosi KPK dengan merevisi UU KPK dan sejumlah legislasi-legislasi lain, seperti Undang-Undang Omnibus Law (Undang-Undang Cipta Kerja), Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya.

Setiap kali pemerintah mendapat kritik dari masyarakat terkait kebijakan negara, pemerintah selalu menyatakan akan memperkuat posisi KPK dan tidak mungkin melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Akan tetapi faktanya pada akhir Januari atau awal Februari 2021, transparansi internasional sudah mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia merosot. Hal ini menunjukkan apa yang disampaikan oleh pemerintah dan juga DPR hanya sebatas lips service tanpa adanya realisasi atas ucapan yang disampaikan. Begitu pula dengan penegak hukum di Indonesia, khususnya pimpinan KPK yang baru, di mana pada saat tahap fit and proper test menyampaikan berbagai janji kepada masyarakat. Akan tetapi, faktanya jumlah operasi tangkap tangan KPK merosot, jumlah penyidikan menurun, dan begitu banyak kontroversi dilakukan. Salah satu kontroversi tersebut adalah ketika KPK ingin mewawancarai koruptor untuk memberikan testimoni kepada masyarakat.

Dalam upaya-upaya memberantas korupsi dapat dilakukan dengan masyarakat melaporkan kasus-kasus tipikor yang terjadi. Masyarakat dapat melaporkan kasus korupsi ke ICW. Selanjutnya, ICW akan menelaah lebih lanjut data-data yang diperoleh dari masyarakat tersebut. Apabila ICW menganggap cukup bukti, ICW akan meneruskan laporan tersebut ke aparat penegak hukum. Selain itu dalam upaya memberantas tipikor, ICW juga memiliki kegiatan advokasi, salah satu advokasi yang sedang ICW lakukan hari ini, yaitu advokasi tes wawasan kebangsaan yang telah menggagalkan 57 (lima puluh tujuh) pegawai KPK yang akan diangkat sebagai aparatur sipil negara. Hal ini dilakukan karena jika dahulu pelemahan KPK itu datang dari eksternal KPK, tetapi saat ini pelemahan itu datang di dalam KPK bahkan dari pimpinan KPK itu sendiri. Saat ini, ICW juga sedang melakukan penelitian terkait sita jaminan dalam hukum perdata. Penelitian itu dilakukan untuk menganalisis apakah memungkinkan sita jaminan dalam hukum perdata tersebut diimplementasikan ke dalam hukum pidana, khususnya dalam pemberantasan tipikor. 

Setiap tahun secara rutin, ICW mengeluarkan tren pemantauan vonis koruptor, yang berisi tentang rata-rata hukuman koruptor setiap tahunnya. Pada tahun 2020, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 (tiga) tahun 1 (satu) bulan penjara dari 1.298 (seribu dua ratus sembilan puluh delapan) terdakwa. Tidak hanya itu, tipikor yang terjadi pada tahun 2020 juga menyebabkan kerugian negaranya sebesar Rp56.000.000.000.000,00 (lima puluh enam triliun rupiah), tetapi uang pengganti atas tipikor yang dilakukan hanya sebesar Rp18.000.000.000.000,00 (delapan belas triliun rupiah). Berdasarkan UU Tipikor, denda maksimum yang dijatuhkan kepada koruptor adalah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), tetapi dari 1.298 (seribu dua ratus sembilan puluh delapan) terdakwa hanya 6 (enam) orang saja yang dikenakan denda maksimum. Selain itu, Majelis Hakim jarang memberikan pencabutan hak politik. Tidak hanya itu, fenomena discount koruptor di Peninjauan Kembali, kasasi, Pengadilan Tinggi juga sering terjadi.

Untuk sampai pada satu kesimpulan bahwa Indonesia bebas dari korupsi, maka masih sangat banyak aspek yang harus dibenahi. Masih banyak persoalan terkait masyarakat yang permisif terhadap pelaku korupsi. Hal ini terjadi karena masyarakat mencontoh dari penegak hukum, pemerintah, dan DPR yang permisif terhadap tipikor. Pada kasus mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, yaitu Juliari Peter Batubara banyak menarik anekdot publik untuk tidak menghina pelaku korupsi. Hal ini terjadi karena publik merasa penghinaan yang diberikan kepada pelaku korupsi justru dapat meringankan hukuman mereka. Atas kasus tersebut, KPK sebagai representasi negara dan representasi korban hanya mampu menuntut 11 (sebelas) tahun penjara. Hal ini juga yang menyebabkan ICW menangani advokasi korban korupsi. ICW mencoba untuk menggunakan konsep Pasal 98 KUHAP, yaitu terkait penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Pasal 98 KUHAP ini biasanya digunakan untuk korban kecelakaan lalu lintas, tetapi ICW mencoba menggeser ketentuan tersebut agar dapat diberlakukan untuk korban korupsi untuk menggugat langsung pelaku korupsi dalam kasus korupsi bansos oleh mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, yaitu Juliari Peter Batubara. Sayangnya, permohonan ICW ditolak oleh Majelis Hakim yang menyidangkan mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, yaitu Juliari Peter Batubara. Padahal, jika penggunaan Pasal 98 KUHAP itu berhasil digunakan dalam kasus korupsi bansos oleh mantan Menteri Sosial Republik Indonesia, yaitu Juliari Peter Batubara, dampaknya bukan hanya pada korban bansos. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi langkah yang bisa ditiru oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini masih banyak hal-hal yang harus dibenahi dalam memberantas tipikor. Bagi mahasiswa hukum yang mempelajari teori hukum dan menyaksikan berita tipikor, tentu akan mempertanyakan mengenai adanya perbedaan antara teori yang dipelajari dengan apa yang dikerjakan oleh penegak hukum. Hal tersebut merupakan potret yang sangat lazim dan menjadi tanggung jawab bersama, terutama bagi orang-orang yang memahami hukum untuk bisa menegakkan hukum dan juga mengkritik kebijakan-kebijakan yang secara umum keliru dan berpotensi melemahkan agenda reformasi hukum serta secara khusus dapat berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan dan memberi masukan kepada Kepolisian, Kejaksaan dan juga KPK agar ketiga penegak hukum tersebut dapat menunjukan performa dengan lebih baik. Terakhir, di tengah pandemi covid-19 ini, terdapat ratusan triliun rupiah yang dianggarkan oleh pemerintah dan anggaran tersebut harus dipastikan dapat tersalurkan kepada hal-hal yang sudah direncanakan oleh pemerintah dengan baik. Hal tersebut menjadi tanggung jawab secara moral bagi setiap orang untuk memastikan anggaran tersebut tersalurkan dengan benar. 

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...