Penyuluhan Hukum 10 Februari 2020 “Perkawinan di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum di Indonesia” di Desa Cibiru Wetan, Bandung.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut hukum adat, perkawinan bukan sekedar perikatan perdata saja, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Sementara menurut hukum islam, perkawinan adalah akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri yang berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima.

Tujuan dari perkawinan berdasarkan UU Perkawinan yaitu untuk dapat mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karenanya untuk dapat melangsungkan perkawinan dibutuhkan kesiapan fisik, hormonal dan emosional dalam diri seseorang. Pada kenyataannya, menurut ahli kandungan Rumah Sakit Cinere, dr. Winahyo Hardjoprakoso, Sp.OG., perempuan yang melangsungkan perkawinan di bawah umur, organ reproduksinya masih belum sempurna dan situasi emosionalnya belum matang.  Hal-hal tersebut menyebabkan tujuan dari perkawinan menjadi sulit untuk dicapai.

Perkawinan memiliki ketentuan untuk melaksanakannya yaitu syarat formal dan materiil. Syarat formal (syarat objektif) adalah syarat terkait tata cara dan prosedur untuk melangsungkan perkawinan yang harus dipenuhi menurut hukum agama dan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, syarat materiil (syarat subjektif) adalah syarat-syarat yang melekat pada diri pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Konsekuensi dari tidak dipenuhinya kedua syarat ini dapat dilakukan pencegahan maupun pembatalan perkawinan. Pencegahan dan pembatalan perkawinan bisa diajukan ke Pengadilan ssesuai dengan domisili seseorang.

Batas usia perkawinan ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yaitu perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas maka perkawinan hanya bisa dilangsungkan ketika pria dan wanita sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia perkawinan termasuk dalam kategori syarat materiil karena melekat pada diri seseorang.

Jika seorang anak melaksanakan perkawinan di luar batas usia minimal, maka melanggar hak-hak anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Anak memiliki hak-hak yang dijamin oleh UU Perlindungan Anak. Sebaiknya perkawinan di bawah umur dihindari karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi berbagai aspek kehidupan dan bukan tidak mungkin dapat menimbulkan keresahan kepada publik.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...