Narasumber: Joshua Gabriel Nainggolan – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR
Didalam proses penangkapan, penahanan, dan interogasi khususnya di Negara-negara Amerika Serikat sering muncul kata-kata “The right to remain silent” yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi hak untuk diam. Hak untuk diam adalah salah satu hak dalam prinsip Miranda Rules yang muncul sejak kasus Ernesto Miranda melawan Arizona tahun 1966.[1] Ernesto Miranda dituduh melakukan pemerkosaan tanpa ditawarkan bantuan hukum dan dipaksa menandatangani pengakuan lewat intimidasi verbal dari pihak kepolisian.[2] Miranda Rules lahir sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia yang wajib untuk diperhatikan agar proses penegakan hukum semena-mena tidak terjadi lagi.[3] Miranda Rules diadopsi oleh banyak negara hukum di dunia termasuk Indonesia dengan salah satu asas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (yang selanjutnya disebut KUHAP). Asas tersebut menyatakan bahwa kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.[4]
Hak untuk diam adalah prinsip yang penting dalam proses acara pidana di negara-negara Amerika Serikat karena dalam proses penangkapan dan penahanan hak untuk diam adalah hal yang pertama dikatakan oleh penegak hukum sebagai penerapan Miranda Rules dalam bentuk Miranda Warning yang berbunyi:[5]
“You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.”
Hak untuk diam dinilai oleh Mahkamah Agung Amerika penting untuk melindungi seseorang menghindari membuat pernyataan yang memberatkan diri sendiri dan mencakup kondisi bahwa komentar atau kesimpulan yang tidak menguntungkan.[6] Komentar atau kesimpulan tersebut tidak dapat dibuat oleh pengadilan karena terdakwa menolak untuk menjawab pertanyaan sebelum atau selama persidangan pengadilan.[7] Hak ini juga merupakan salah satu bentuk amandemen konstitusi kelima Amerika Serikat dimana amandemen tersebut bertujuan untuk melindungi seseorang yang tidak bersalah tetapi terjerat oleh keadaan yang ambigu sehingga menjadi saksi terhadap dirinya sendiri dengan menyampaikan bukti yang merugikan diri kepada pihak penegak hukum.[8]
Miranda Rules tidak seluruhnya diserap murni oleh Hukum Acara Pidana Indonesia dilihat dengan perbedaan hak untuk diam dalam putusan mahkamah agung Amerika Serikat dikatakan bahwa hak untuk diam menjadi kewajiban untuk diberitahukan penyidik terhadap tersangka sebelum pada saat proses interogasi dilakukan.[9] Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia tidak diketahui apakah hak untuk diam bagi tersangka itu benar diakui atau tidak karena dalam Pasal 52 KUHAP tertulis: “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.” Pasal 52 KUHAP tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk diam dan tidak adanya hak untuk diam. Ketidakpastian akan ada atau tidaknya hak untuk diam bagi tersangka atau terdakwa secara lebih jelas terlihat dalam Pasal 175 KUHAP, yang berbunyi: “Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.” Absennya hak untuk diam bagi tersangka atau terdakwa dalam KUHAP tentunya akan menimbulkan permasalahan karena hak untuk diam adalah prinsip Miranda Rules yang krusial menjamin hak tersangka agar terhindar dari tindakan penegak hukum yang semena-mena.
Sebaliknya jika diberlakukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut RUUKUHAP), sebenarnya hak untuk diam diakui keberadaannya secara eksplisit yaitu pada Pasal 90 RUUKUHAP yang berbunyi: (1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan atau menolak untuk memberikan keterangan berkaitan dengan sangkaan atau dakwaan yang dikenakan kepadanya. (2) Dalam hal tersangka atau terdakwa menggunakan haknya untuk tidak memberikan keterangan, sikap tidak memberikan keterangan tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk memberatkan tersangka atau terdakwa. (3) Dalam hal tersangka atau terdakwa setuju untuk memberikan keterangan, tersangka atau terdakwa diingatkan bahwa keterangannya menjadi alat bukti, walaupun kemudian tersangka atau terdakwa mencabut kembali keterangan tersebut.
Negara Indonesia tidak menyerap hak untuk diam dari Miranda Rules secara murni bahkan dalam KUHAP tidak tertulis secara eksplisit diakuinya hak untuk diam bagi terdakwa dan tersangka. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa hal ingin dicegah oleh adanya hak untuk diam dalam Miranda Rules akan sering terjadi dalam praktik hukum acara pidana Indonesia dan meningkatkan kesempatan penegak hukum Indonesia bertindak semena-mena tetapi selain itu juga dapat menghambat penyidik mengungkap suatu perkara pidana.[10] Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dari kasus Muhammad Fikry bersama tiga temannya yang diduga terlibat tindakan pembegalan terhadap Darusma Ferdiansyah. Roji seorang perwakilan dari keluarga terdakwa mengatakan bahwa terjadi tindakan kekerasan dilakukan oleh pihak kepolisian dengan menodong pistol, menendang, menyeret, dan memukuli terdakwa agar mengakui perbuatannya. Pihak kepolisian terlebih lagi dituduh melakukan salah tangkap karena Muhammad Fikry mengatakan bahwa dia tidak melakukan pembegalan melainkan sedang menawarkan bantuan kepada korban.[11] Kasus tersebut menunjukkan bahwa terdakwa tidak memiliki hak untuk diam bahkan melalui intimidasi secara fisik dipaksa untuk menjawab dan mengakui perbuatan yang disangkakan kepada terdakwa.
Prinsip dan asas hukum acara pidana dalam prakteknya masih sering dilanggar mengakibatkan hak untuk diam bagi terdakwa dan tersangka diabaikan. Prinsip hak untuk diam dalam Miranda Rules adalah prinsip perlindungan terhadap tersangka khususnya perlindungan dari intimidasi dan penyiksaan oleh penyidik, baik itu secara fisik maupun psikis. Keberadaan hak untuk diam masih menimbulkan kebingungan dan keraguan oleh para ahli hukum maka dari itu dibutuhkan sebuah pasal dalam KUHAP yang mengatur hak untuk diam secara eksplisit.[12] Kebutuhan pengaturan hak untuk diam secara eksplisit didukung dengan adanya Pasal 90 RUUKUHAP. Artinya hak untuk diam memang sudah ditoleransi dan menjadi perhatian oleh pembuat undang-undang agar menjadi salah satu hak terdakwa yang harus dilindungi. [13] Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses penangkapan, penahanan, dan interogasi hak tersangka seharusnya dapat mempertimbangkan pengaturan terkait hak untuk diam bagi terdakwa dan tersangka secara eksplisit. Dengan adanya hak untuk diam bagi tersangka yang diatur secara eksplisit dalam KUHAP maka diharapkan dapat lebih menjamin hak tersangka dari tindakan yang semena-mena dari penegak hukum.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
Referensi:
[1] Indra Karianga, Pidel Kastro Hutapea, Prinsip Miranda Rules “The Right to Remain Silent” Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Media Iuris Volume 2-Nomor 3, Oktober 2019, halaman 394.
[2] Ibid.
[3] M. Sofyan Lubis, Prinsip “Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), halaman 15.
[4] Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan (Jakarta: Penerbit Papas Sinar Sinanti, 2013), halaman 30-31.
[5] M. Sofyan Lubis, Miranda Rule dalam KUHAP, https://artikel.kantorhukum-lhs.com/miranda-rule-dalam-kuhap/ (diakses pada tanggal 28 April 2022).
[6] Miranda Rights.org,Right to Remain Silent, http://www.mirandarights.org/righttoremainsilent.html#:~:text=In%20the%20United%20States%2C%20the,avoid%20making%20self%2Dincriminating%20statements (diakses tanggal 28 April 2022).
[7] Ibid.
[8] Legal Information Institute, Amandement V, https://www.law.cornell.edu/constitution/fifth_amendment#:~:text=In%20criminal%20cases%2C%20the%20Fifth,and%20protects%20against%20self%2Dincrimination (diakses tanggal 28 April 2022).
[9] Munir Fuady, Sylvia Laura L. Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana (Jakarta: Kencana, 2015), halaman 92.
[10] Indra Karianga, Pidel Kastro Hutapea, Prinsip Miranda Rules “The Right to Remain Silent” Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Media Iuris Volume 2-Nomor 3, Oktober 2019, halaman 395.
[11] Agung Sandy Lesmana, Korban Salah Tangkap Polisi Divonis 9 Bulan Penjara, KontraS Sebut Hakim Ikut jadi Aktor Ketidakadilan Fikry dkk, https://www.suara.com/news/2022/04/26/151128/korban-salah-tangkap-polisi-divonis-9-bulan-penjara-kontras-sebut-hakim-ikut-jadi-aktor-ketidakadilan-fikry-dkk (diakses tanggal 28 April 2022).
[12] Rusiana Ika Puspitasari, skripsi: Analisis tentang eksistensi asas hak untuk diam (the right to remain silent) bagi tersangka dan terdakwa berdasarkan kitab undang-undang hukum acara pidana dan proyeksi dalam proses perkara pidana, (Surakarta: Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret), halaman 56.
[13] Ibid.
Tersedia di: