Pentingnya Mengatur Petisi Online dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Narasumber: Calista Aspasia – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Indonesia sebagai negara yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi sudah pasti menjunjung tinggi kebebasan terutama dalam berpendapat dan berekspresi.[1] Kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi yang dimiliki setiap warga negara dalam bernegara. Kebebasan ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Misalnya saja, ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak warga negara untuk memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa terdapat pembatasan mengemukakan pendapat dan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 28J UUD 1945. Ketentuan Pasal 28J UUD 1945 menentukan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi tetap harus menghormati Hak Asasi Manusia orang lain. Akan tetapi, terdapat 1 (satu) pasal dalam UUD 1945 yang mengatur secara eksplisit terkait kebebasan berpendapat, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal ini secara tegas memberikan kemerdekaan bagi semua orang untuk berserikat, berkumpul, dan berpendapat secara lisan maupun tulisan, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Salah satu bentuk dari kebebasan berpendapat merupakan partisipasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 General Comment No. 34 International Covenant on Civil and Political Rights, yang mengatur bahwa salah satu bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan pengawasan kebijakan pemerintah serta diskusi publik.

Partisipasi secara umum merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pejabat publik serta mempengaruhi kebijakan publik.[1] Hal ini berarti bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan warga negara dalam proses pemerintahan yang diarahkan untuk memengaruhi pemerintah sehingga dengan adanya partisipasi warga negara tersebut akan memengaruhi kehidupan di dalam masyarakat pula. Terdapat beberapa cara masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum, seperti demonstrasi, petisi, rapat umum, mimbar bebas, pawai, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, masyarakat lebih memilih untuk melakukan demonstrasi. Hal ini dikarenakan demonstrasi merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan oleh semua kalangan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi mereka dan kesempatan aspirasi mereka untuk didengar lebih besar. Namun, aksi demonstrasi yang dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk menyalurkan aspirasi tidak luput dari kerusuhan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak hanya itu, dalam aksi demonstrasi, masyarakat cenderung melakukan pelanggaran hukum dan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Di era teknologi informasi saat ini, selain informasi digital dapat diperoleh secara instan namun juga memberikan masyarakat kemudahan akses untuk mewujudkan hak sebagai warga negara yaitu menyampaikan aspirasi. Sekarang ini masyarakat memilih cara yang lebih mudah untuk menyuarakan aspirasi dan argumen di muka umum, salah satunya dengan membuat dan menandatangani petisi online yang saat ini kemunculannya mulai berkembang pesat. Petisi sendiri merupakan bentuk permintaan formal untuk bertindak kepada otoritas yang lebih tinggi, biasanya institusi pemerintahan atau parlemen, dan juga korporasi swasta.[2] Petisi diajukan dengan tujuan untuk mengubah kebijakan publik atau mendorong tindakan tertentu oleh institusi publik dalam menghadapi suatu isu yang sedang berkembang di masyarakat.[3] Dalam politik, petisi bertujuan untuk menarik atau mendapatkan dukungan dalam suatu pemilihan atau untuk mencabut sebuah undang-undang.[4]

Petisi online menjadi wadah baru bagi jutaan orang dalam bekerja sama mengambil keputusan untuk membuat perubahan. Dengan mekanisme petisi online, masyarakat dapat menggalang dukungan dan menandatangani petisi secara virtual.[6] Kemudian, masyarakat yang telah menandatangani petisi tersebut secara otomatis akan menerima email yang berisi petisi kepada target yang dituju, salah satunya adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan.[7]

Salah satu platform online yang saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka adalah Change.org. Kemunculan Change.org di Indonesia sejak 2012 semakin mendorong masyarakat untuk berpartisipasi mengemukakan aspirasi dengan membuat petisi dalam berkampanye maupun untuk mencari solusi atas masalah yang ada di dalam masyarakat. Pengguna situs tersebut terus meningkat sejak tahun 2012. Hingga tahun 2021 jumlah pengguna Change.org telah mencapai 18.800.000 (delapan belas juta delapan ratus ribu) pengguna.[8] Petisi yang dilayangkan mengangkat berbagai isu termasuk isu politik, lingkungan, perlindungan anak, perlindungan hewan, pendidikan, dan hak perempuan.[10] Berdasarkan data jumlah pengguna situs Change.org menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dan turut berpartisipasi langsung dalam menentukan kebijakan sangatlah tinggi. Selain itu, petisi online ternyata juga cukup berpengaruh dalam pengambilan keputusan publik. Hal ini dapat dilihat kemenangan petisi online dalam mendesak pemerintah untuk memberikan vaksin Covid-19 kepada seluruh masyarakat Indonesia secara gratis. Efektivitas petisi online dalam mempengaruhi kebijakan publik juga ditunjukkan dari Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut RUU TPKS) yang baru saja disetujui DPR bersama Pemerintah pada Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.

Petisi sendiri sebenarnya pernah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang mencabut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah juga pernah memberikan penjelasan terkait hak petisi, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan-kepentingan Daerah dan penduduknya ke hadapan instansi instansi lebih atas (hak petisi). Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU Otsus Papua) pernah memberikan pengaturan terkait hak petisi. Dalam UU Otsus Papua, dijelaskan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MPR, DPRD, Gubernur dan perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran dan usul. Meski demikian, peraturan perundang-undangan tersebut sudah telah dicabut.

Diketahui bahwa petisi telah diakui oleh Inggris melalui Deklarasi Magna Charta atau The Right of Petition.[11] Negara Inggris mempelopori sistem petisi pada tahun 1628 yang diimplementasikan sebagai bentuk partisipasi politik dan sarana penghubung rakyat dengan parlemen dan kerajaan.[12] Hak petisi juga terkandung dalam konstitusi Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, terkait kebebasan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat karena hak petisi merupakan bagian dari hak menyampaikan pendapat. Selanjutnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) juga mengatur hak setiap orang untuk mengajukan pendapat kepada pemerintah, pasal ini menyebutkan:

“Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sementara itu, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa tujuan dari pembentukan undang-undang tersebut adalah untuk memberikan kepastian kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab sebagai pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan mencerminkan demokrasi di Negara Indonesia. Namun, dari ketentuan-ketentuan di atas tidak ada pasal yang secara tegas mengatur tentang petisi

Lantas, hal ini menimbulkan suatu pertanyaan di masyarakat luas terkait status hukum dari petisi online di Indonesia. Sayangnya, negara Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur petisi online secara khusus. Dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia, masyarakat memiliki hak untuk memberikan pendapatnya kepada Pemerintah. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UUP3). Pasal 96 ayat (1) dan (2) UUP3 memberikan penjelasan mengenai partisipasi masyarakat, yang berbunyi:

“(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Ketentuan tersebut secara limitatif menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat baik secara lisan maupun tulisan tersebut hanya dalam bentuk rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar dan diskusi. Partisipasi masyarakat dalam bentuk petisi tidak diatur dalam ketentuan tersebut. Hal ini yang menjadi dasar perlunya mengatur petisi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hingga saat ini, petisi-petisi yang dilayangkan tersebut ditampung oleh organisasi swasta, maka tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk menjawab petisi tersebut. Dengan tidak adanya mekanisme yang jelas dan tanggap dari pemerintah atas aspirasi masyarakat, maka akan muncul persoalan baru. Masyarakat cenderung menyalurkan kritik dan saran mereka kepada pemerintah melalui media sosial, yang acap kali dianggap sebagai ujaran kebencian, hujatan, bahkan pencemaran nama baik. Oleh karena itu, Indonesia perlu memiliki payung hukum terhadap petisi terutama petisi online untuk memberikan kepastian bahwa pendapat masyarakat melalui petisi wajib ditinjau dan direspons oleh pemerintah.

Berbeda dengan negara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Inggris yang telah memiliki mekanisme petisi yang sistematis dan responsif. Sebelum masa pemerintahan Presiden Joe Biden, Pemerintah Amerika Serikat memfasilitasi petisi online bernama We the People di dalam website WhiteHouse.gov yang diselenggarakan sejak 2011.[13] Di dalam website tersebut dijelaskan bahwa sebuah petisi harus mencapai 150 (seratus lima puluh) tanda tangan selama 30 (tiga puluh) hari.[14] Selanjutnya, petisi yang mencapai 100.000 (seratus ribu) tanda tangan dalam 30 (tiga puluh) hari harus direspon oleh pemerintah.[15]. Namun, sejak 20 Januari 2021, sistem petisi online We the People telah dihapus tanpa penjelasan apapun.[16] Petisi di Amerika Serikat ditampung oleh gedung putih dan dijamin dalam Amandemen Pertama Konstitusi AS yang di dalamnya melarang kongres untuk membuat undang-undang yang isinya membentuk suatu agama, melarang praktik agama secara bebas, serta menghambat kebebasan berbicara kebebasan pers, kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan untuk menyampaikan petisi kepada pemerintah terkait dengan ganti rugi atas keluhan masyarakat.[17] Tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan yang mengadopsi sistem petisi Amerika Serikat. Pemerintah Korea Selatan menyediakan petisi online melalui situs president.go.kr sejak tahun 2017.[18] Petisi yang mencapai 200.000 (dua ratus ribu) tanda tangan dalam 30 (tiga puluh) hari wajib dijawab oleh pemerintah.[19]

Lain halnya dengan Inggris, sistem petisi semakin berkembang saat parlemen Inggris menyediakan platform bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka secara online. Suatu petisi setidaknya memerlukan 5 (lima) orang sebagai pendukung sebelum petisi tersebut dipublikasikan dan 10.000 (sepuluh ribu) tanda tangan untuk mendapatkan jawaban dari pemerintah, serta 100.000 (seratus ribu) tanda tangan untuk didiskusikan di parlemen.[20] Untuk menghindari petisi yang tidak bertanggung jawab, Pemerintah Inggris juga menetapkan beberapa syarat dalam memilih petisi yang akan direspon sebelum disampaikan ke pemerintah atau pihak terkait, yaitu:[21]

  1. petisi tersebut harus secara jelas tertuju kepada pemerintah atau parlemen;
  2. pembuat petisi mengetahui bahwa masalah yang digugat di dalam petisi adalah tanggung jawab pemerintah Inggri;
  3. petisi harus terhindar dari masalah pribadi, petisi harus terhindar dari masalah yang bersifat rahasia, fitnah atau salah paham;
  4. petisi terhindar dari preferensi yang mewakili partai politik, petisi terhindar dari masalah yang berpotensi melanggar hukum, serta petisi terhindar dari masalah yang berpotensi menyebabkan masalah baru.

Berdasarkan praktik penyelenggaraan ketiga negara di atas, dapat terlihat bahwa petisi online menjadi salah satu sarana terpenting sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Adanya kepastian bahwa pemerintah wajib merespons semua isu yang digugat di dalam petisi, menciptakan interaksi antara masyarakat dengan pemerintah yang lebih efisien. Sementara itu, di Indonesia, meskipun sebuah petisi telah ditandatangani oleh lebih dari 1.000.000 (satu juta) orang, terdapat kemungkinan pemerintah tidak menjawab. Hal ini karena belum adanya aturan yang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menjawab petisi tersebut. Ketiadaan regulasi yang mengatur petisi di Indonesia membuat semua petisi yang ditujukan kepada pemerintah maupun pihak-pihak tertentu bergantung pada kemauan politik pemerintah dan kepentingan pribadi atau kelompok untuk membahas masalah ini.

Menurut hemat penulis, untuk menciptakan demokrasi yang lebih substantif, masyarakat membutuhkan wadah partisipasi yang responsif dan memiliki kepastian hukum. Petisi online memudahkan masyarakat dalam mengangkat masalah dan menarik dukungan supaya mendapatkan perhatian pemerintah untuk mengubah kebijakan yang tidak sesuai. Namun, karena petisi online di Indonesia hingga saat ini masih ditampung oleh organisasi swasta yaitu Change.org, maka tidak ada jaminan bahwa pemerintah maupun pihak-pihak yang menjadi target petisi akan menanggapi. Oleh karena itu, sebaiknya Indonesia melakukan transplantasi sistem hukum penyelenggaraan petisi online di negara Amerika Serikat, Korea Selatan dan Inggris dalam membuat regulasi khusus yang mengatur mengenai petisi untuk menciptakan kepastian hukum. Selain itu, sebelum menyediakan situs resmi untuk menampung aspirasi rakyat, sebaiknya pemerintah Indonesia memperbaiki dan melakukan pengembangan terhadap sistem e-government secara komprehensif agar nantinya tidak timbul masalah-masalah terkait identitas palsu, berita bohong, disintegrasi data, serta sistem keamanan yang tidak memadai. E-government merupakan pemanfaatan jaringan internet oleh pemerintah dalam mengakomodasi penyebaran informasi dan layanan bagi kepentingan masyarakat. Dalam mengadopsi mekanisme petisi dari negara lain, pemerintah Indonesia tetap harus menetapkan standar-standar dalam pengajuan petisi sesuai dengan kondisi Indonesia sendiri. Dengan upaya-upaya tersebut, maka akan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendengar dan menerima aspirasi masyarakat serta menjamin hak-hak warga negara dalam berpendapat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 181,
    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3789).

Referensi:

[1] Komnas HAM, Standar Norma dan Pengaturan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, https://www.komnasham.go.id/files/1604630519snp-kebebasan-berekspresi-dan–$SF7YZ0Z.pdf (diakses pada 9 April 2022).

[2] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008), halaman 367.

[3] Ralf Lindner dan Riehm Ulrich, Electronic Petitions and Institutional Modernization International Parliamentary E-Petitions Systems in Comparative Perspective, JeDEM – eJournal of eDemocracy an Open Government, Volume 1-Nomor 1, September 2009, halaman 3.

[4] Ibid.

[5] Suci Oktaviani dan Komang Pradnyana Sudibya, Pengaturan Petisi Online dalam Pengaturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, Jurnal Kertha Negara, Volume 7-Nomor 8, September 2019, halaman 6.

[6] Ahmad Faadhila Addiputra, Faiz Aulia Rahman, Monique Madelin, Putri Ramadini Mumpuni, dan Epin Saepudin, Petisi Daring sebagai Bentuk Partisipasi Warga Negara di Era Digital, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 29-Nomor 2, Desember 2020, halaman 190.

[7] Asih Nurcahyani. Media Sosial dan Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan Pemerintah, https://kumparan.com/asihncp/media-sosial-dan-partisipasi-masyarakat-dalam-kebijakan-pemerintah-1x65KIzflLX/4 (diakses pada 29 Januari 2022).

[8] Ibid.

[9] Change.org-Indonesia, Tahun 2021, Hampir Satu Juta Warganet Menangkan Petisi di Change.org, https://www.change.org/l/id/tahun-2021-hampir-satu-juta-warganet-menangkan-petisi-di-change-org (diakses pada 30 Januari 2022).

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Moch. Marsa Taufiqurrohman, Zaki Priambudi, dan Avina Nakita Octavia, Mengatur Petisi Di Dalam Peraturan Perundang-Undangan: Upaya Penguatan Posisi Masyarakat Terhadap Negara Dalam Kerangka Perlindungan Kebebasan Berpendapat, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 18-Nomor 1, Maret 2021, halaman 8.

[13] Ibid.

[14] Suci Oktaviani dan Komang Pradnyana Sudibya, op cit. halaman. 9.

[15] Rahadian P. Paramita, Bedanya Petisi di Indonesia dengan Amerika Serikat, https://amp.lokadata.id/amp/bedanya-petisi-di-indonesia-dengan-amerika-serikat-26960 (diakses pada 30 Januari 2022).

[16] Ibid.

[17] Mary Ellen Cagnassola, Fact Check: Did the Biden Administration Remove the White House Petitioning System?, https://www.newsweek.com/fact-check-did-biden-administration-remove-white-house-petitioning-system-1570052 (diakses pada 30 Januari 2022).

[18] Suci Oktaviani dan Komang Pradnyana Sudibya, op cit. halaman. 10.

[19] Danu Darmajati, Di AS dan Korsel, Petisi Online Disediakan oleh Kantor Kepresidenan, https://news.detik.com/berita/d-4581190/di-as-dan-korsel-petisi-online-disediakan-oleh-kantor-kepresidenan (diakses pada 30 Januari 2022).

[20] Ibid.

[21] Moch. Marsa Taufiqurrohman, Zaki Priambudi, dan Avina Nakita Octavia, op.cit. halaman 9.

[22] Ibid.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...