Home / Uncategorized / Penggunaan Metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Penggunaan Metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Narasumber: Nicolas Wianto – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pada tahun 2017, Presiden Negara Republik Indonesia, Joko Widodo (selanjutnya disebut Presiden Jokowi) mengeluhkan adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[1] Atas permasalahan tersebut, Presiden Jokowi mengusulkan untuk membuat suatu Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang mencabut dan/atau mengubah beberapa ketentuan UU sekaligus.[2] Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi serta menghindari adanya pertentangan antara peraturan perundang-undangan. Berdasarkan metode pembentukan peraturan perundang-undangan, metode penyederhanaan regulasi yang disebutkan oleh Presiden Jokowi dinamakan metode omnibus law.[3]

Metode omnibus law lazim digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem common law.[4] Salah satu contoh negara common law yang menggunakan metode omnibus law adalah negara Amerika Serikat.[5] Meskipun demikian, penerapan metode omnibus law di negara ini tidak terlepas dari berbagai catatan, misalnya pembuatan Omnibus Spending Bill yang masih mendapat protes dari masyarakat karena mengatur hal yang sangat luas, tetapi dibahas hanya dalam waktu yang singkat.[6]

Seiring perkembangan jaman, beberapa negara yang menganut sistem civil law telah menerapkan metode omnibus law dengan tujuan menyelesaikan permasalahan tumpang tindihnya regulasi dan birokrasi.[7]Salah satunya adalah negara Vietnam yang menyatukan berbagai ketentuan peraturan perpajakan di dalam satu UU.[8] Black’s Law Dictionary mendefinisikan omnibus law sebagai “a bill including in one act various separate and distinct matters, and particularly one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment.”[9]Berdasarkan definisi tersebut, secara bebas omnibus law dapat diterjemahkan sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang mengubah dan/atau mencabut beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dari sektor-sektor yang berbeda untuk disatukan ke dalam 1 (satu) peraturan perundang-undangan.

Omnibus law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan.[10] Penggunaan metode omnibus law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.[11] Metode omnibus law yang dibentuk menggunakan cara modifikasi menjadikan peraturan perundang-undangan bisa beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hamid S. Attamimi bahwa proses pembentukan hukum perlu menggunakan metode modifikasi sehingga hukum dapat menjembatani kepentingan dan kebutuhan masyarakat.[12] Indonesia telah menggunakan metode omnibus law, salah satu contohnya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Penggunaan metode omnibus law yang mengubah dan/atau mencabut berbagai ketentuan UU akan memperluas cakupan sektor yang diatur. Hal ini menyebabkan golongan masyarakat yang terdampak akan lebih banyak daripada masyarakat yang terdampak dari pembuatan UU pada umumnya. Menurut hemat penulis, satu UU yang mengubah dan/atau mencabut berbagai ketentuan UU lainnya untuk kemudian diatur di dalam UU tersebut bisa memberikan dampak positif maupun negatif terhadap sektor-sektor yang diatur dalam satu UU tersebut. Dampak positifnya adalah menyederhanakan sehingga terjadi penataan kembali regulasi serta prosedural dari UU yang disatukan itu.  Misalnya saja UU Cipta Kerja yang mengubah dan/atau mencabut 78 (tujuh puluh delapan) UU meliputi sektor ketenagakerjaan, agraria, kehutanan, keuangan, perizinan berusaha, perdagangan, perikanan, hingga administrasi pemerintahan, tentu memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap masyarakat.[13] UU Cipta Kerja yang mengatur berbagai sektor ini memiliki keunggulan utama, yaitu memberikan kemudahan berusaha di Indonesia yang kemudian akan mendorong investor masuk di Indonesia.[14] Sebelum adanya UU Cipta Kerja pembentukan suatu badan usaha, terutama badan usaha berupa perseroan yang dibentuk oleh UMKM  terhalang pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT). Maka, UU Cipta Kerja lahir dengan cakupan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut UU UMKM) dan UU PT menghasilkan suatu produk badan usaha baru, yaitu Perseroan Perorangan. Perseroan Perorangan ini memudahkan UMKM untuk berusaha karena bisa didirikan oleh 1 (satu) orang, syarat pendaftaran yang mudah, serta pemisahan harta kekayaan perusahaan dengan harta pribadi.

Penggunaan metode omnibus law di Indonesia saat ini masih hanya terbatas pada UU. Penerapan dari metode omnibus law juga masih jauh dari kata sempurna, contohnya adalah UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil setelah dilakukan uji formil oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) akibat tidak terpenuhinya prosedur pembentukan suatu UU. UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (selanjutnya disebut Putusan MK).[15] Apabila suatu UU dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, maka UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Pengujian formil terhadap suatu UU berkaitan dengan prosedur penyusunan sebuah UU, yaitu dalam hal terdapat dugaan kesalahan prosedur, atau dugaan kesengajaan melewatkan prosedur dalam menghasilkan sebuah UU.[16] Putusan inkonstitusional bersyarat dalam UU Cipta Kerja dimaknai sebagai UU CK tidak berlaku secara permanen apabila tidak dilakukan revisi terhadap UU tersebut selama 2 tahun.

Selain itu, uji formil terhadap UU Cipta Kerja tentu menunjukkan bahwa penggunaan metode omnibus law memiliki banyak celah hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU P3). Salah satu pertimbangan hakim MK dalam memutus uji formil UU Cipta Kerja adalah UU Cipta Kerja tidak memenuhi kriteria asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai ketentuan Pasal 5 UU P3 yang berbunyi:

“Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.”

Salah satu asas yang tidak terpenuhi adalah asas keterbukaan. Asas keterbukaan pada pembentukan UU Cipta Kerja tidak terpenuhi karena tidak setiap golongan masyarakat yang terdampak dalam UU tersebut ikut berpartisipasi dan dapat menyuarakan pendapatnya mengenai UU tersebut. Hal ini tentu merupakan hal yang fatal mengingat setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus melibatkan setiap golongan masyarakat yang terdampak demi kepentingan masyarakat itu sendiri. Mengacu pada kondisi ini, menjadi logis jika dikatakan bahwa salah satu kelemahan dari penggunaan metode omnibus law adalah kesulitan untuk memenuhi semua prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama dalam hal melibatkan semua golongan masyarakat.

Penggunaan metode omnibus law yang mengubah dan/atau mencabut beberapa ketentuan UU dari berbagai jenis sektor tentu memerlukan keterlibatan dari setiap masyarakat terdampak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 96 UU P3 yang berbunyi:

“(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;

b. kunjungan kerja;

c. sosialisasi; dan/atau

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”

Dalam kaitannya dengan UU Cipta Kerja, Pemerintah mengklaim telah melibatkan masyarakat terdampak dalam proses pembuatannya.[17] Meskipun demikian, hakim MK melalui Putusan MK berpendapat bahwa masyarakat belum berpartisipasi secara maksimal.[18] Penulis berpendapat bahwa proses pembuatan UU Cipta Kerja tidak memperhatikan ketentuan Pasal 96 ayat (4) UU P3. Pasal 96 ayat (4) UU P3 mensyaratkan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan berupa kemudahan masyarakat untuk mendapat informasi serta memberikan masukan harus difasilitasi oleh pemerintah.

Pertimbangan dari hakim MK dalam menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat adalah mengenai penggunaan metode omnibus law yang tidak diatur dalam UU P3. Hakim berpendapat bahwa penggunaan metode omnibus law tidak dapat digunakan selama peraturan mengenai prosedur serta tata cara menggunakan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan belum diadopsi di dalam UU P3. Hakim MK juga menghendaki adanya revisi terhadap UU Cipta Kerja selama 2 tahun. Apabila tidak terdapat revisi selama masa 2 tahun tersebut, maka UU Cipta Kerja menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara permanen.

Menurut hemat penulis, potensi penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia selalu terbuka. Meskipun tidak diatur dalam UU P3, penggunaan metode omnibus law diperbolehkan selama dalam proses pembuatannya patuh kepada UU P3, terutama asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan partisipasi masyarakat. Omnibus law juga sangat bermanfaat dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penggunaan metode omnibus law sendiri untuk menyederhanakan regulasi dan mencegah adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, seluruh golongan masyarakat terdampak harus dilibatkan dalam proses pembuatannya sehingga peraturan perundang-undangan yang tercipta dapat mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat terdampak.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573).

Referensi:

[1] Agustiyanti, Jokowi Sebut 42 Ribu Aturan Hambat RI Ikuti Perubahan Global, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171024125609-92-250596/jokowi-sebut-42-ribu-aturan-hambat-ri-ikuti-perubahan-global, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

[2] Ihsanuddin, Setahun Jokowi dan Pidatonya soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/20/06255981/setahun-jokowi-dan-pidatonya-soal-omnibus-law-ruu-cipta-kerja?page=all, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

[3] Bayu Dwi Anggono, Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang Adopsi dan Tantangannya dalam Sistem Perundang-undangan Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 9-Nomor 1, April 2020, halaman 18

[4]  Ibid. halaman 20.

[5] Tim Penulis IOJI, Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making, (Jakarta: Indonesia Ocean Justice Initiative, 2020), halaman 13-14.

[6] Ibid.

[7] Agnes Fitryantica, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law, Jurnal Gema Keadilan, Volume 6-Edisi 3, November 2019, halaman 313.

[8] Tirta Citradi, Omnibus Law, Mampukah Jurus Pamungkas ini Tarik Investor, https://www.cnbcindonesia.com/news/20191122150148-4-117269/omnibus-law-mampukah-jurus-pamungkas-ini-tarik-investor/2, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022)

[9]  Bayu Dwi Anggono, supra note nomor 3, halaman 21.

[10]  Agnes Fitryantica, supra note nomor 7, halaman 301-302.

[11] Ego sektoral merupakan suatu pola pikir dan tindakan yang hanya mementingkan kepentingan sektor atau bagian tertentu tanpa mempedulikan sektor lainnya. KRAT.Suharyono S. Hadinagoro, Reduksi Ego Sektoral dan Perkuat Sinergi Demi Produktivitas Nasional, https://www.perpusnas.go.id/news-detail.php?lang=id&id=200606090752gv6KxImoQa#:~:text=Istilah%20ego%20sektoral%20berkaitan%20dengan,%2Fperusahaan%2Fnegara%20yang%20sama, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

[12] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Daerah Istimewa Yogyakarta: PT. Kaninus, 2020), halaman 15.

[13] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

[14] Adnan Hamid, Analysis of Importance of Omnibus Law “Cipta Kerja” in Indonesia,  International Journal of Scientific Research and Management, Volume 8-Nomor 8, Agustus 2020, halaman 237.

[15] Sovia Hasanah, Pengertian Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat, https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-konstitusional-bersyarat-dan-inkonstitusional-bersyarat-lt581c0c98aa2ee, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

[16] Saldi Isra, Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional (Depok: PT. Rajagrafindo Persada, 2020), halaman 320.

[17] Lidya Julita Sembiring, Istana Klaim RUU Omnibus Law Libatkan Buruh dan Serikat Pekerja, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200221190754-4-139721/istana-klaim-ruu-omnibus-law-libatkan-buruh-serikat-pekerja, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

[18] Tim Penulis ngertihukum.id, Partisipasi Masyarakat Yang Bermakna Sebagai Salah Satu Batu Pengujian Formil UU Terhadap UUD 1945, https://ngertihukum.id/partisipasi-masyarakat-yang-bermakna-sebagai-salah-satu-batu-pengujian-formil-uu-terhadap-uud-1945/, (diakses pada tanggal 27 Januari 2022).

Tersedia di: