Penulis : Velia Hidayat, The
Kita sering mendengar atau membaca kata terlapor, tersangka, terdakwa, ataupun terpidana. Terlapor, tersangka, terdakwa, dan terpidana merupakan hal yang berbeda. Apa perbedaan antara keempat hal tersebut?
Berdasarkan Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Laporan tersebut disampaikan kepada pihak kepolisian. Terlapor adalah seseorang yang dilaporkan dalam laporan tersebut.[1] Oleh karena itu, terlapor adalah seseorang yang dilaporkan telah atau diduga melakukan suatu tindak pidana, namun belum tentu terlapor tersebut menjadi pelaku atas suatu tindak pidana.
Seorang terlapor dapat menjadi tersangka, namun seorang terlapor belum tentu menjadi tersangka. Berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Yahya Harahap, bukti permulaan yang cukup setidaknya mengacu pada standar minimal 2 (dua) alat bukti.[2] Kemudian Lamintang juga menyampaikan pendapatnya bahwa bukti permulaan yang cukup harus diartikan sebagai bukti minimal berupa alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Chandra M. Hamzah berpendapat bahwa bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas keterangan yang diperoleh dalam proses penyelidikan, keterangan saksi dalam proses penyelidikan, keterangan ahli dalam proses penyelidikan, dan barang bukti dalam proses penyelidikan dan penyidikan.[3] Kemudian berdasarkan Pasal 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri tentang Penyidikan Tindak Pidana), seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti. Oleh karena itu, tersangka adalah seseorang yang diduga sebagai pelaku atas suatu tindak pidana berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti.
Berdasarkan Pasal 1 butir 15 KUHAP, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Seorang tersangka dapat ditetapkan menjadi terdakwa berdasarkan bukti yang cukup. Oleh karena itu, seorang tersangka yang sedang menjalani proses persidangan di pengadilan disebut sebagai terdakwa.
Kemudian berdasarkan Pasal 1 butir 32 KUHAP, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun yang dimaksud dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan yang memutus perkara pidana pada tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi, putusan pengadilan yang memutus perkara pidana pada tingkat banding yang tidak diajukan kasasi, atau putusan kasasi.[4] Jangka waktu untuk mengajukan banding yaitu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir.[5] Sedangkan jangka waktu untuk mengajukan kasasi yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa.[6] Oleh karena itu, terpidana adalah terdakwa yang dinyatakan bersalah dan terbukti telah melakukan suatu tindak pidana, kemudian mendapatkan sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Seorang terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan disebut sebagai narapidana.[7]
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa terlapor adalah seseorang yang dilaporkan kepada pihak kepolisian bahwa ia telah atau diduga melakukan suatu tindak pidana, namun belum tentu terlapor tersebut menjadi pelaku atas suatu tindak pidana. Seorang terlapor dapat menjadi tersangka yang diduga sebagai pelaku atas suatu tindak pidana berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti. Jika tersangka kemudian berlanjut menjalani proses persidangan di pengadilan berdasarkan bukti yang cukup, maka ia disebut sebagai terdakwa. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan terbukti telah melakukan suatu tindak pidana, kemudian mendapatkan sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap disebut sebagai terpidana. Jika seorang terpidana kemudian mendapatkan pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan, maka ia disebut sebagai narapidana.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 3209).
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
- Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4234).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614).
Referensi:
[1] Kartini Laras Makmur, Ini Bedanya Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a05720c51f4e/ini-bedanya-terlapor–tersangka–terdakwa–dan-terpidana/ (diakses pada 4 Desember 2020).
[2] Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2014), halaman 17.
[3] Ibid, halaman 18.
[4] Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4234).
[5] Pasal 233 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 3209).
[6] Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 3209).
[7] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614).