Pengaturan Terkait Tindakan Aborsi Bagi Korban Perkosaan

Narasumber: Frisca – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Menurut organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO), kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman.[1] Kemudian, merujuk pada naskah akademik Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut RUU TPKS), kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.[2]

Kekerasan seksual menjadi suatu perhatian publik terutama sejak pandemi Corona Virus Disease 2019. Kekerasan seksual yang yang terjadi di masyarakat tidak hanya terbatas pada kekerasan seksual di ranah personal seperti kekerasan kepada istri, kekerasan dalam pacaran, dan lain sebagainya.[3] Akan tetapi, kekerasan seksual yang umumnya sering terjadi juga adalah kekerasan di ranah publik seperti tindakan perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, dan lain sebagainya.[4] Dilansir dari Catatan Tahunan 2020 Komisi Nasional Perempuan Indonesia (selanjutnya disebut Komnas Perempuan), kasus Kekerasan terhadap Perempuan tercatat sebanyak 299.911 kasus terdiri dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.[5] Dari total 299.911 kasus tersebut, 21% (dua puluh satu persen) kasus Kekerasan terhadap Perempuan di ranah publik yang salah satu didalamnya terkait dengan tindak pidana perkosaan.

Maraknya tindakan kekerasan saat ini menjadi suatu perhatian tersendiri bagi kaum feminis dan juga masyarakat luas. Perhatian ini muncul dikarenakan selain dari memandang pada penegakan keadilan dengan menghukum pelaku, tetapi juga diperlukan pengaturan terhadap korban kekerasan seksual terutama bagi korban yang mengandung anak dari pelaku perkosaan akibat terjadinya perkosaan tersebut. Menanggapi permasalahan perkosaan, hukum positif Indonesia telah mengatur mengenai jerat pidana bagi pelaku kekerasan seksual yaitu dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Walaupun sudah ada pengaturannya tapi keseluruhan pengaturannya memang belum memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Melihat pada kemungkinan bahwa korban dari perkosaan bisa saja mengandung anak hasil perkosaan, hal ini dapat membawa penderitaan mendatang kepada korban. Terlebih lagi dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam KUHP mengatur secara eksplisit dinyatakan pada Pasal 346 sampai dengan Pasal 348 bahwa tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan (selanjutnya disebut aborsi) merupakan tindak kejahatan. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Pelarangan ini juga menggambarkan bahwa pada hakikatnya setiap ciptaan Tuhan memiliki hak untuk hidup dan bertahan hidup. Begitu juga untuk janin yang belum dilahirkan ke dunia. Walaupun belum dilahirkan sebagai seorang dalam wujud manusia, negara tetap menjamin eksistensinya untuk lahir di dunia. Merujuk juga pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), secara tegas dinyatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Ditambah lagi, tindakan aborsi memiliki risiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan seorang wanita bahkan dapat berisiko fatal diantaranya dapat menyebabkan penyakit kelamin, kanker bahkan kematian.[4] Maka dari itu, tindakan aborsi menjadi suatu tindakan yang wajar saja dilarang sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

Pada praktiknya, permasalahan mengenai efektivitas hukum pada tindak aborsi terutama bagi korban perkosaan masih memunculkan pro dan kontra. Perbedaan pandangan ini didasarkan pada perbandingan antara kepentingan mengenai eksistensi janin untuk lahir dan kepentingan korban yang tidak menginginkan keberadaan janin tersebut. Bagi korban tentunya akan merasa tidak adil karena korban mengalami penderitaan secara fisik, psikis, dan sosial menghadapi tindakan perkosaan tersebut. Ditambah lagi, kehamilan akibat perkosaan dapat memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut.[5]

Atas pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan kondisi korban tindak pidana perkosaan, muncul indikasi-indikasi yang memberikan alasan pembenar dalam melakukan tindak aborsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan jo Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP Kesehatan Reproduksi) yang menyatakan bahwa:

“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b.kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Alasan pembenar dalam melakukan tindak aborsi ini tentunya harus diikuti dengan syarat-syarat lainnya terutama dalam hal pelaksanaannya, baik yang diatur dalam UU Kesehatan maupun peraturan lainnya. Salah satunya dinyatakan dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan yaitu:

“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang”

Kemudian terdapat juga dalam Pasal 76 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa:

“Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.”

Adapun terdapat peraturan pelaksana dari tindak aborsi yang diperbolehkan bagi korban perkosaan yaitu pada Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 PP Kesehatan Reproduksi. Pada Pasal 34 PP Kesehatan Reproduksi dipaparkan bahwa:

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Berdasarkan dengan pasal ini, maka dapat disimpulkan bahwa bagi korban perkosaan dapat melakukan tindakan aborsi dengan membuktikan bahwa kehamilan tersebut merupakan akibat dari tindak pidana perkosaan. Hal ini dilakukan dengan bantuan keterangan para ahli terkait hubungan kausalitas antara tindak perkosaan dan kehamilan korban. Selanjutnya diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan aborsi. Hal ini menjadi penting karena tindak aborsi merupakan suatu tindakan yang berbahaya sehingga diperlukan pelaksanaan yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.

Dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana seharusnya tidak hanya berfokus pada pemberian hukuman kepada pelaku. Pemerintah seharusnya juga memikirkan perlindungan hukum bagi korban dari tindak pidana tersebut. Pada tulisan ini, telah dibahas mengenai perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan melalui tindak aborsi. Meskipun, pada dasarnya tindak aborsi merupakan salah satu tindak pidana, namun terdapat beberapa alasan pembenar yang menyebabkan korban perkosaan dapat melakukan tindakan aborsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, tentunya sangat diharapkan terdapat bentuk pemulihan lain yang dapat diberikan kepada korban. Hal ini juga membawa suatu pembahasan terkait upaya memperkuat efektifitas hukum terhadap tindak perkosaan terjadi di masyarakat. Seperti yang dilakukan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915).
  • Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).
  • Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559).

Referensi:

[1] Mila Novita, Kenali Beragam Bentuk Kekerasan Seksual, Beda Dengan Pelecehan, https://cantik.tempo.co/read/1340595/kenali-beragam-bentuk-kekerasan-seksual-beda-dengan-pelecehan/full&view=ok, (diakses pada 11 Oktober 2021).

[2] Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

[3] Komnas Perempuan Indonesia, CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci (5 Maret 2021), https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021 (diakses pada 10 Oktober 2021).

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Moh. Saifullah, Aborsi dan Resikonya Bagi Perempuan (Dalam Pandangan Hukum Islam), Jurnal Sosial Humaniora, Volume 4-Nomor 1, Juni 2011, halaman 18.

[7]   Astutik, Aborsi Akibat Perkosaan Dalam Perspektif Hukum Kesehatan (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2020), halaman 191.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...