Penadahan dalam Hukum Pidana

Penulis: Brian Dave

Di tengah perkembangan zaman yang semakin meluas, muncul berbagai wadah untuk masyarakat melakukan transaksi jual beli. Keberagaman metode jual beli baik secara luring maupun daring tentu memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, banyaknya wadah transaksi jual beli yang muncul dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kemudahan tersebut dijadikan kesempatan untuk mengedarkan barang-barang ilegal. Salah satu tindak pidananya adalah penadahan. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHP), penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP, yang berbunyi: [1]

“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:

1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;

2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan”

Secara spesifik, tulisan ini akan membahas mengenai Pasal 480 ayat (1) KUHP. Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP adalah tindakan membeli, menyewa, menukar, menerima sebagai gadai, dan menerima sebagai hadiah sesuatu benda yang berasal dari kejahatan atau untuk menerima keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang berasal dari kejahatan. Hal ini berarti rumusan tersebut mengandung beberapa unsur, yang terdiri dari:[2]

  1. Unsur Obyektif
  2. membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah;
  3. untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan;
  4. suatu benda, yang diperoleh dari kejahatan; dan
  5. penadahan
  6. Unsur Subyektif
  7. yang diketahui; dan
  8. yang sepatutnya harus diduga.

Berdasarkan uraian unsur-unsur tersebut, dapat dikatakan bahwa Pasal 480 ayat (1) KUHP mengatur dua jenis kejahatan. Kejahatan pertama adalah membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, dan menerima hadiah sesuatu benda yang diperoleH dari kejahatan. Sedangkan, kejahatan yang kedua adalah karena ingin mendapatkan keuntungan, telah menjual, menyewakan, menukarkan, memberikan sebagai gadai, mengangkut, menyimpan, dan menyembunyikan suatu benda yang diperoleh dari kejahatan.[3]

Hal menarik lainnya adalah Pasal 480 ayat (1) KUHP memiliki dua unsur subyektif, yaitu kesengajaan dan ketidaksengajaan. Artinya, baik secara sengaja, maupun tidak sengaja, seseorang dapat dituntut melakukan tindakan pidana apabila melanggar Pasal 480 ayat (1) KUHP. Adapun unsur kesengajaan tergambarkan dalam kata “yang diketahui”. Sedangkan unsur ketidaksengajaan terlihat pada kata “yang sepatutnya harus diduga”.[4]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP. Berdasarkan rumusannya, terlihat bahwa pasal tersebut  mengatur dua jenis kejahatan, yaitu kejahatan karena membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, atau menerima hadiah sesuatu benda yang diperoleh dari kejahatan dan kejahatan karena ingin mendapat keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, memberikan sebagai gadai, mengangkut, menyimpan dan menyembunyikan suatu benda yang diperoleh dari kejahatan. Selain itu, Pasal 480 ayat (1) KUHP juga memiliki dua unsur subyektif yang berarti baik secara sengaja maupun tidak sengaja, seseorang tetap dapat dituntut apabila melanggar rumusan pasal yang ada. 

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber Pustaka:

[2] P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. (Bandung: Nuansa Aulia), halaman 328-329.

[3] Ibid., halaman 329

[4] Ibid., halaman 330.

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem...

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Penulis: Tiara Nabila Dalam kehidupan sehari-hari tanda tangan bukanlah merupakan suatu hal yang asing. Setiap orang pernah menandatangani dokumen dalam bentuk apa pun. Tanda tangan dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen yang memerlukan persetujuan, dokumen resmi dari...