Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”
Narasumber : Tarsicius Batistuta – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo mencanangkan perang terhadap narkoba. [1] Pernyataan ini disampaikan pada saat peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) yang jatuh pada setiap tanggal 26 Juni sejak tahun 1988. Dalam pernyataan tersebut, Presiden menegaskan agar semua pihak bekerja serius dalam memerangi narkoba. Perlu adanya tindakan tegas bagi pihak yang terlibat dalam “barang haram” tersebut. Menurut Presiden, narkoba memiliki daya rusak yang sangat serius. Di samping merusak fisik pengguna, juga berpotensi untuk terciptanya adiksi atau ketergantungan. Adapun narkoba sendiri berarti narkotika, psikotropika, dan obat-obatan terlarang.
Bila melihat pada fakta yang terjadi di lapangan, keterlibatan terhadap penggunaan narkoba tidak memandang umur, gender, hingga status sosial. Baik dari anak-anak hingga lansia, pengangguran, artis, dan politisi rasanya sudah pernah menjadi penyalahguna maupun korban terhadap narkoba. Selain itu, masalah yang menyangkut narkoba sampai saat ini sulit diberantas karena adanya sindikat internasional yang memerlukan proses cukup panjang agar masalah ini dapat diatasi. Tidak jarang masyarakat yang minim pengetahuan akan narkoba diperdaya agar membeli dan menggunakan narkoba. Maka dari itu, kasus penyalahgunaan, pecandu, maupun korban sulit diberantas.
Pengaturan narkoba di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Ada begitu banyak macam narkotika yang beredar dalam masyarakat sehingga dalam UU Narkotika mengatur penggolongan narkotika. Penggolongan ini bertujuan untuk mengetahui jenis narkotika yang dapat digunakan untuk kepentingan medis maupun tidak, dan dijelaskan juga tingkat adiksinya.
Berdasarkan pemahaman yang muncul di masyarakat, narkotika selalu dikaitkan dengan hal-hal yang terlarang, haram, dan pantang untuk digunakan. Tidak jarang pula apabila ada orang yang menggunakan benda ini, maka akan dianggap orang yang berdosa, kriminal, dan penyakit di masyarakat. Sederhananya, akan terdapat cap atau stigma bagi orang yang menggunakan narkoba.
Akan tetapi, bila ditelusuri lebih dalam, apakah tindakan yang disebutkan di atas selalu benar? Apakah narkotika tidak ada manfaatnya? Tentu kita pernah mendengar yang namanya ganja. Bagi orang yang terjun dalam dunia hukum juga pernah mendengar kasus yang terjadi pada tahun 2017 silam mengenai pemidanaan kepada seseorang karena memanfaatkan ganja bagi kesehatan isterinya yang kala itu sakit. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan sedikit pemahaman mengenai manfaat ganja bagi kehidupan kita, khusus di bidang medis.
Pada umumnya, narkotika dibagi menjadi tiga golongan. [2] Jika melihat pada bagian lampiran UU Narkotika menyatakan bahwa ganja dikategorikan sebagai narkotika golongan I. Adapun yang dimaksud dengan narkotika golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Apakah ketentuan hukum ini selalu benar?
Sebelumnya disebutkan bahwa ada kasus penyalahgunaan narkotika yang terjadi pada tahun 2017 silam. Seorang suami bernama Fidelis Arie Sudewarto (Fidelis) harus merasakan jerat hukum dikarenakan menanam ganja dan mengekstraknya. Hal ini dilakukan demi sang istri yang kala itu didiagnosa menderita penyakit syringomyelia sejak tahun 2016. Alhasil, kondisi sang isteri sempat membaik mulai dari nafsu makan bertambah hingga dapat tidur pulas. Berdasarkan informasi yang beredar, hanya Fidelis yang mampu menangani penyakit sang isteri dikarenakan Fidelis memperoleh kemampuan tersebut setelah membaca berbagai literatur yang relevan. Akan tetapi, kondisi tersebut hanya dirasakan sementara sampai dengan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau menangkap Fidelis pada tanggal 19 Februari 2017 dan ekstrak ganja yang merupakan barang bukti dimusnahkan. Tidak hanya berhenti di situ, kabar duka menimpa Fidelis karena setelah ditahan oleh aparat, selain kondisi sang isteri kembali menderita, juga harus meninggalkan Fidelis untuk selama-lamanya. Isteri Fidelis, Yeni Riawati, meninggal pada tanggal 25 Maret 2017. [3] Proses hukum yang terus berjalan tiba pada saat di pengadilan. Fidelis didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu melanggar Pasal 113 ayat (2) UU Narkotika atau melanggar Pasal 111 ayat (2) UU Narkotika atau melanggar Pasal 116 ayat (1) UU Narkotika. Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga telah menuntut Fidelis dengan hukuman 5 (lima) bulan penjara dan denda Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) subsider satu bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 111 ayat (2) UU Narkotika.
Berdasarkan kasus yang nyata terjadi di Indonesia, sudah sepatutnya dipertanyakan mengenai eksistensi ganja yang menurut ketentuan dalam UU Narkotika tidak ada alasan pemanfaatannya untuk kepentingan medis. Bila berkaca pada kasus Fidelis, perlu diketehaui bahwa perbuatan memberikan ekstrak ganja bukan langkah satu-satunya dalam rangka menangani penyakit sang isteri. Sebelumnya Fidelis pernah membawa sang isteri ke rumah sakit yang terletak di Kota Pontianak akan tetapi tidak ada kemajuan yang signifikan sehingga sang isteri akhirnya dirawat di rumah. Hal ini menjadi bukti bahwa Fidelis bukan orang yang bisa disebutkan kriminal atau bertindak jahat. Sekalipun perbuatan Fidelis memenuhi rumusan dalam delik yang diatur dalam UU Narkotika, akan tetapi perlu dipahami pula perbuatan yang dilakukannya juga pada saat keadaan darurat. Ketentuan hukum juga mengenal bahwa perbuatan yang dilakukan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. [4]
Tulisan ini hanya berhenti pada sebatas kata-kata saja apabila tidak ada langkah signifikan yang dilakukan kedepan. Diperlukan penelitian yang komprehensif untuk mencari manfaat ganja dalam rangka kepentingan medis. Sebetulnya kasus Fidelis bukan satu-satunya. Belakangan ditemukan kasus yang serupa dan sebagaimana diketahui akhirnya pun demikian. Apakah pemerintah tega kondisi ini terus terjadi? Fakta tidak adanya penelitian tentang Narkotika Golongan I untuk kepentingan ilmu pengetahuan setidaknya bisa dikonfirmasi dari berbagai situs resmi pemerintah yang tidak memuat penelitian tentang Narkotika Golongan I khususnya tanaman ganja atau keterangan dari Menteri Kesehatan menyatakan hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan terkait manfaat ganja untuk pengobatan. [5] Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk membuka wawasan bahwa ganja dapat dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Adapun upaya dalam menghindari efek samping atau dampak lain dari ganja itu sendiri diperlukan penelitian untuk mengetahui informasi yang berguna untuk masyarakat. Maka dari itu selanjutnya yang perlu ditekankan adalah seberapa besar niat dan terbukanya baik masyarakat maupun pemerintah untuk melihat bahwa ganja yang selama ini dianggap tabu atau buruk selama ini bisa menjadi bermanfaat.
Referensi dan Dasar Hukum:
[1] Tim Republika, Perang Terhadap Narkoba, https://republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/06/27/nqlkje-perang-terhadap-narkoba.
[2] Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
[3] Tim Kompas, Akhir Perjuangan Fidelis Merawat Sang Isteri dengan Ganja, https://regional.kompas.com/read/2017/04/04/16352471/akhir.perjuangan.fidelis.merawat.sang.istri.dengan.ganja.bagian.2.?page=3.
[4] Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[5] Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Kasus Fidelis: ICJR Sampaikan Pendapat Hukum Kepada PN Sanggau, https://icjr.or.id/kasus-fidelis-icjr-sampaikan-pendapat-hukum-kepada-pn-sanggau/.
Tersedia di:
Spotify