Home / Uncategorized / Pelapor Belum Vaksin, Laporan Boleh Ditolak oleh Polisi?

Pelapor Belum Vaksin, Laporan Boleh Ditolak oleh Polisi?

Narasumber: Staf Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pada tanggal 8 Oktober 2021 di Kota Banda Aceh, terdapat suatu peristiwa yang mengguncangkan masyarakat. Seorang mahasiswi yang mengaku menjadi korban pemerkosaan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari pihak kepolisian. Pada mulanya, mahasiswi yang menjadi korban pemerkosaan tersebut hendak melaporkan ke pihak kepolisian. Namun, sangat disayangkan, pihak kepolisian menolak laporan tersebut. Permasalahan utama timbul karena Polisi menolak laporan tersebut bukan karena bukti yang kurang, melainkan dikarenakan mahasiswi tersebut belum melakukan vaksinasi. Selanjutnya yang menjadi masalah, mahasiswi itu telah membawa surat keterangan dari dokter bahwa kondisi tubuh mahasiswi tersebut memang tidak memungkinkan untuk dilakukan vaksinasi.[1] Hal ini kemudian menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, bukankah seharusnya Polisi melindungi hak korban?

Sebelum membahas lebih lanjut, tentunya perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari Polisi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara (selanjutnya disebut UU Kepolisian Negara), tidak ditemukan secara spesifik aturan yang menjelaskan pengertian Polisi. Akan tetapi, merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU Kepolisian Negara, diartikan bahwa kepolisian adalah segala hal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam angka 2 pasal yang sama dalam aturan ini, anggota kepolisian disebutkan sebagai pegawai negeri pada kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka dari itu, secara logika, Polisi dapat diartikan sebagai pegawai negeri yang memiliki fungsi kepolisian. 

Adapun berdasarkan Pasal 2 UU Kepolisian Negara, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mempertahankan fungsi kepolisian tersebut, lembaga ini memiliki tugas pokok. Berdasarkan Pasal 13 UU Kepolisian Negara, adapun tugas pokok yang dimaksud adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 

b. menegakkan hukum; dan 

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 

Selain itu, untuk menyelenggarakan tugas pokok yang dimaksud, kepolisian memiliki beberapa kewenangan. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian Negara, yang berbunyi:

“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: 

  1. menerima laporan dan/atau pengaduan; 
  2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; 
  3. mencegah dan menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat; 
  4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; 
  5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; 
  6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; 
  7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; 
  8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 
  9. mencari keterangan dan barang bukti; 
  10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; 
  11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; 
  12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; 
  13. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.”

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat dipahami bahwa Polisi memiliki tugas dan hak untuk menerima kasus atau laporan dari masyarakat. Akan tetapi, sebelum membahas tugas dan hak tersebut, maka perlu untuk lebih dulu memahami mengenai laporan terlebih dahulu. Definisi laporan dapat ditemukan di dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang mengatur bahwa:

“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”  

Hal yang sama diatur di dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019) yang mengatur bahwa:

“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.” 

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan tersebut, dapat dipahami bahwa sebenarnya kedua peraturan tersebut mendefinisikan laporan secara sama. Laporan merupakan sebuah pemberitahuan mengenai suatu peristiwa pidana yang diduga atau sedang atau telah terjadi kepada pejabat yang berwenang. Mengenai pejabat yang berwenang di dalam hal ini tentunya adalah Polisi dikarenakan menerima laporan merupakan bagian dari tugas seorang Polisi sebagai seorang penyelidik.[2] 

Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, Polisi memiliki tugas untuk menerima laporan atau kasus dari masyarakat. Akan tetapi, Polisi perlu menyaring kasus atau laporan dari masyarakat. Penyaringan ini juga tentunya mengenai penilaian layak atau tidaknya suatu perkara dibuatkan laporan Polisi. Hal ini sesuai dengan pengaturan yang ada di dalam Pasal 3 ayat (3) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 yang mengatur bahwa:

“Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk: 

  1. menjamin kelancaran dan kecepatan pembuatan laporan Polisi; 
  2. melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan Polisi; dan 
  3. memberikan pelayanan yang optimal bagi warga masyarakat yang melaporkan atau mengadu kepada Polri.”

Apabila melihat pada isi Pasal 3 ayat (3) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tersebut, tepatnya pada butir b, maka dipahami bahwa Penyidik ataupun Penyidik Pembantu yang juga merupakan Polisi bertugas untuk melakukan kajian awal untuk menilai kelayakan suatu laporan untuk dibuatkan laporan Polisi. Akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut, pengujian kelayakan ini dilakukan bukan untuk menolak laporan yang diberikan oleh masyarakat kepada Polisi mengenai suatu peristiwa pidana yang diduga, sedang, atau telah terjadi. Peraturan ini memberikan pengujian kelayakan untuk pembuatan laporan Polisi. Artinya, Polisi wajib menerima seluruh kasus yang masuk dan penilaian hanya untuk pembuatan laporan Polisi. Oleh karena itu, tampak bahwa peraturan ini pada dasarnya bukan memberikan hak kepada Polisi untuk menolak laporan dengan alasan tidak layak.  

Melalui pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, tampak bahwa Polisi memiliki hak untuk melakukan kajian awal guna menilai layak atau tidaknya laporan yang diberikan masyarakat kepadanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Polisi tidak memiliki hak untuk melakukan penolakan terhadap laporan masyarakat, melainkan hanya menguji layak atau tidaknya laporan yang diterima. Sementara itu, berdasarkan kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, Polisi menolak laporan dengan alasan bahwa masyarakat yang memberikan laporan ternyata belum vaksin. Hal ini menjadi perlu dipertanyakan mengingat tidak adanya relevansi antara masyarakat belum vaksin dengan kewenangan Polisi untuk menolak laporan dari masyarakat. Dengan kata lain, Polisi sama sekali tidak berhak untuk menolak laporan dari masyarakat apalagi dengan alasan bahwa masyarakat yang memberikan laporan ternyata belum vaksin. 

Memang betul ada beberapa pembatasan hak kepada masyarakat jika mereka menolak vaksin. Hal ini diatur dalam Pasal 13A ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Ketentuan ini memberikan sanksi administratif kepada mereka yang menolak vaksin berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan/atau denda. Akan tetapi, yang menjadi fokus utama di sini bahwa sanksi ini diperuntukan bagi mereka yang nyata menolak untuk divaksin. Maka dari itu, alasan Polisi menolak laporan tetap merupakan kesalahan.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209).
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
  • Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Referensi:

[1] CNN Indonesia, Polisi Aceh Tolak Korban Dugaan Perkosaan karena Belum Vaksin, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211019132409-12-709650/Polisi-aceh-tolak-korban-dugaan-perkosaan-karena-belum-vaksin (diakses pada tanggal 27 Februari 2022).
[2] Pasal 4 dan 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Tersedia di: