Narasumber: Dyan Franciska Dumaris Sitanggang, S.H., M.H.
Notulen: Sisilia Maria Fransiska
Hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan hak mendasar yang dimiliki setiap manusia, artinya HAM yang dimiliki setiap orang harus dilindungi tanpa melihat dari kewarganegaraan, etnis, kelompok agama tertentu, dan lain sebagainya. Dasar dari HAM pada umumnya terletak pada tanggung jawab negara. Hal ini didasarkan pada adanya relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat. Artinya bersamaan dengan hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah atas masyarakat tidak hanya berhenti sampai di hak dan kekuasaan saja, tetapi ada kewajiban serta tanggung jawab yang juga dimiliki oleh negara untuk melindungi masyarakatnya termasuk setiap orang yang ada dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan.
HAM memiliki sifat yang universal, artinya berlaku bagi setiap orang. Dengan adanya universalitas dari HAM, akibatnya ada standar-standar internasional yang mengatur tentang HAM. Dalam hukum HAM internasional, tanggung jawab negara untuk melindungi masyarakatnya termasuk setiap orang di dalam yurisdiksinya secara umum terbagi menjadi 3 (tiga) jenis kewajiban, yaitu:
1.) Duty to respect
Duty to respect berarti kewajiban untuk menghormati. Negara diharapkan untuk tidak melakukan tindakan yang mengganggu atau menghambat penikmatan HAM setiap orang.
2.) Duty to protect
Duty to protect berarti negara wajib memberi perlindungan dari pelanggaran HAM. Hal ini berarti negara wajib untuk menindak, baik aparat negara maupun pihak lain apabila ditemukan pelanggaran HAM.
3.) Duty to fulfill
Duty to fulfill berarti negara harus mengambil langkah-langkah positif untuk memfasilitasi penikmatan HAM.
Ketiga kewajiban tersebut tidak berdiri masing-masing, tetapi saling terkait satu sama lain. Hal ini dimaksudkan agar negara bukan hanya tidak melakukan pelanggaran HAM, tapi negara juga diharapkan dapat menindak pelaku pelanggaran HAM serta menyediakan pranata, baik legislatif, administratif maupun infrastruktur yang akan menunjang terpenuhinya HAM.
Tanggung jawab negara dalam melindungi masyarakatnya termasuk setiap orang dalam yurisdiksinya, bukan berarti hanya negara saja yang memiliki tanggung jawab menghormati HAM. Yang dimaksud sebagai tanggung jawab negara di sini adalah tanggung jawab pemenuhan dan penindakan. Hal ini didasari karena hanya pemerintah yang memiliki kewenangan. Sebagai contoh, hanya lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif yang dapat membuat Undang-Undang atau hanya polisi yang dapat menangkap pelaku pelanggaran HAM. Di sisi lain, masyarakat pada umumnya juga memiliki kewajiban untuk menghormati HAM setiap orang dengan menyadari bahwa setiap orang adalah manusia yang memiliki HAM dan harus dihormati.
Berbicara mengenai HAM, terdapat prinsip dasar yang terkandung di dalamnya, yaitu prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan. Pada dasarnya, pelanggaran HAM terjadi karena adanya diskriminasi. Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, dan pembatasan yang dikenakan kepada seseorang atau kepada kelompok tertentu. Tindakan diskriminasi ini berdampak pada seseorang atau kelompok tertentu sehingga mereka menjadi tidak bisa menikmati hak asasi yang dimiliki secara setara dan penuh. Dalam instrumen HAM internasional, dasar-dasar diskriminasi yang umumnya digunakan adalah diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat, baik pendapat politik maupun pendapat lain, asal usul, etnis, kepemilikan, kelahiran dan status lainnya. Dalam berbagai instrumen internasional HAM, penyebutan status lainnya menyebabkan tidak menutup kemungkinan bahwa diskriminasi hanya dilakukan atas dasar diskriminasi yang umumnya digunakan. Adanya penyebutan status lainnya memiliki sifat terbuka sehingga dapat juga didefinisikan sebagai diskriminasi yang dilakukan berdasarkan usia, orientasi seksual misalnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), kewarganegaraan, disabilitas, dan lain-lain. Dengan adanya tindakan yang dilakukan atas dasar-dasar yang telah disebutkan di atas, mengakibatkan setiap orang atau kelompok tidak bisa menikmati HAM secara penuh. Meskipun, ada pula pelanggaran HAM yang terjadi bukan karena diskriminasi, tetapi akibat negara lalai untuk memenuhi HAM atau menindak ketika terjadi pelanggaran HAM. Salah satu permasalahan pelanggaran HAM tersebut terjadi di Myanmar.
Laporan dari berbagai lembaga, salah satunya adalah laporan dari United Nations High Commissioner for Human Rights, yaitu lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) yang membidangi urusan HAM menjelaskan bahwa Myanmar adalah salah satu negara dengan keragaman etnis yang cukup tinggi di Asia. Berdasarkan hukum domestik Myanmar disebutkan ada 135 (seratus tiga puluh lima) kelompok etnis, yang terbagi menjadi 8 (delapan) kelompok etnis besar, yaitu etnis Bamar, Chin, Kachin, Kayah, Kayin, Mon, Rohingya, dan Shan. Di lihat dari sisi agama yang terdapat di Myanmar, 90% (sembilan puluh persen) penduduk Myanmar beragama Budha, 4% (empat persen) beragama Islam, 4% (empat persen) beragama Kristen, dan di bawah 2% (dua persen) beragama Hindu. Sebagian besar penduduk beragama Islam di Myanmar berasal dari etnis Rohingya. Akan tetapi, etnis Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis nasional oleh Myanmar. Jika dilihat pada peta, etnis Rohingya terletak di suatu daerah di Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh.
Tidak diakuinya etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar sebagai warga negara Myanmar disebabkan karena latar belakang sejarah. Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai pendatang ilegal yang baru datang ke Myanmar setelah Myanmar merdeka. Akan tetapi, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebenarnya etnis Rohingya sudah lama ada di Myanmar, tepatnya pada saat Myanmar masih dalam kolonisasi Inggris. Etnis Rohingya masuk karena sebelum kemerdekaan Myanmar itu. Etnis Rohingya sebenarnya sudah sempat diakui sebagai kelompok etnis pribumi di Myanmar. Akan tetapi, sejak tahun 1962, yaitu ketika munculnya pemerintahan militer di Myanmar dan dipicu dengan adanya ketentuan hukum domestik Myanmar tentang kewarganegaraan atau biasa disebut dengan citizenship law atau citizenship act tahun 1982, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Sejak saat itu etnis Rohingya menjadi stateless atau tidak punya kewarganegaraan.
Berbagai bentuk diskriminasi juga dilakukan oleh Myanmar terhadap etnis Rohingya. Myanmar menganggap etnis Rohingya tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan Myanmar. Etnis Rohingya merupakan imigran ilegal, tidak ada keterkaitan budaya maupun agama karena memang sebagian besar mayoritas dari warga Myanmar adalah pemeluk Budha. Selain itu, pemerintah Myanmar juga melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya terkait kewarganegaraan. Pada tahun 2014, Myanmar sempat melakukan sensus penduduk yang pertama dalam 30 (tiga puluh) tahun. Akan tetapi, etnis Rohingya tidak dihitung dalam sensus penduduk. Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar menyebabkan mereka tidak bisa menikmati hak-hak asasi pada umumnya, yaitu hak atas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Selain diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Rohingya, Myanmar juga melakukan diskriminasi terhadap beberapa etnis minoritas yang lain, umumnya bagi mereka yang merupakan etnis dari agama minoritas. Bahkan 8 (delapan) etnis yang diakui dalam hukum domestik Myanmar juga mengalami diskriminasi. Sebagai contoh, kelompok etnis Kaman juga mengalami diskriminasi karena dari segi agama, etnis Kaman adalah agama minoritas, yaitu Islam. Dalam citizenship act yang dibuat, Myanmar membagi jenis-jenis kewarganegaraan dan secara implisit terdapat pengkhususan terhadap etnis mayoritas, yaitu etnis Bamar yang sebagian besar pemeluk agama Budha.
Berangkat dari sentimen terhadap etnis Rohingya yang dianggap sebagai pendatang ilegal ini, yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif sejak tahun 1970-an. Tindakan diskriminatif tersebut semakin meningkat dengan ketentuan domestik, yaitu citizenship act tahun 1982. Sentimen ini mengakibatkan pemerintah militer Myanmar melakukan tindakan-tindakan untuk mengusir etnis Rohingya dari Myanmar. Berbagai pelanggaran HAM dilakukan secara sistematis, mulai dari banyak sekali dilakukan penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan terhadap perempuan yang ada di wilayah tempat etnis-etnis minoritas, pembunuhan, kerja paksa, penyitaan tanah, pengusiran dari satu tempat kemudian dipindahkan ke tempat yang lain, tidak dapat dinikmatinya hak-hak mendasar seperti hak atas pendidikan dan kesehatan, dibatasinya hak beribadah dengan banyak tempat-tempat ibadah etnis Rohingya yang dirusak, dan banyak madrasah-madrasah juga dirusak. Tindakan dari pemerintah militer Myanmar yang dilakukan terhadap etnis Rohingya dan etnis-etnis minoritas tersebut memuncak dan berdampak besar pada tahun 2012 yang berlanjut pada jangka waktu 2016 hingga 2017. Sejak saat itu, baru terdengar di kancah internasional mengenai pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya walaupun pelanggaran HAM tersebut sudah sejak lama terjadi. Dampak dari pelanggaran HAM ini juga menyebabkan banyak etnis Rohingya yang kabur ke negara-negara tetangga, terutama ke Bangladesh karena Bangladesh adalah negara yang benar-benar berbatasan dengan Myanmar. Selain itu, ada pula etnis Rohingya yang kabur ke Indonesia. Bahkan yang paling menyedihkan pula, banyak dari etnis Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri dengan kabur ke negara lain, tapi justru kehilangan nyawanya di perjalanan, misal karena tenggelam di laut. Hal ini disebabkan karena banyak dari mereka yang mengungsi dengan menggunakan kapal.
Berkaitan dengan informasi dari pelanggaran HAM di Myanmar ini, Myanmar cenderung tertutup dalam memberikan akses kepada media terkait pencarian fakta atau informasi mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Akan tetapi, telah banyak upaya-upaya dari Non-Governmental Organization (selanjutnya disebut NGO), PBB, serta lembaga-lembaga internasional untuk melakukan pencarian data terkait pelanggaran HAM di Myanmar. Dari upaya-upaya tersebut, dihasilkan laporan-laporan dari NGO dan PBB mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar hingga dapat disebut sebagai genosida dan kejahatan kemanusiaan. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan PBB yang menyatakan bahwa tindakan dari Myanmar sudah termasuk dalam ethnic cleansing (pembersihan etnik) yang masuk dalam genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Selain permasalahan pelanggaran terhadap etnis Rohingya, pada tahun 2021 juga terjadi permasalahan demonstrasi di Myanmar. Permasalahan demonstrasi yang terjadi ini tidak memiliki keterkaitan khusus terhadap pelanggaran HAM yang terjadi terhadap etnis Rohingya. Akan tetapi, berdasarkan laporan yang ada, antara kedua kasus tersebut memiliki benang merah, yaitu ada pada represi penindasan dari kekuasaan pemerintahan militer. Di satu sisi, etnis Rohingya banyak mengalami genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Myanmar. Meskipun, bukan dilakukan oleh pemerintah militer tapi tindakan tersebut dilakukan, misalnya oleh kelompok-kelompok oleh pihak ketiga atas izin otorisasi dari pemerintah militer Myanmar. Di sisi lain, demonstrasi yang terjadi pada tahun 2021 tersebut disebabkan karena adanya kudeta yang dilakukan oleh junta militer terhadap pemerintahan sipil. Kejadian ini bermula pada tahun 2011, sebagian besar negara Myanmar dikuasai oleh pemerintahan militer. Hal tersebut yang menyebabkan dilakukan berbagai upaya untuk mencoba mereformasi pemerintahan dengan melakukan pemilihan secara demokratis. Akan tetapi pada Februari 2021, pemerintahan yang dipilih secara demokratis tersebut dikudeta oleh junta militer. Selain itu, ketika para demonstran menyampaikan hak mereka untuk berpendapat untuk menentang tindakan kudeta tersebut justru banyak yang mengalami pelanggaran HAM, misalnya dibunuh atau ditangkap oleh pemerintah militer karena dianggap menentang pemerintah. Oleh karena itu, benang merah dari kedua permasalahan tersebut adalah tekanan yang diberikan oleh pemerintah kepada etnis Rohingya dan etnis-etnis minoritas di Myanmar. Sedangkan dalam permasalahan demonstrasi, pemerintah seolah-olah menindas demokrasi dan kebebasan berpendapat dari masyarakat pada umumnya yang menanggapi kudeta oleh pemerintah militer.
Negara melalui pemerintah seharusnya melindungi semua orang yang ada dalam yurisdiksinya. Meskipun, negara tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negaranya, tetapi negara tetap tidak boleh melakukan tindakan-tindakan diskriminatif bahkan sampai pada genosida dan kejahatan kemanusiaan. Selain itu pada permasalahan demonstrasi, pemerintah juga harusnya melindungi kebebasan berpendapat dari warga negaranya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar yang seharusnya bertanggung jawab dalam pemenuhan dan penindakan atas HAM secara intensional tidak melaksanakan kewajibannya berupa duty to protect, to respect, dan to fulfill.
Kembali pada konsep HAM sebagai hak yang dimiliki semua orang, maka perlindungan HAM menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Myanmar, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat internasional. Atas permasalahan-permasalahan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Myanmar, sebenarnya masyarakat internasional telah banyak memberikan tanggapan. Contohnya saja PPB dan NGO telah membuat laporan-laporan dan berupaya melakukan investigasi meskipun sulit untuk mendapatkan informasi karena Myanmar cenderung tertutup terhadap fakta. Selain itu, pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar, baik terhadap etnis Rohingya maupun kepada demonstran juga sudah banyak dikecam oleh masyarakat internasional. Khususnya, dalam permasalahan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya telah dilakukan berbagai upaya diplomasi oleh masyarakat internasional. PBB, baik melalui Majelis Umum maupun lembaga-lembaga di bawahnya, seperti United Nations Commission on Human Rights sudah membentuk fake finding entities untuk melakukan investigasi dan mencari laporan terkait pelanggaran HAM di Myanmar. Selain itu, NGO yang bergerak di bidang HAM, seperti Amnesty International dan Human Right Watch sudah melakukan upaya-upaya untuk mencari informasi. Sementara itu, upaya melalui jalur hukum juga sudah dilakukan, misalnya melalui International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional (selanjutnya disebut ICC) sudah menyatakan bahwa yang terjadi di Myanmar bisa dikategorikan sebagai pembersihan etnis yang merupakan genosida.
Myanmar bukan merupakan negara pihak dalam Statuta Roma (Statuta ICC), artinya sebenarnya ICC tidak memiliki yurisdiksi terhadap permasalahan di Myanmar. Akan tetapi, kejadian di Myanmar ini berdampak sampai ke Bangladesh yang merupakan negara pihak dari Statuta Roma. Hal ini mengakibatkan ICC melakukan yurisdiksinya bukan melalui Myanmar, tetapi melalui Bangladesh yang merupakan negara pihak dari Statuta Roma. Sejak tahun 2019, ICC juga terus melakukan investigasi, tetapi belum ada kelanjutannya. Seandainya, investigasi yang dilakukan ICC dilanjutkan, harapannya akan ada penuntutan terhadap pemerintah militer Myanmar atas genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Pada tahun 2020, Gambia juga telah membawa permasalahan yang terjadi di Myanmar ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (selanjutnya disebut ICJ). Meskipun kejadian di Myanmar tidak secara spesifik berdampak pada Gambia, tetapi ada klaim bahwa Myanmar telah melanggar Genocide Convention, yang mana Gambia dan Myanmar adalah pihak dari konvensi tersebut. Pelanggaran atas Genocide Convention yang menjadi dasar Gambia membawa permasalahan tersebut ke ICJ. Dalam membawa permasalahan tersebut ke ICJ, Organisation of Islamic Cooperation atau Organisasi Kerja Sama Islam (atau selanjutnya disebut OKI) turut mendukung tindakan Gambia tersebut. Meskipun sampai saat ini proses di ICJ masih berjalan dan belum ada putusan dari ICJ atas permasalahan tersebut, tetapi ICJ telah mengeluarkan perintah agar Myanmar menghentikan tindakan genosida yang dilakukan terhadap etnis minoritas-minoritas Islam, khususnya etnis Rohingya. Atas perintah tersebut, Myanmar telah memberikan tanggapan dengan adanya beberapa dokumen hukum domestik yang terkait dengan perlindungan bagi etnis Rohingya.
Dalam upaya penanganan permasalahan pelanggaran HAM di Myanmar, ASEAN sebagai organisasi yang bersifat koordinatif tidak banyak melakukan tindakan terhadap genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Myanmar. Akan tetapi, ASEAN melakukan upaya dengan memberikan masukan atau nasihat agar Myanmar menghentikan tindakannya terhadap etnis Rohingya. Selain itu, Indonesia terlibat dalam menangani permasalahan tersebut. Indonesia melalui jalur diplomasi telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengharapkan agar Myanmar menanggulangi krisis kemanusiaan yang terjadi. Indonesia juga berperan dalam menanggulangi pengungsi dari etnis Rohingya yang datang ke Indonesia untuk mendapat perlindungan. Selain itu, Indonesia yang termasuk sebagai negara pihak dari OKI, yang mana organisasi ini mendukung Gambia untuk membawa klaim pelanggaran Genocide Convention ke ICJ. Dari hal-hal tersebut dapat diketahui bahwa keterlibatan Indonesia dalam menangani permasalahan pelanggaran HAM di Myanmar secara langsung jauh lebih sedikit dibandingkan peran Indonesia melalui organisasi internasional. Hal ini karena Indonesia tidak mungkin mengirimkan pasukan ke Myanmar untuk menanggulangi pelanggaran HAM yang terjadi karena tindakan tersebut justru akan melanggar yurisdiksi dari Myanmar. Meskipun, tanggung jawab memenuhi perlindungan HAM adalah tanggung jawab bersama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar telah menyalahi semua kewajiban hak asasi manusia yang seharusnya dilakukan oleh negara, yaitu duty to respect, to protect, dan to fulfill. Tindakan yang dilakukan Myanmar bukan hanya kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan saja, tetapi juga pelanggaran HAM pada umumnya, baik hak pendidikan, hak memeluk agama atau keyakinan, dan kebebasan bergerak. Padahal Myanmar juga merupakan negara pihak dari perjanjian internasional tentang HAM yang seharusnya memenuhi ketentuan tersebut dan menyesuaikan ketentuan domestiknya agar tidak mendiskriminasi etnis-etnis minoritas atau setiap orang yang masuk dalam yurisdiksi sehingga mereka tetap dapat menikmati HAM yang dimiliki. Apabila memang terdapat batasan tertentu atas hak yang dimiliki oleh seseorang, maka pembatasan tersebut tidak dilakukan secara diskriminatif. Akan tetapi, pembatasan yang dilakukan Myanmar terhadap etnis Rohingya sangat diskriminatif sehingga mereka tidak dapat menikmati hak-hak mereka sebagai manusia. Tidak hanya sekedar dicabut kewarganegaraan, tetapi etnis Rohingya juga tidak diperlakukan sebagai manusia dan hal tersebut merupakan pelanggaran HAM yang sangat berat dan perlu jadi perhatian bersama. Atas pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tersebut juga harapannya agar masyarakat internasional dapat berupaya menanggulangi permasalahan tersebut dan dapat menjadi refleksi bagi Indonesia agar jangan sampai kejadian yang serupa terjadi di Indonesia dan bila sudah terjadi, maka penting bagi Indonesia untuk menyadari cara untuk menanggulanginya.
Tersedia di: