Narasumber: Dewi Sukma Kristianti, S.H., M.H.
Pendahuluan
Wakaf merupakan salah satu praktik pengalihan kepemilikan harta kekayaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Praktik ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Praktik wakaf di Indonesia dapat dikatakan berlangsung sejak Islam sebagai agama masuk dan berkembang di Indonesia. Sebab wakaf memang merupakan salah satu bentuk pengalihan harta kekayaan yang diatur dalam hukum Islam. Pengalihan harta kekayaan dalam wakaf tidak hanya merupakan suatu kegiatan dalam lembaga keagamaan yang berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, namun wakaf juga merupakan suatu kegiatan pengalihan harta kekayaan yang berfungsi sosial.
Wakaf merupakan bentuk pengalihan harta kekayaan tidak hanya terbatas pada benda berupa tanah saja, tetapi dapat berupa benda bergerak, uang, logam mulia, saham, bahkan hak kekayaan intelektual. Namun memang masyarakat lebih banyak mengenal objek wakaf berupa tanah. Fungsi dari wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat dari harta benda yang dimiliki menjadi amalan baik (amal jariyah) sesuai dengan ketentuan dalam Islam.
Kendati praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia ini sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu, kenyataannya belum sepenuhnya berjalan dengan tertib, efektif dan efisien. Akibatnya masih banyak berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum, serta kekeliruan mempraktikan wakaf dengan bentuk pengalihan lainnya. Keadaan demikian itu, tidak hanya kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang perduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Inilah yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu sebagai salah satu upaya memperbaiki dan menambah wawasan masyarakat agar dalam melakukan praktik wakaf timbul kesadaran hukum untuk tertib terhadap ketentuan baik berdasarkan ketentuan dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf. Sehingga uraian dalam makalah ini nantinya akan menjelaskan mengenai prinsip wakaf dalam hukum Islam baik mengenai rukun dan syarat wakaf maupun kedudukan harta yang diwakafkan. Termasuk pula akan menjelaskan mengenai bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai wakaf di Indonesia. Namun dalam makalah ini hanya membatasi penjelasan mengenai wakaf tanah saja, mengingat praktik wakaf tanah ini merupakan praktik yang banyak dilakukan dan kerap menimbulkan masalah.
Pembahasan
- Rukun dan Syarat Wakaf Menurut Hukum Islam
Wakaf menurut arti bahasanya, waqafa berarti menahan atau mencegah. Wakaf adalah perkara yang disunnahkan (mustahab), makna wakaf menahan pokoknya dan memanfaatkan hasilnya. Wakaf menurut istilah syara adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak benda dan digunakan untuk kebaikan. Di dalam kepustakaan, sinonim waqf adalah habs. Kedua-duanya kata benda yang berasal dari kata kerja waqafa dan habasa, artinya menghentikan , menahan seperti yang telah dijelaskan diatas.
Wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, dari segala tindakan pribadi, seperti menjual dan memberikan wakaf atau yang lainnya, untuk tujuan pemanfaatannya atau hasilnya secara berulang-ulang bagi kepentingan umum atau khusus, sesuai dengan tujuan yang disyaratkan oleh waqif dan dalam batasan hukum syariat. Wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si waqf dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si waqf, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Menurut Imam Malik menafsirkan wakaf adalah perbuatan menahan harta didalam kekuasaan waqf dari berbagai transaksi dan mendermakan hasilnya pada sektor-sektor kebajikan. Imam Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambali berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan waqif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakaf tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran (tukar menukar) atau tidak.
Dasar hukum wakaf dalam hukum Islam terdapat atau diatur dalam Al-Qur’an. Frasa wakaf digunakan dalam QS. Al-An’am, 6:27, 30, QS. Saba, 34:31 dan QS. Al-Saffat, 37:24. Frasa wakaf diartikan dalam ketiga surah tersebut adalah menghadapkan (dihadapkan), dan berhenti atau menahan.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian atau definisi di atas, maka terlihat wakaf memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun adalah sesuatu yang menentukan adanya hukum itu dan merupakan bagian darinya. Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai rukun dan syarat yang ada dalam wakaf.
Dalam istilah fikih, rukun merupakan penyempurna sesuatu dan bagian dari sesuatu itu sendiri. Sedangkan menurut bahasa, rukun diterjemahkan dengan sisi yang terkuat atau sisi dari sesuatu yang menjadi tempat bertumpu. Menurut para ulama, rukun wakaf atau unsur wakaf ada 4 (empat), yaitu:
- Waqif (pihak yang mewakafkan hartanya);
- Mauquf‟alaih/Nazhir (pihak yang diberi wakaf / peruntukan wakaf);
- Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan); dan
- Shighat atau ikrar (pernyataan atau ikrar waqif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).
Setiap atau masing-masing rukun di atas memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Masing masing syarat harus dilakukan demi sahnya pelaksanaan wakaf. Adapun yang menjadi syarat-syarat wakaf adalah, sebagai berikut:
a. Waqif (pihak yang mewakafkan hartanya). Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabarru’(mendermakan harta benda), karena itu syarat seorang waqif adalah cakap melakukan tindakan tabarru’. Artinya sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/ dipaksa, dan telah mencapai umur baligh/dewasa. Waqif adalah benar-benar pemilik harta yang diwakafkan. Kepailitan akan menghalangi seseorang mewakafkan, karena masih ada kewajiban seseorang untuk menghilangkan kesulitan yang ada pada dirinya. Baik orang yang mau memberikan wakaf maupun menerima wakaf haruslah memiliki kecakapan hukum dan dia bisa dikatakan memiliki kecakapan hukum jika memenuhi 4 (empat) kriteria:
- Merdeka Bebas dari segala hal, baik hamba sahaya dan sejenisnya. Menurut Al Baijuri hamba sahaya tidak sah melakukan perwakafan, akan tetapi Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha/ahli fiqih sepakat, boleh mewakafkan hartanya bila ada izin dari tuannya/pemilik harta.
- Berakal sehat, menurut Asy-Syarbini, wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakkan lainnya.
- Dewasa, menurut Asy -Syarbini, wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa maka tidak sah hukumnya. Karena dipandang belum cakap melakukkan akad.
- Tidak berada dibawah pengampuan, menurut Al- Baijuri, orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah, tetapi berdasarkan metode penemuan hukum istishan, wakaf orang yang berada dibawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari wakaf adalah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk suatu yang tidak benar.
b. Mauquf Bih (barang atau harta yang diwakafkan). Para ulama sepakat bahwa harta yang diwakafkan bersifat mal mutaqawwim yaitu harta yang boleh dimanfaatkan menurut prinsip syariah. Suatu harta yang diwakafkan harus benda yang manfaatnya kekal dalam arti bahwa barang/bendanya tidak rusak ketika manfaatnya dipergunakan. Dalam perwakafan agar dianggap sah maka objek wakaf harus memenuhi beberapa syarat: Barang atau benda itu tidak rusak atau habis ketika di ambil manfaatnya, objek wakaf adalah kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan atau disewakan. Dan terakhir, objek wakaf bukan barang haram dan najis.
c. Al- Mauquf’alaih (Tujuan Wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan oleh prinsip syariah, karena wakaf merupakan amal ibadah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka wakaf harus diberikan dan bertujuan untuk kebaikan. Pemanfaatan wakaf untuk kemaksiatan dilarang, karena bertentangan dengan syariah.
d. Ikrar wakaf (shighat). Ikrar (shighat) adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyampaikan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Ikrar wakaf berarti waqif menyampaikan kehendaknya yaitu menyerahkan sebagian hartanya kepada pengelola wakaf untuk kepentingan umum. Sighat itu mempunyai syarat yaitu shighat itu tidak digantungkan. Tidak diiringi syarat tertentu, jelas dan terang. Tidak menunjukan atas waktu tertentu atau terbatas. Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali terhadap wakaf yang telah diberikan. Karena tindakan mewakafkan sesuatu dipandang sebagai hukum sepihak maka dengan pernyataan si waqif itu merupakan ijab dengan sendirinya perwakafan telah terjadi ketika itu juga pernyataan qabul dari maukuf alaih/nazhir. Pihak yang menerima tidak disyaratkan qabul. Dalam ibadah wakaf hanya ada ijab tanpa qabul. Sighat Qabul menurut kalangan malikiyah, syafiiyyah dan sebagian hanabillah termasuk rukun, jika wakaf itu untuk orang tertentu dan dia mempunyai hak, kepatutan untuk menerima, sebagaimana hibah dan wasiat.
Pengaturan wakaf dalam sumber-sumber hukum Islam pada dasarnya mengatur prinsip-prinsip wakaf secara umum, yaitu hanya mengatur substansi wakaf. Sedangkan ketentuan mengenai prosedur pelaksanaan wakaf digunakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dengan tetap sesuai pada prinsip syariah mengenai wakaf.
2. Pengaturan Wakaf Tanah Di Indonesia: Tata Cara Pelaksanaan Wakaf
Di Indonesia ketentuan-ketentuan mengenai substansi wakaf sebagaimana yang terdapat dalam fiqih wakaf telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku disamping mengatur pula ketentuan prosedural wakaf, antara lain: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (UU Wakaf), Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Jika diperhatikan maka terlihat ketentuan mengenai wakaf dibuat dalam peraturan perundang-undangan, baru dibuat dan diatur setelah Indonesia merdeka, yaitu munculnya UUPA yang didalamnya mengatur tentang wakaf tanah. Ini menunjukkan sebelum adanya UUPA maka semua praktik wakaf dilaksanakan berdasarkan keyakinan dan pemahaman masing-masing pihak mengenai wakaf. Sudah pasti praktik wakaf dilaksanakan tanpa adanya suatu pencatatan, pengawasan, dan prosedur. Kalaupun terdapat bukti tertulis adanya akad wakaf, maka pendaftaran atau pencatatan atas tanah wakaf belum benar-benar tercatat sebagai tanah wakaf. Hal inilah yang kerap menjadi masalah atau sengketa di masyarakat. Ditambah lagi tidak sedikit pula masyarakat yang masih keliru memahami wakaf dengan hibah dan wasiat. Oleh karena itulah wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien melalui peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 49 ayat (3) UUPA, menegaskan bahwa segala hal yang berkaitan dengan wakaf tanah diatur melalui Peraturan Pemerintah. Inilah yang mendasari lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik (PP 28/1977). Dalam PP 28/1977 diatur segala hal yang berkaitan tanah wakaf, khususnya yang berkaitan pengalihan tanah dengan hak milik melalui bentuk wakaf. Adapun yang di atur dalam PP 28/1977 adalah mengenai fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftarannya, perubahan objek wakaf, penyelesaian perselisihan, dan pengawasan wakaf tanah hak milik, serta sanksi.
Pengaturan wakaf dalam UU Wakaf tidak hanya mengatur mengenai wakaf tanah saja, melainkan juga wakaf uang, saham, dan lain sebagainya. Pelaksanaan dari UU Wakaf diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (PP 42/2006), yang kemudian terdapat pasal-pasal yang diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 (PP 25/2018). Dengan adanya UU Wakaf sebenarnya apa yang tercantum dalam PP 28/1977 sudah dimuat dalam UU Wakaf, sehingga dapat dikatakan sebenarnya PP 28/1977 tidak perlu lagi digunakan. Namun sebagai pembanding dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahannya.
Pengaturan wakaf tanah dapat dilihat dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 PP 28/1977 dan Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 PP 42/2006 jo. PP 25/2018. Pada Pasal 9 PP 28/1977 diatur mengenai tata cara pendaftaran tanah hak milik, bahwa:
“(1)Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat surat berikut :
- sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
- surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
- surat keterangan pendaftaran tanah;
- izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.”
Sedangkan mengenai pendaftaran tanah hak milik diatur pada Pasal 10 PP 28/1977, yaitu:
“(1)Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4)Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dan (3).
(5)Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.”
Dapat dilihat pula ketentuan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 PP 42/2006 mengenai tata cara pendaftaran objek wakaf berupa tanah hak milik, yaitu:
- Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf.
- Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan persyaratan sebagai berikut: a. sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya; b. surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat, yang diperkuat oleh camat setempat.
Pada Pasal 39 PP 42/2006:
- Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf dengan tata cara sebagai berikut : a. terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir; b. terhadap tanah hak milik yang diwakafkan hanya sebagian dari luas keseluruhan harus dilakukan pemecahan sertifikat hak milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir; c. terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah milik adat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir; d. terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c yang telah mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari Pejabat yang berwenang di bidang pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir; e. terhadap tanah negara yang diatasnya berdiri bangunan masjid, mushalla, makam, didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir; f. Pejabat yang berwenang di bidang pertanahan Kabupaten/Kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran wakaf tanah diatur dengan Peraturan Menteri setelah mendapat saran dan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan.
Berkaitan dengan objek wakaf (tidak hanya tanah), pada dasarnya tidak dapat diubah atau diganti dnegan objek wakaf lainnya, namun Pasal 11 PP 28/1977 memberikan pengecualian yang tetap mendasarkan pada ketentuan hukum Islam, yaitu:
“(1)Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.
(2)Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
(3)Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.”
Khusus mengenai pengecualian penggantian objek wakaf yang diatur pada Pasal 11 PP 28/1977 ini mengalami perubahan setelah dikeluarkannya PP 42/2006. Menurut Pasal 49 PP 42/2006, bahwa:
“(1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.
(2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
(3) Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika: a. pengganti harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan b. nilai harta benda penukar lebih tinggi atau senilai dan seimbang dengan harta benda wakaf.
(4) Nilai tukar yang seimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: a. pemerintah daerah kabupaten/kota; b. kantor pertanahan kabupaten/kota; c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.“
Ditambahkan lebih lanjut dalam Pasal 50 PP 42/2006 mengenai nilai tukar sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 49, yaitu:
“Nilai tukar terhadap harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) dihitung sebagai berikut: a. harta benda pengganti memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lebih tinggi, atau sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan b. harta benda pengganti berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan.”
Tata cara melakukan perubahan objek wakaf diatur pada Pasal 51 PP 42/2006, yaitu:
“Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut: a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut; b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; c. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (3), dan selanjutnya Bupati/Walikota setempat membuat Surat Keputusan; d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan e. setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.”
3. Problematika Pelaksanaan Wakaf Tanah Di Indonesia
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengalihan tanah hak milik melalui wakaf merupakan pelepasan hak atas tanah yang dimiliki oleh waqif dan ahli warisnya untuk tujuan ibadah, sosial keagamaan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilihat dari pengertian wakaf sebagaimana yang telah diuraikan di awal makalah. Pelepasan hak milih tanah tersebut dilakukan karena waqif ingin sebagian atau seluruh harta yang diwakafkan tersebut memiliki manfaat sosial bagi masyarakat melalui pengelolaan yang dilakukan oleh Nazhir. Sehingga pengalihan hak milik atas tanah melalui wakaf ini bukan memindahkan hak milik dari waqif ke nazhir, melainkan melepaskan hak milik waqif untuk menjadikan tanah tersebut sebagai bentuk tolong menolong terhadap masyarakat yang membutuhkan. Sehingga salah besar jika ada masyarakat yang beranggapan Nazhir adalah pemilik tanah tersebut. Nazhir bukanlah orang yang menjadi pemilik dapat pula dilihat dalam PP 28/1977, UU Wakaf dan PP 42/2006 jo. PP 25/ 2018. Intinya bahwa seorang nazhir dapat digantikan oleh nazhir lainnya apabila ia tidak dapat menjalankan amanah dalam ikrar wakaf. Bahkan pada Pasal 13 dan Pasal 14 PP 42/2006 seorang nazhir memiliki mengelola selama 5 tahun dan setelahnya dapat diangkat lagi. Selain itu seorang Nazhir wajib melaporkan pengelolaannya kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Maka jika muncul pertanyaan apakah tanah yang telah menjadi objek wakaf dapat diwariskan kepada ahli waris? Tentu saja tidak dapat dilakukan. Ketika waqif telah mengikrarkan wakaf terhadap objek maka sejak itulah ia telah melepaskan hak miliknya atas objek wakaf. Disamping itu perbuatan mengalihkan objek wakaf menjadi harta warisan bagi ahli waris waqif merupakan suatu bentuk pelanggaran wakaf yang di atur dalam UU Wakaf. Pada Pasal 40 UU Wakaf disebutkan, bahwa harta benda yang sudah diwakafkan dilarang untuk: dijadikan objek jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, dan dialihkan dalam bentuk pengalihan apapun. Terhadap pelaku yang melakukan pengalihan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 40 UU Wakaf maka berdasarkan PAsal 67 UU Wakaf pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 500.000.000,-. Pengecualian terhadap Pasal 40 hanya sebatas apa yang di atur pada Pasal 41 UU Wakaf.
Lantas bagaimana terkait Bagaimana pengecualian terkait larangan pengalihan obyek wakaf untuk kepentingan umum? Dan bagaimana jika tanah wakaf itu kosong dan terlantar sehingga dikuasai oleh negara? Maka untuk menjawab masalah ini dilihat kembali ketentuan dalam Pasal 41 UU Wakaf, Pasal 49, 50, dan 51 PP 42/2006 jo. PP 25/2018.
Penutup
Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi sengketa terkait wakaf, menurut teori Lawrence M. Friedman, bahwa suatu sistem tidak akan efektif atau tepat sasaran jika hanya sekedar menggantungkan pada aturan atau substansi hukum saja, dalam hal ini mengenai peraturan perundang-undangan wakaf, namun perlu ditunjang pula struktur atau para pelaksana wakaf dan pejabat yang terkait dan kultur yang berasal dari masyarakat. Maka dari teori tersebut agar peraturan perundang-undangan mengenai wakaf dan menunjang kinerja para pelaksana atau penegak wakaf dapat efektif perlu ada salah satunya adalah meningkatkan kegiatan sosialisasi di masyarakat agar semakin meningkat kesadaran pemahaman mengenai hukum wakaf.
Tersedia di: