Ongkos Kirim Pengembalian Barang yang Salah di E-commerce: Tanggung Jawab Penjual atau Pembeli?

Narasumber: Sisilia Maria Fransiska – Relawan LBH “Pengayoman” UNPAR

Electronic Commerce (selanjutnya disebut e-commerce) merupakan bentuk digitalisasi dalam kegiatan jual beli di masyarakat. Menurut Rinehart and Winston, e-commerce merupakan suatu media bagi pembeli untuk membeli barang dari penjual secara online.[1] E-commerce telah memberikan kemudahan dalam kegiatan jual beli dengan menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat secara virtual dengan beragam pilihan. Menurut Eko Priyo, jual beli melalui e-commerce harus melalui 5 (lima) tahapan, yaitu show (barang ditunjukkan di e-commerce dengan rincian dan harga), order (pembeli memesan barang), verifikasi data pembeli, pembayaran, dan delivery (pengiriman barang).[2] 

Salah satu permasalahan yang dapat terjadi dalam jual beli melalui e-commerce adalah penjual mengirimkan barang yang salah kepada pembeli. Dilansir dari Media Konsumen, permasalahan ini sempat dialami oleh Daniel Tatang (selanjutnya disebut DT).[3] Pada mulanya, DT memesan sepatu berukuran 41 (empat puluh satu) di salah satu e-commerce. Akan tetapi, DT menerima sepatu berukuran 44 (empat puluh empat) sehingga DT melakukan komplain kepada penjual untuk meretur sepatu tersebut.[4] Pihak penjual menyetujui keinginan DT, namun pihak penjual meminta agar DT yang membayar ongkos kirim (selanjutnya disebut ongkir) pengembalian sepatu tersebut.[5] Setelah DT mengembalikan sepatu tersebut, penjual kembali mengirimkan sepatu dengan ukuran yang salah. Hal ini mengakibatkan DT merasa dirugikan karena DT telah membayar sejumlah ongkir untuk mengembalikan sepatu yang salah, namun DT tetap tidak memperoleh sepatu sesuai dengan yang dipesannya. Akibatnya, DT memutuskan untuk melakukan refund. Namun untuk melakukan refund tersebut, DT harus mengirimkan kembali sepatu yang salah tersebut.[7]

Berdasarkan kasus tersebut dapat diketahui bahwa ketika pembeli menerima barang yang salah dari penjual, tentu pembeli ingin meminta pertanggungjawaban dari penjual, baik melalui pengembalian dana atau penggantian barang. Dalam meminta pertanggungjawaban tersebut, maka ada kemungkinan penjual meminta agar barang yang salah dikembalikan kepadanya. Hal ini menyebabkan akan ada sejumlah ongkir pengembalian barang yang harus dibayarkan. Permasalahan hukum mengenai ongkir pengembalian barang yang salah di e-commerce ini yang menimbulkan pertanyaan mengenai pihak mana yang seharusnya bertanggung jawab terhadap ongkir pengembalian barang tersebut.

 Pada saat melakukan jual beli melalui e-commerce, penjual dan pembeli terikat dalam suatu perjanjian. Makna perjanjian dijelaskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang menyatakan bahwa:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Akan tetapi, perjanjian jual beli antara penjual dan pembeli melalui e-commerce sudah merupakan perjanjian baku. Hal ini karena perjanjian dibuat hanya oleh salah satu pihak, yaitu pelaku usaha (penjual) dan digunakan secara massal oleh pelaku usaha dalam bertransaksi.[8] Dalam perjanjian baku, asas yang berlaku adalah asas kebebasan masuk. Asas ini hanya memberikan kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian dan kebebasan memilih dengan siapa perjanjian akan dibuat.[9]

Dalam Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa: 

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, setiap perjanjian jual beli yang telah disepakati akan menimbulkan kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan barang dan kewajiban bagi pembeli untuk menyerahkan harga berupa uang sesuai dengan yang diperjanjikan. Secara kontradiktif, dapat diketahui juga bahwa hak dari penjual adalah menerima sejumlah uang dan hak pembeli adalah menerima barang sesuai dengan yang diperjanjikan. 

Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK) menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; dan

b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, penjual selaku pelaku usaha wajib untuk menyerahkan barang dan/atau jasa secara benar kepada pembeli selaku konsumen sebagaimana yang telah dipesan oleh pembeli. Perbuatan tersebut juga wajib dilakukan dalam jual beli melalui e-commerce yang menerapkan sistem pesanan. Hal ini sudah sewajarnya dilakukan karena antara penjual dan pembeli terikat dalam perjanjian yang dilakukan atas dasar kesepakatan dari para pihak. 

Menurut Prof. Subekti, wanprestasi terjadi apabila pihak yang berutang (debitur) tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati.[10] Selain itu, Prof. Subekti berpendapat bahwa wanprestasi juga dapat diartikan sebagai alpa, lalai, atau ingkar janji.[11] Perbuatan yang menimbulkan wanprestasi dapat dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu:[12]

  1. Tidak memenuhi prestasi dari perjanjian yang telah disepakati;
  2. Memenuhi prestasi dari perjanjian, namun tidak sebagaimana mestinya atau keliru;
  3. Memenuhi prestasi dari perjanjian, namun terlambat; dan
  4. Melakukan hal yang dilarang di dalam perjanjian.

Dari empat bentuk perbuatan tersebut, penulis berpendapat bahwa bentuk perbuatan memenuhi prestasi dari perjanjian, namun tidak sebagaimana mestinya atau keliru yang menjadi bentuk wanprestasi permasalahan ini karena penjual sebenarnya telah mengirimkan barang yang dipesan pembeli melalui e-commerce, namun barang yang dikirimkan salah. Sebagai contoh ketika A membeli baju merah ukuran XL di sebuah Toko ABC melalui e-commerce, ternyata barang yang datang justru baju biru ukuran M. Dari contoh tersebut, Toko ABC telah keliru dalam mengirimkan pesanan yang dipesan A sehingga Toko ABC dinilai telah melakukan wanprestasi.

Apabila salah satu pihak telah wanprestasi, maka terdapat beberapa akibat hukum yang harus ditanggung. Salah satu akibat hukum itu diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: 

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, atau ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya, rugi, bunga.”

Menurut Prof. Subekti, akibat hukum yang dapat dimintakan oleh kreditur berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata, yaitu:[13]

  1. pemenuhan perjanjian
  2. pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
  3. ganti rugi saja
  4. pembatalan perjanjian
  5. pembatalan disertai ganti rugi 

Ketika pembeli menerima barang yang salah dari penjual, maka pembeli dapat menuntut akibat hukum sebagaimana telah disebutkan di atas. Menurut hemat penulis, apabila pembeli menuntut akibat hukum karena barang yang diterimanya salah, maka ada kemungkinan penjual meminta agar barang yang salah dikembalikan kepadanya, meskipun ada juga penjual yang tidak meminta hal demikian. Dalam hal pengembalian barang yang salah tersebut, maka akan ada sejumlah ongkir yang harus dibayarkan. 

Dalam menentukan pihak mana yang harus membayar ongkir pengembalian barang yang salah, beberapa penjual di e-commerce telah menetapkan bahwa penjual yang akan menanggung ongkirnya. Sebagai contoh salah satu penjual di Shopee, yaitu Marelow Official Shop mencantumkan ketentuan pada poin ke 5 (lima) setiap deskripsi produknya bahwa biaya pengembalian dan penukaran karena kesalahan dari pihak penjual akan ditanggung oleh pihak penjual. Selain itu, ada juga e-commerce yang telah menentukan bahwa pembeli yang akan menanggung ongkir pengembalian barang. Sebagai contoh pada fitur Informasi: Tanya Jawab Bukalapak dapat ditemukan mengenai cara mengajukan komplain barang (retur), di mana salah satu tahapan yang harus ditempuh pembeli adalah menyetujui pernyataan yang  berbunyi “pembeli setuju untuk menanggung ongkir jika harus mengembalikan barang”.[14] Sedangkan, jika ketentuan-ketentuan tersebut tidak ada, maka antara penjual dan pembeli dapat dilakukan negosiasi untuk menentukan siapa yang harus menanggung ongkir pengembalian barang tersebut. Akan tetapi, seringkali penjual langsung mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pembeli, seperti pada kasus DT yang telah dipaparkan sebelumnya.

Dalam UUPK secara tegas telah mengatur mengenai hak pembeli dan kewajiban penjual ketika barang yang dikirimkan salah. Menurut Pasal 4 huruf h UUPK menyatakan bahwa salah satu hak konsumen adalah memperoleh kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sebagai jawaban atas Pasal 4 huruf h UUPK dapat merujuk pada Pasal 7 huruf g UUPK yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Menurut hemat penulis, jika pesanan pembeli dikirimkan itu benar, maka tidak perlu ada ongkir pengembalian barang yang harus ditanggung oleh salah satu pihak. Akan tetapi, karena penjual mengirimkan barang yang salah kepada pembeli, maka timbul sejumlah ongkir yang harus ditanggung. Hal ini yang menyebabkan ongkir pengembalian barang yang salah seharusnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerugian pembeli akibat penjual telah lalai dalam mengirimkan barang yang dipesan oleh pembeli.

Dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut PP PMSE) menyatakan bahwa:

“Penukaran barang dan/atau jasa, atau pembatalan pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:

a. terdapat kesalahan dan/atau ketidaksesuaian antara barang dan/atau jasa yang dikirim.”

Lebih lanjut, dalam Pasal 69 ayat (3) PP PMSE menyatakan bahwa:

“Konsumen yang melakukan penukaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud ayat (2) hanya dapat dibebankan biaya pengiriman kembali barang dan/atau jasa kepada pedagang dalam negeri dan/atau pedagang luar negeri atau PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa ongkir pengembalian barang yang salah melalui e-commerce tidak serta-merta menjadi tanggung jawab dari penjual, tetapi dapat menjadi tanggung jawab pembeli. Menurut hemat penulis, hal ini dapat menimbulkan perdebatan karena secara nyata diketahui bahwa pembeli menerima barang yang salah, artinya penjual yang telah melakukan wanprestasi.  Oleh karena itu, tidak sepatutnya meminta pembeli untuk menanggung ongkir pengembalian barang yang salah padahal diketahui bahwa pihak penjual yang melakukan kekeliruan dalam mengirimkan pesanan pembeli.

Apabila melihat fitur bantuan dari beberapa e-commerce, seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia sebenarnya telah memberikan solusi atas permasalahan mengenai pihak yang akan menanggung ongkir pengembalian barang yang dipesan melalui e-commerce. Beberapa e-commerce ini telah memiliki kebijakan bahwa pihak e-commerce yang akan menanggung ongkir pengembalian barang, tetapi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi, seperti dengan menggunakan jasa pengiriman tertentu, adanya batasan ukuran barang, lokasi penjual, telah mengasuransikan barang yang dibeli, dan syarat-syarat lainnya. Sebagai contoh e-commerce Shopee, untuk pesanan non-shopee mall lokal/dalam negeri, Shopee akan menanggung ongkir pengembalian barang jika pengembalian barang dilakukan dengan menggunakan jasa kirim J&T Express dengan batasan dimensi panjang 50 centimeter x lebar 50 centimeter x tinggi 50 centimeter atau batasan berat 50 kilogram.[15]

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketika penjual dan pembeli melakukan perjanjian jual beli melalui e-commerce, masing-masing pihak harus saling menyerahkan uang dan barang sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Apabila ternyata penjual salah mengirimkan barang yang dipesan oleh pembeli, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi dari penjual. Secara hukum, baik penjual maupun pembeli dapat menjadi pihak yang menanggung ongkir pengembalian barang. Hal ini karena perjanjian jual beli melalui e-commerce telah menerapkan perjanjian baku sehingga penjual yang akan menentukan secara sepihak isi dari perjanjian. Hal ini menyebabkan penting bagi pembeli untuk membaca syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh penjual maupun e-commerce dengan teliti karena jika tidak, maka pembeli yang harus menanggung risiko untuk menanggung ongkir pengembalian barang.  Meskipun, jika kembali melihat fakta yang ada, maka dapat diketahui bahwa penjual yang telah lalai dalam mengirimkan barang yang dipesan oleh pembeli, sehingga seharusnya segala kerugian yang timbul karena barang yang salah tersebut menjadi tanggung jawab penjual. Akan tetapi untuk mengatasi permasalahan tersebut, beberapa e-commerce telah memberikan layanan penanggung ongkir akibat pengembalian barang. Layanan tersebut sebaiknya dimanfaatkan oleh penjual dan pembeli. Hal ini karena selain pengembalian barang tetap dapat berlangsung, layanan penanggungan ongkir akibat pengembalian barang tersebut juga dapat membantu penjual menghindari kerugian. 

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 222 Tahun 2019, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6420).

Referensi:

[1] Henny Destiana, Pengaruh E-commerce Terhadap Penjualan dan Pembelian Barang Secara Online pada Toko Notebook Jakarta, Paradigma, Volume XII-Nomor 2, September 2010, halaman 165. 

[2] Ibid, halaman 166.

[3] Daniel Tatang, Cerita Pengalaman Belanja Online, Berkali-Kali Dikirim Ukuran Tidak Sesuai Pesanan, https://mediakonsumen.com/2021/05/12/surat-pembaca/cerita-pengalaman-belanja-online-berkali-kali-dikirim-ukuran-tidak-sesuai-pesanan (diakses pada 3 Agustus 2022).

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo, Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi, (Jakarta: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Januari 2021), halaman 27.

[9] Ibid, halaman 72.

[10] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), halaman 45.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid, halaman 53.

[14] Tanya Jawab Bukalapak, Cara Mengajukan Komplain (Retur). 

[15] Pusat Bantuan Shopee, Pengembalian Pengiriman: Apakah Ongkos Kirim Untuk Pengembalian Produk Saya Ditanggung Oleh Shopee?

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...