
Tema:
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan
Oleh:
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan
Subjek Hukum yang dikenal di Indonesia terdiri dari manusia dan badan usaha. Badan Usaha muncul akibat kebutuhan manusia yang berkembang pesat, baik dari segi ekonomi maupun sosial, sehingga manusia perlu mengadakan kerja sama dengan pihak lain untuk menjalankan kegiatan usaha demi memenuhi kebutuhannya. Badan usaha juga sama seperti manusia yang berhak mengadakan hubungan hukum.
Dalam praktiknya, terdapat badan usaha berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Badan Usaha yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi pemisahan harta kekayaan dan pertanggungjawaban. Dalam hal Badan Usaha berbadan hukum, terdapat pemisahan harta kekayaan antara harta kekayaan perusahaan dengan harta kekayaan pribadi yang menyebabkan tanggung jawab pemilik modal terbatas pada modal yang diberikan kepada Badan Usaha tersebut. Hal ini berbeda dengan tanggung jawab Badan Usaha tidak berbadan hukum yang tidak terdapat pemisahan harta kekayaan pemilik dan harta kekayaan perusahaan menyebabkan pemilik modalnya dapat dimintakan pertanggungjawaban hingga harta kekayaan pribadi. Oleh karena itu, Badan Usaha sebagai badan hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri. Sementara Badan Usaha tidak berbadan hukum pertanggungjawabannya dapat dibebankan pada pemilik Badan Usaha tersebut. Salah bentuk Badan Usaha adalah Korporasi. Terkait Korporasi sendiri dapat diartikan sebagai suatu badan usaha baik yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum, sehingga Korporasi dapat dianggap sebagai subjek hukum.
Lingkup usaha Korporasi bermacam-macam, salah satunya yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Korporasi dalam menjalankan kegiatannya berkaitan erat dengan kondisi lingkungan hidup. Orientasi utama Korporasi yang berupa keuntungan (ekonomi) kerap membuat Korporasi lalai menjalankan kewajibannya untuk menjaga lingkungan. Apabila Korporasi hanya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan tanpa pertimbangan ekologis, maka kerusakan lingkungan hidup secara masif dapat terjadi pada setiap sumber daya alam yang dimiliki dalam suatu wilayah.
Adapun pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana Korporasi di bidang lingkungan salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, manakala Korporasi melakukan perusakan lingkungan hidup, pertanggungjawaban Korporasi dapat dimintakan dalam lingkup hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Dalam lingkup hukum administrasi, Korporasi yang terbukti melakukan perusakan lingkungan akan diterapkan sanksi administratif sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Korporasi. Sementara dalam lingkup hukum perdata, Pelaku Usaha yang menimbulkan kerugian diwajibkan membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu. Di sisi lain, pertanggungjawaban dalam lingkup hukum pidana oleh Korporasi dapat dikenakan sanksi denda dan pidana penjara dan sanksinya memiliki khas tersendiri.
Pada lingkup pidana, penerapan sanksi terhadap Korporasi yang melakukan perusakan lingkungan pada dasarnya diberlakukan secara Ultimum Remedium. Hal ini berarti sanksi pidana diharapkan diberlakukan terakhir apabila sanksi yang lain dianggap tidak efektif. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi (Perma Penanganan Tindak Pidana Korporasi), Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi. Berdasarkan Pasal 116 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jika tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama Badan Usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada Badan Usaha dan/atau Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Berdasarkan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagai suatu entitas Badan Usaha (apabila Korporasi tersebut adalah badan usaha yang berbadan hukum) dan kepada pengurus Korporasi tersebut yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin kegiatan yang memunculkan perusakan lingkungan hidup.
Ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan dalam paragraf sebelumnya menunjukkan bahwa tindak pidana lingkungan memiliki sistem pengaturan yang berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP masih menganut asas societas delinquere non potest yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana sehingga belum mengakomodir kedudukan Korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini berbeda dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengakui Korporasi sebagai subjek hukum tersebut dapat diminta pertanggungjawaban. Perbedaan lain yang terlihat adalah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui adanya kumulasi pidana pokok. Hal ini terlihat dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 119 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengakumulasikan pidana penjara dan pidana denda terhadap satu tindak pidana. Kumulasi pidana pokok seperti ini tidak dikenal dalam KUHP.