Notulensi Siaran Radio, Kamis, 28 November 2019 (PR FM) “Posisi Korban dalam Peradilan Pidana”

Tema:

Posisi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Oleh:

Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H.

dan

Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan

Hukum pidana dapat diartikan sebagai hukum pidana objektif (ius poenale) dan hukum pidana subjektif (ius puniendi). Hukum pidana objektif adalah semua aturan hukum yang menentukan jenis tindakan yang seharusnya dijatuhkan pidana dan macam pidana yang sesuai, contoh konkret seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur unsur-unsur kejahatan beserta sanksi deliknya seperti pembunuhan. Sementara hukum pidana subjektif adalah hak negara dan hak alat-alat negara yang memiliki wewenang untuk menegakkan hukum pidana objektif.

Hukum pidana Indonesia memiliki bagiannya sendiri dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia saat ini terdiri dari hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan masyarakat, sementara sistem hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan individu antar individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hukum pidana sendiri termasuk di dalam sistem hukum publik yang dapat dilihat dari ciri sistem peradilannya yaitu ketika posisi korban diambil alih oleh jaksa dikarenakan masalah yang terjadi adalah antara negara dan pelaku kejahatan.

Sistem peradilan pidana Indonesia menganut prinsip Integrated Criminal System Justice. Prinsip ini menganalogikan sistem peradilan pidana seperti rangkaian kereta api yang terdiri dari beberapa gerbong. Gerbong-gerbong ini harus sampai tujuan secara bersamaan, dan jika satu gerbong lepas akan merusak jalannya kereta tersebut. Begitu juga dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, di gerbong pertama adalah proses penyelidikan dan penyidikan, di gerbong kedua adalah proses penuntutan, dan di gerbong terakhir adalah putusan hakim. Sistem peradilan pidana di Indonesia juga sangat berpusat dengan pelaku, sehingga korban hanya berperan sebagai saksi korban yang juga sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran materiil.

Proses penuntutan dalam sistem peradilan pidana Indonesia mengalihkan posisi korban kepada jaksa. Hal ini terjadi karena di dalam hukum publik, alat negara yakni jaksa berperan untuk mewakili korban untuk menyelesaikan masalah sampai akhir. Masalah mulai terjadi karena dalam praktiknya, jaksa memiliki peraturan internal yang menyatakan bahwa jika hakim minimal menyetujui 2/3 (dua per tiga) dari tuntutan jaksa, maka jaksa tidak boleh mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi. Hal ini terkadang tidak sesuai dengan keinginan korban. Beberapa korban pasti menginginkan pelaku untuk dihukum seberat-beratnya, tapi ketentuan internal jaksa menyebabkan jaksa tidak dapat mengajukan upaya hukum lagi. Namun ada juga beberapa korban lainnya yang tidak merasa puas apabila pelaku dihukum dengan seberat-beratnya karena jauh dari itu, korban menginginkan ganti rugi imateriil yang dideritanya akibat perbuatan pelaku.

Tidak terlepas dari sistem peradilan pidana Indonesia, hukum acara pidana yang dimiliki Indonesia memiliki bagian yang kurang jelas yang dapat mengakibatkan posisi korban dan posisi pelaku sama-sama digantungkan. Contohnya, saat ini dimungkinkan seorang pelaku telah habis masa penahanannya tetapi proses hukum masih tetap berjalan dan status pelaku tetap sebagai terdakwa. Hal ini tentu menggantungkan posisi pelaku dan korban.

Berdasarkan pemaparan di atas, ada baiknya sistem peradilan pidana Indonesia lebih berfokus kepada para korban (victim oriented) sehingga negara tidak hanya memikirkan hak-hak pelaku melainkan juga memikirkan hak-hak korban. Korban mungkin tidak hanya menginginkan pemberian sanksi seberat-beratnya pada pelaku melainkan ada hal-hal lain yang lebih dibutuhkannya. Sehingga seharusnya dimungkinan adanya mediasi antara korban dan pelaku. Adapun mediasi ini mempertemukan korban dan pelaku untuk membicarakan hal yang paling dibutuhkan oleh korban akibat tindakan pelaku.

mage result for pr fm

Baca Juga

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui...

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Penulis: Raymond Candela Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) merupakan suatu hukum positif yang mengatur ketentuan terkait rukun dan syarat perkawinan Islam di Indonesia....