
Tema:
“Dilema Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu RUU KPK)”
Oleh:
Dr. W.M. Herry Susilowati, S.H., M.Hum.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan
Pada tanggal 17 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam Rapat Paripurna DPR. Presiden menugaskan 2 (dua) menteri berdasarkan surat Presiden terhadap pengesahan tersebut, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Meskipun telah disahkan oleh Pemerintah dan DPR, Presiden tidak menandatangani Revisi UU KPK yang dimaksud sehingga Revisi UU KPK belum memiliki kekuatan hukum mengikat hingga 17 Oktober 2019.
Presiden tidak menandatangani Revisi UU KPK karena beberapa alasan. Salah satu alasannya agar masyarakat tidak menganggap bahwa Presiden merupakan pihak yang pro terhadap koruptor. Hal ini disebabkan oleh adanya indikasi bahwa Revisi UU KPK yang dimaksud terdapat cacat formil dan cacat materiil sehingga menuai kontroversi di berbagai kalangan. Indikasi cacat formil terletak pada proses pembentukan Revisi UU KPK yang dinilai tidak partisipatif dan tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2019 (Prolegnas 2019). Sementara cacat materiil dalam Revisi UU KPK antara lain mengenai ketentuan yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti keberadaan Dewan Pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3).
Berbagai indikasi di atas menyebabkan masyarakat menuntut agar Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap Revisi UU KPK, sebab Presiden berwenang menetapkan Perppu apabila ada kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Adapun kriteria untuk mengeluarkan Perppu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah sebagai berikut:
- Apabila adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; dan
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Penerbitan Perppu akan menimbulkan norma hukum atau hubungan hukum baru untuk menyelesaikan permasalahan. Akan tetapi, penerbitan Perppu akan lebih tepat apabila isinya hanya menunda berlakunya Revisi UU KPK, bukan membatalkan Revisi UU KPK tersebut. Penyebabnya adalah karena inisiator dalam Revisi UU KPK adalah DPR sehingga tidak pantas apabila Presiden melakukan executive review. Akan tetapi mengingat masa menjabat anggota DPR periode 2014-2019 telah selesai, maka legislative review dinilai tidak relevan apabila dilakukan oleh anggota DPR periode 2014-2019. Oleh karena itu, penerbitan Perppu untuk menunda Revisi UU KPK adalah langkah yang baik agar anggota DPR periode 2019-2024 melakukan legislative review dengan ide dan gagasan baru berbeda dengan anggota DPR periode 2014-2019. Berbicara mengenai executive review dan legislative review, dikenal pula judicial review yang diajukan kepada MK, tetapi harus terdapat hak konstitusional warga negara yang dilanggar terlebih dahulu. Hal ini dinilai riskan, sebab apabila tidak terdapat hak konstitusional yang dilanggar, maka Revisi UU KPK tersebut adalah sah.
Berbagai penjelasan di atas dimaksudkan agar Presiden menerbitkan Perppu yang norma hukumnya menunda pemberlakuan Revisi UU KPK. Menerbitkan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden yang sesuai dengan UUD 1945. Oleh karena itu, Presiden dalam menerbitkan Perppu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku sehingga tidak tepat apabila ada indikasi dilakukan impeachment atau permakzulan terhadap Presiden. Dengan demikian, diharapkan bahwa berbagai penjelasan di atas dapat mengatasi dilema dari Presiden untuk menerbitkan Perppu.