Rabu, 8 November 2017
Tema:
“Penerapan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Berdasarkan Hukum Acara Pidana Indonesia”
Oleh:
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan adanya pembagian hukum Indonesia ke dalam dua jenis, yaitu hukum pidana dan hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang besifat privat di mana berfungsi untuk melindungi kepentingan antar individu sementara hukum pidana memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan umum. Pada umumnya, masyarakat yang memiliki masalah hukum dapat memilih berbagai macam cara untuk menyelesaikannya seperti melalui hukum acara perdata, hukum acara pidana dan lain sebagainya. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, terdapat suatu perkembangan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yaitu dengan menggabungkan perkara pidana dan perdata melalui gugatan ganti kerugian dalam hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 dan Pasal 274 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Perlu diketahui bahwa penggabungan perkara gugatan ganti kerugian lahir karena sanksi pidana dianggap kurang adil. Ketidakadilan terlihat dari sisi korban, karena dalam ketentuan hukum pidana tidak dikenal adanya ganti kerugian. Dalam hukum pidana, pelaku hanya dikenakan sanksi pidana, sehingga korban tidak mendapatkan ganti kerugian dari segala akibat yang dilakukan oleh pelaku yang merugikan korban.
Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian diatur dalam Bab XII KUHAP di mana ganti kerugian yang dilakukan melalui penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Adapun pemberian ganti kerugian diberikan kepada korban. Korban yang dimaksud dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang dapat mengajukan ganti rugi hanya korban tindak pidana langsung atau terbatas pada kerugian materiil saja, misalnya kasus pencurian, korban kehilangan motor dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hanya dapat dilakukan apabila terdapat permintaan dari korban. Ganti kerugian dalam perkara tindak pidana hanya dapat terjadi apabila seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Akibat dari adanya permintaan ganti rugi oleh korban adalah memungkin terjadinya penggabungan antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata dalam satu pemeriksaan perkara (Pasal 101 KUHAP).
Adapun pengajuan penggabungan gugatan perkara gugatan ganti kerugian tidak tergantung dari kewenangan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Kemudian mengenai prosedur dalam pengajuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian akan diperiksa sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Hal yang perlu diperhatikan khususnya bagi korban yang mengajukan gugatan ganti kerugian harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan. Ketentuan yang ditetapkan dalam mengajukan gugatan ganti kerugian yaitu selambat-lambatnya sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntunan pidana dan dalam pemeriksaan acara cepat serta pemeriksaan perkara lalu lintas jalan. Apabila dalam pemeriksaan acara cepat serta pemeriksaan perkara lalu lintas jalan jaksa penuntut umum tidak hadir maka diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian juga terdapat suatu putusan yang bersifat accesoir sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (3) KUHAP. Sifat accesoir merupakan putusan ganti kerugian yang dengan sendirinya akan memperoleh kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dibagi menjadi putusan bebas, putusan lepas, dan putusan pemidanaan (Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
Dengan demikian, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian sebagai suatu cara untuk memberikan perlindungan kepada korban dengan memberikan sanksi pidana penjara dan memberikan ganti kerugian yang disebabkan oleh pelaku. Hal lain berkenaan dengan adanya penggabungan perkara gugatan ganti kerugian membantu menyelesaikan perkara semakin efektif dan efesien. Penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud juga sejalan dengan asas dalam hukum acara pidana yaitu asas cepat, asas sederhana, asas biaya ringan, dan asas lain sebagainya.