Notulensi Siaran Radio 30 Mei 2018 “Kewenangan Negara dalam Melakukan Pengurangan dan Pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM)”

Rabu, 30 Mei 2018

Tema:

“Kewenangan Negara dalam Melakukan Pengurangan dan Pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM)

Oleh:

Galuh Candra Purnamasari, S.H., M.H.

dan

Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman

Universitas Katolik Parahyangan

Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia mengalami pasang dan surut yang secara jelas dapat terlihat melalui tabel periodesasi sejarah Indonesia, mulai tahun 1908 hingga sekarang. Pada dasarnya, konsep HAM bukanlah semata-mata sebagai konsep tentang hak-hak asasi individual, melainkan juga kewajiban-kewajiban asasi yang menyertainya. Hal ini berkaitan dengan sikap bangsa Indonesia yang lebih berpegang pada gotong royong bukan pada individualisme. Hal tersebut menjadi salah satu alasan pada awalnya Indonesia menolak HAM hingga sampai pada akhirnya menerima konsep HAM dan dimuat dalam UUD RI Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), dan meratifikasi beberapa konvensi internasional mengenai HAM seperti International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR).

Pada dasarnya, tidak ada regulasi yang memberikan definisi mengenai pengurangan HAM (derogable rights) dan pembatasan HAM (limited rights), baik dalam ICCPR maupun UUD RI Tahun 1945. Oleh karena itu, derogable rights  dan limited rights hanya diartikan dalam terjemahannya saja yaitu hak yang dapat dikurangi dan hak yang dapat dibatasi. Hak yang dapat dibatasi ini juga dapat diartikan sebagai hak yang dapat dicabut dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun, terdapat beberapa regulasi dan konvensi yang mengatur hak-hak yang dapat diklasifikasikan sebagai derogable rights dan non derogable rights, antara lain seperti UUD RI Tahun 1945, UU HAM serta ICCPR.

Di Indonesia sendiri, hak yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut. Hal senada juga disebutkan dalam Pasal 4 UU HAM yang memuat mengenai hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwa tidak ada satu pun HAM di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan dilakukan dalam rangka menghormati hak dan kebebasan orang lain.

Ada dua alasan diijinkannya pembatasan (limitation) terhadap pelaksanaan HAM. Pertama, pengakuan bahwa mayoritas HAM tidaklah absolut (absolute right) atau tanpa syarat (unconditionale right). Mayoritas HAM merefleksikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat atau negara. Kedua, untuk mengatasi konflik antar hak. Sebagai contoh konflik antara kebebasan berekspresi dengan penghormatan atas hak atas privacy atau juga kebebasan beragama. Sedangkan alasan negara dalam melakukan pengurangan terhadap HAM adalah adanya ancaman terhadap kehidupan bangsa atau keadaan darurat (public emergency) adalah alasan utama diijinkannya pengurangan terhadap pelaksanaan HAM di mana berarti negara melepaskan kewajiban hukumnya untuk melindungi hak asasi. Hak-hak yang boleh dibatasi pemenuhannya dalam keadaan darurat yaitu hak yang dapat dibatasi (derogable rights). Praktiknya pembatasan HAM ketika diberlakukan keadaan darurat di berbagai wilayah Indonesia justru menyentuh hak-hak yang sifatnya non derogable rights sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, harta benda di kalangan warga negara yang mutlak harus dilindungi. Oleh karena itu, negara tidak boleh menyalahgunakan kewenangan untuk melakukan pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia yang dimilikinya untuk pengabaian HAM yang menjadi tanggung jawabnya.

 

20180530_205608

Baca Juga

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui...

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Penulis: Raymond Candela Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) merupakan suatu hukum positif yang mengatur ketentuan terkait rukun dan syarat perkawinan Islam di Indonesia....