Notulensi Siaran Radio “Podjok Hukum”
Rabu, 30 Maret 2016
Tema:
“Menilik Perkawinan Sesama Jenis LGBT dari Perspektif Hukum dan HAM di Indonesia”
Oleh:
Mangaranap Sirait, S.H., M.H.
dan
LBH “Pengayoman” UNPAR
Berkembangnya peradaban juga turut mengembangkan rasionalitas umat manusia atas kehidupannya. Rasionalitas tersebut kemudian menyebabkan nilai-nilai dan fenomena kehidupan berkembang dan makin beragam. Salah satunya atas gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) dengan perjuangan perkawinan sesama jenis serta pengesahan atas kedudukan hukum bagi para kaum tersebut.
Indonesia sendiri dalam kaitannya dengan masalah hukum bagi kaum LGBT dan perkawinan sesama jenis dihadapkan oleh pembedaan antara “moral” dan “realitas” dari fenomena tersebut. Hal ini perlu mendapatkan atensi dari perangkat-perangkat hukum, dikarenakan hukum merupakan landasan bagi kaum LGBT dan perkawinan sesama jenis untuk mendapatkan kedudukan yang sah bagi kaum tersebut.
Berbicara mengenai hukum, khususnya dalam regulasi perkawinan sesama jenis tidak terlepas dari perbandingan dengan hukum negara lain, seperti Amerika dan sebagian Uni Eropa yang melegalkan perkawinan sesama jenis. Untuk itu kita perlu mengetahui landasan hukum dari negara kita, yaitu Pancasila yang kemudian dikonkretisasi menjadi Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar negara yang menganut paham kodrat irrasional, yang berarti berdasarkan Ketuhanan. Apabila dikaitkan dengan kaum LGBT dan perkawinan sesama jenis, yang merupakan hasil rasionalisasi manusia maka jelas bertentangan satu sama lain. Berbeda dengan paham dan dasar hukum negara lain yang memang tidak berdasarkan kodrat irrasional, maka pengakuan atas perkawinan sesama jenis dapat dilakukan.
Upaya pengakuan perkawinan sesama jenis di Indonesia, pada akhirnya akan terbentur dengan dasar negara dan peraturan-peraturan lainnya. Dikaitkan dengan hukum positif Indonesia yang meliputi Peraturan Perundang-undangan, Hukum Adat dan hukum agama seringkali bertentangan. Jelas upaya pengakuan atas perkawinan sesama jenis akan mengubah dasar hukum dan konstitusi dari Indonesia.
Pemaknaan dari terminologi “perkawinan” di Indonesia harus dimaknai sebagai perkawinan heteroseksual, bukan perkawinan homoseksual, sebab baik asas-asas dan hukum mengenai perkawinan di Indonesia selalu mensyaratkan pasangan heteroseksual agar dapat diakui keabsahannya.
Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kaum LGBT dan perkawinan sesama jenis merupakan realitas yang tidak dapat dikesampingkan. Kaum LGBT berhak atas pengakuan yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Namun upaya-upaya untuk melegalkan atau mengabsahkan perkawinan sesama jenis di Indonesia dari perspektif hukum adalah hal yang tidak dapat dilakukan di Indonesia pada saat ini.