Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum”
Rabu, 27 September 2017
Tema:
“Pengutamaan Perlindungan Nasabah dalam
Era Perkembangan Jasa Pembayaran”
Oleh:
Rismawati, S.H., M.H.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Dewasa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia merubah gaya hidupnya yang semula bersifat tradisional ke modern. Salah satu contoh perubahan adalah dalam bertransaksi jual beli. Masyarakat Indonesia yang semula bertransaksi menggunakan uang kertas dan uang logam sekarang mulai menggunakan uang elektronik seperti kartu debit, kartu kredit, e-money, dan lain sebagainya.
Uang elektronik memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan uang kertas dan uang logam. Keunggulan uang elektronik terlihat dari penggunaannya yang lebih praktis, mendapatkan pengurangan pembayaran dalam membeli suatu barang ataupun membayar (jika terdapat promo tertentu), dan perlindungannya cenderung lebih aman dibanding uang kertas maupun uang logam. Namun terlepas dari keunggulan-keunggulannya, terdapat kelemahan dari uang elektronik seperti fenomena double swipe yang merugikan dan pengenaan biaya top up e-money yang hendak diberlakukan oleh Pemerintah beberapa waktu yang lalu.
Double swipe adalah suatu kejadian dimana saat melakukan transaksi, merchant atau kasir menggesekkan kartu debit atau kredit bukan hanya pada mesin electronic data capture (edc) melainkan juga menggesekan kartu pada mesin komputer. Dengan menggesekkan kartu konsumen ke komputer kasir saat pembayaran, maka data konsumen dapat dilihat di komputer kasir. Tercatatnya data konsumen pada komputer kasir ini dikhawatirkan akan membawa kerugian jika informasi terkait konsumen diakses oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pada umumnya, praktik double swipe dapat menimbulkan kemungkinan adanya pencurian dan penyalagunaan data nasabah. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Bank Indonesia, berdasarkan Pasal 34 huruf b PBI 18/40/PBI/2016 telah melarang penyelenggara jasa sistem pembayaran yang menyalahgunakan data dan informasi nasabah selain untuk tujuan transaksi pemrosesan pembayaran. Pihak yang berhak dan dapat melakukan pemrosesan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APM) hanyalah acquirer sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 14 PBI 18/40/PBI/2016.
Selain dari double swipe, terdapat isu top up e-money yang mengharuskan pengguna e-money membayar biaya ekstra jika ingin mengisi ulang e-money yang mereka miliki. Pengaturan terkait top up e-money diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway). Dapat disimpulkan dari ketentuan diatas bahwa pengenaan biaya top up hanya berlaku pada transaksi diatas Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah). Nilai top up dari pengguna e-money rata-rata tidak lebih dari Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah) sehingga hal ini tidak akan memberatkan masyarakat.
Perlindungan terkait kedua fenomena diatas diatur sedemikian rupa dalam berbagai peraturan perundang-undangan agar konsumen tidak dirugikan. Hak-hak konsumen dalam melakukan transaksi haruslah terlindungi dari berbagai tindak kejahatan seperti pencurian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturaran Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Ekonomi. Dari beberapa fenomena yang terjadi dan telah dibahas diatas, Pemerintah dipandang perlu menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran yang berdasarkan keamanan dan kelancaran dalam rangka melindungi masyarakat dalam bertransaksi ekonomi.