Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum”
Rabu, 26 Oktober 2016
Tema:
“Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia”
Oleh:
Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Pidana Mati merupakan suatu persoalan yang klasik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Pembahasan mengenai pidana mati masih menimbulkan pro dan kontra hingga sekarang. Beberapa hal yang seringkali menjadi perdebatan di masyarakat maupun antara para ahli hukum adalah apabila pidana mati ini dihadapkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), tujuan pemidanaan, dan efek jera (deterrence effect).
Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman pidana mati pada sistem hukum pidananya. Jumlah vonis pidana mati di Indonesia cukup tinggi setelah Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya peraturan perundang-undangan Indonesia yang di dalamnya masih mencantumkan pasal ancaman hukuman mati. Pencantuman Sanksi tersebut tentunya tidak sejalan dengan upaya ratifikasi instrumen HAM internasional, seperti Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, hingga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) hasil Amandemen yang menegaskan jaminan atas hak hidup.
Kondisi Indonesia saat ini sangat bertolak belakang dengan kecenderungan dinamika di tingkat Internasional yang mulai menghapus praktek hukuman mati. Sebagai informasi, dari 140 negara di dunia yang menjadi anggota PBB, terdapat 98 negara yang telah menghapus hukuman mati secara keseluruhan, 7 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan umum, dan 35 negara lainnya melakukan moratorium (penghentian untuk sementara) terhadap eksekusi mati. Sementara itu, 58 negara di dunia termasuk Indonesia, yang masih memberlakukannya.
Pihak-pihak yang pro berpendapat bahwa pidana mati merupakan bentuk sanksi pidana yang paling memiliki efek restributif (retributive effect) yang dapat memuaskan rasa keadilan korban kejahatan dan keluarganya. Kebanyakan dari masyarakat beranggapan bahwa pidana mati ini masih diperlukan untuk beberapa tindak pidana luar biasa, seperti terorisme. Pidana mati dianggap memiliki dampak preventif (deterrence effect) bagi anggota-anggota masyarakat yang lain karena setiap manusia pada umumnya ingin menghindari hal-hal yang dapat menghilangkan nyawanya, termasuk pidana mati. Pidana mati juga dianggap sebagai jawaban dari permasalahan overcapacity (melebihi kapasitas yang seharusnya) di Lembaga Pemasyarakatan.
Pihak-pihak kontra berpendapat bahwa tujuan pemidaan bukanlah untuk membalas dendam atau memuaskan hati korban dan keluarga korban, tujuan pemidanaan adalah untuk membina pelaku kejahatan hingga ia kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Tujuan pemidanaan tersebut dapat dicapai dengan penjatuhan pidana penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara. Pemikiran bahwa pidana mati merupakan jawaban dari permasalahan overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu pemikiran yang pragmatis dan harus dihindari apabila sedang membicarakan mengenai aturan hukum. Selain itu, argumen pihak kontra yang penting dilihat dari perspektif Kriminologi adalah bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan untuk suatu perbuatan haruslah cocok dengan perbuatan tersebut, tidak boleh terlalu berlebihan atau terlalu ringan, misalnya: pidana mati belum tentu cocok untuk perbuatan seperti terorisme dimana pelakunya kemungkinan besar sudah siap mati.
Jenis sanksi pidana yang dijatuhkan tidak semerta-merta menjadi solusi dari marak terjadinya suatu tindak pidana tertentu. Khususnya di Indonesia, permasalahan yang tidak kalah penting adalah terkait penegakkan hukum. Sanksi pidana yang ringan namun penegakkannya sangat pasti dapat lebih menjerakan daripada sanksi pidana yang berat namun penegakkannya lemah. Selain itu, sistem penegakkan hukum yang belum terlalu baik juga menyebabkan besarnya resiko terjadi salah tangkap, salah dakwa, bahkan salah pidana. Dengan adanya kemungkinan tersebut, maka membuat pemberian pidana mati lebih berbahaya.
Penerapan sanksi pidana di luar sanksi pidana mati juga dapat menjadi solusi dari beberapa tindak pidana. Misalnya saja dalam kasus tindak pidana korupsi, pelakunya kemungkinan besar akan lebih takut dengan pidana ‘dimiskinkan’ dibandingkan dengan pidana mati atau pidana penjara. Sanksi seperti rehabilitasi dan deradikalisasi bagi pelaku tindak pidana terorisme juga sudah banyak dilakukan di banyak negara.