Selasa, 25 September 2018
Tema:
“Aspek Hukum Pembiayaan Pembelian Kendaraan Bermotor Melalui Skema Leasing serta Dampak dari Penggunaannya”
Oleh:
Theodora Pritadianing Saputri, S.H., LL.M.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Masyarakat sering kali mendengar kata leasing, namun pada kenyataan masih banyak masyarakat yang belum memahami pengertian dari leasing. Leasing atau biasa disebut dengan sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.[1]
Dalam leasing terdapat 3 (tiga) pihak yaitu lessor, lessee, dan supplier. Lessor merupakan perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan serta dapat melakukan kegiatan sewa guna usaha. Sedangkan, lessee merupakan perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari lessor. Namun, ada juga supplier yang menyediakan barang modal menjadi objek leasing, dimana barang modal tersebut dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee.
Perlu diketahui bahwa perjanjian leasing muncul akibat perkembangan perjanjian sewa-menyewa yang terjadi di kalangan para pengusaha, pihak lessor menyewakan suatu barang modal kepada lessee untuk suatu jangka waktu tertentu. Perjanjian leasing merupakan perjanjian tidak bernama, karena perjanjian tersebut tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Hukum Perjanjian dalam KUHPerdata menganut sistem terbuka yang artinya para pihak dapat mengadakan perjanjian selain yang terdapat di dalam KUHPerdata asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sewa beli tidaklah sama dengan leasing. Sewa beli memiliki arti suatu perjanjian campuran di mana terkandung unsur perjanjian jual beli dan perjanjian sewa-menyewa. Adanya lembaga sewa beli untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha yang membutuhkan barang modal tetapi tidak memiliki modal untuk membayar harga barang modal tersebut secara menyeluruh. Dalam perjanjian sewa-menyewa terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat yaitu pemilik barang modal sebagai pihak yang menyewabelikan dengan menyerahkan objek sewa beli, sedangkan pelaku usaha sebagai pihak penyewa beli yang menerima penyerahan objek sewa beli dan berkewajiban membayar lunas objek sewa beli tersebut.
Salah satu perbedaan antara leasing dan sewa beli adalah mengenai hak kepemilikan barang. Pada sewa beli, pihak yang menyewabelikan umumnya merupakan pemilik barang yang disewa beli. Sementara dalam leasing, lessor adalah pihak menyediakan pembiayaan bukan pemilik barang. Perlu diketahui juga bahwa leasing kendaraan bermotor tidak tepat untuk dikategorikan sebagai sewa beli. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian sewa beli, pihak yang menyewabelikan pada umumnya adalah pemilik objek sewa beli. Sedangkan perusahaan leasing pada skema leasing kendaraan bermotor biasanya bukan pemilik kendaraan bermotor. Pada umumnya, kendaraan bermotor merupakan objek leasing yang disediakan oleh pihak ketiga (dealer). Kepemilikan atas kendaraan motor yang menjadi objek leasing telah beralih kepada pengguna leasing di awal kesepakatan, namun Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang diterbitkan atas nama pengguna leasing akan diserahkan ketika pengguna leasing telah melunasi objek leasing tersebut. Dengan demikian, tidak ada perbuatan hukum sewa-menyewa antara perusahaan leasing dengan pembeli kendaraan bermotor dalam transaksi leasing kendaraan bermotor karena angsuran yang dibayar oleh pembeli bukanlah biaya sewa tapi angsuran kredit. Oleh karena itu, dalam pembiayaan pembelian kendaraan bermotor melalui skema leasing melibatkan pihak ketiga (supplier) dan hal inilah yang membedakan dengan perjanjian sewa beli.
[1] Lihat ketentuan Pasal 1 huruf (a) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)