Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum”
Rabu, 14 September 2016
Tema:
“Hukum Waris dalam Perspektif
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia”
Oleh:
Stella Delarosa, S.H., S.E., M.Kn., M.Sc.
dan
Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman”
Universitas Katolik Parahyangan
Dalam kehidupan manusia, akan selalu terjadi peristiwa-peristiwa penting yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Salah satunya berupa pewarisan yang muncul sebagai akibat dari adanya kematian. Apabila seseorang memiliki harta ketika masih hidup, maka kematian orang tersebut akan menimbulkan suatu permasalahan hukum baru, yaitu masalah status harta benda yang ditinggalkannya atau yang disebut dengan harta warisan. Hal-hal yang seringkali menjadi pembahasan menarik dari pewarisan antara lain mengenai siapa yang berhak memperoleh harta warisan, bagaimana pembagian harta warisan, dan juga mengenai wasiat. Hukum yang mengatur mengenai pewarisan yang sering disebut dengan Hukum Waris.
Di Indonesia terdapat aneka Hukum Waris yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia, yaitu Hukum Waris Barat, Hukum Waris Islam, serta Hukum Waris Adat. Dengan adanya penggolongan ini, maka sengketa pewarisan perlu melihat hukum mana yang sesuai dan yang berlaku bagi orang yang bersangkutan. Pembagian Hukum Waris ini terbentuk karena adanya penggolongan warga negara pada masa penjajahan Belanda, dimana setiap golongan masyarakat pada saat itu memiliki hukumnya masing-masing. Efek dari penggolongan masyarakat ini ternyata masih dapat dirasakan hingga sekarang, misalnya seperti dalam hukum pewarisan bagi golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa berlaku Hukum Waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, golongan Bumiputera dengan hukum adatnya masing-masing, dan juga golongan penduduk beragama Islam yang berlaku Hukum Waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam. Namun yang akan menjadi fokus pembahasan pada siaran kali ini adalah Hukum Waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk membagi warisan berdasarkan hukum Perdata, yaitu secara ab intestato (ahli waris menurut ketentuan undang-undang) dan testameinteir (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat). Dimana pembagian waris berdasarkan ab intestato diatur mengenai ahli waris yang berhak menerima warisan yaitu para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin, dan suami istri. Sedangkan pembagian waris berdasarkan testameinteir dijelaskan dalam Pasal 874 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa sebagian harta warisan dapat dibagikan sesuai undang-undang (pembagian berdasarkan golongan) dan sebagian harta warisan lagi dapat dibuat sebagai wasiat.
Terbukanya suatu warisan membuka juga kesempatan untuk seorang ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima, menolak, atau menerima harta warisan tersebut dengan syarat tertentu. Dengan terbukanya pilihan bagi seorang ahli waris, maka terdapat peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan.
Pihak-pihak yang berhak menuntut pembagian harta antara lain ahli waris, ahli waris dari ahli waris, orang yang membeli hak seorang ahli waris atas sebagian harta warisan, dan kreditur. Sedangkan kreditur dari pewaris tidak boleh menuntut pembagian harta warisan karena mereka dapat menuntut penyerahan barang yang sebelumnya sudah diberikan kepadanya secara legaat atau dapat menagih pembayaran piutangnya.
Disamping itu dalam undang-undang juga diatur mengenai syarat umum untuk membagikan dan mendapatkan harta warisan. Namun yang perlu diperhatikan terdapat harta kekayaan yang tidak dapat diwariskan, bentuk harta kekayaan (hak dan kewajiban) yang tidak dapat diwariskan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan harta kekayaan yang dapat diwariskan. Contohnya Hak dan Kewajiban dari Perjanjian Pemberian Kuasa, Hak dan Kewajiban dari Perjanjian Kerja, dan sebagainya.