Notulensi Siaran Radio 13 September 2017 “Alternatif Menyelesaikan Sengketa Hukum di Luar Pengadilan”

Notulensi Siaran Radio “Pojok Hukum”

Rabu, 13 September 2017 

Tema:

“Alternatif Menyelesaikan Sengketa Hukum di Luar Pengadilan

Oleh:

John Lumbantobing, S.H., LL.M, ACIArb.

dan

Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman

Universitas Katolik Parahyangan

 

Dalam menjalankan kehidupan, setiap manusia pasti dihadapkan dengan suatu konflik atau sengketa, terutama sengketa yang sering terjadi dalam ruang lingkup bisnis dan perdagangan. Sengketa merupakan perselisihan yang terjadi karena adanya pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Setiap sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui berbagai macam cara penyelesaian baik melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi. Penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan biasa disebut dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui beberapa metode seperti, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi, penilaian ahli, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan kali ini hanya berfokus pada metode penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan mediasi karena karena APS melalui mediasi dan arbitrase lebih sering digunakan masyarakat pada umumnya. Arbitrase dan mediasi dalam hukum Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU tentang Arbitrase dan APS).

Dalam Pasal 1 angka 1 UU tentang Arbitrase dan APS menjelaskan pengertian arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat ditempuh dengan hadirnya pihak ketiga yang disebut sebagai arbiter untuk mencapai suatu win-win solution. Biasanya arbitrase hanya menyelesaikan sengketa dalam bidang perdagangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU tentang Arbitrase dan APS). Artinya UU tersebut memberikan batasan penyelesaian sengketa hanya dalam perdagangan, apabila sengketa yang terjadi tidak termasuk ke dalam bidang perdagangan seperti tindak pidana, masalah perizinan, keputusan pejabat negara (TUN), dan sebagainya maka tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sedangkan, mediasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan di mana para pihak dihadirkan dan dilakukan negosiasi dengan bantuan seorang mediator. Secara singkat, mediasi yang dilakukan di pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan (Perma No. 1/2016). Metode mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi antara para pihak yang bersengketa, sehingga hasil akhirnya diharapkan terjadinya kesepakatan antar para pihak.

Baik arbitrase maupun mediasi memiliki karakterisiktik masing-masing. Dalam arbitrase terlihat bahwa kehadiran para pihak tidak diwajibkan untuk hadir dalam persidangan karena adanya kuasa hukum yang mewakili. Berbeda dengan mediasi kehadiran para pihak diwajibkan dengan alasan kuasa hukum hanya mendampingi proses sehingga pentingnya peranan dari pihak itu sendiri.

Kedua metode alternatif penyelesaian sengketa yang telah melewati proses-proses sebagaimana yang ditentukan akan menghasilkan suatu produk. Produk yang dihasilkan tentu berbeda pula di mana arbitrase menghasilkan suatu produk berupa putusan arbitrase nasional atau internasional, sedangkan mediasi menghasilkan suatu produk yang biasa disebut kesepakatan. Produk tersebut harus dipastikan dapat dilaksanakan sehingga para pihak harus melakukan tahapan berikutnya.

Secara singkat tahapan yang harus dilakukan terhadap putusan arbitrase nasional atau internasional yaitu dengan melakukan penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan autentik kepada pengadilan Negeri dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Kemudian akan dikeluarkan suatu perintah Ketua pengadilan terkait dengan ekseksusi (Pasal 64 UU tentang Arbitrase dan APS). Perintah yang dikeluarkan oleh Ketua pengadilan Negeri untuk menjalankan eksekusi tidak boleh bertentangan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat dibatalkan (Pasal 70 UU tentang Arbitrase dan APS). Sedangkan mediasi perlu membuat suatu kesepakatan yang dalam bentuk tertulis dan dikukuhkan oleh Hakim. Dari proses ini maka akan dibuatkan akta perdamaian dimana akta tersebut sudah memiliki kekutan hukum tetap (Pasal 1 butir 1 Perma No.02 Tahun 2003). Hal ini dilakukan untuk mencegah sengketa yang mungkin akan terjadi kembali di masa yang akan datang.

 Hasil gambar untuk mediasi

Baca Juga

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui...

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Penulis: Raymond Candela Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) merupakan suatu hukum positif yang mengatur ketentuan terkait rukun dan syarat perkawinan Islam di Indonesia....