Notulensi Siaran Radio 06 Maret 2019 “Praktik Impeachment di Indonesia”

 Rabu, 6 Maret 2019 

Tema:

“Praktik Impeachment di Indonesia”

Oleh:

Galuh Candra Purnamasari, S.H., M.H.

dan

Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan”

      Makzul menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Sedangkan, kata memakzulkan dalam KBBI memiliki arti menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan. Selain itu, memakzulkan memiliki arti meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai raja, berhenti sebagai raja. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tidak menggunakan kata makzul, memakzulkan, ataupun pemakzulan, tetapi menggunakan istilah diberhentikan atau pemberhentian. Istilah tersebut dalam bahasa Inggris dikenal sebagai impeachment.

      Praktik impeachment di Indonesia hanya dapat ditujukan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Praktik impeachmenterjadi di Indonesia pada saat pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Gus Dur. Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, telah terjadi peristiwa kelam di Indonesia yakni G-30 S/PKI yang berujung pada penggantian masa pemerintahan dari Presiden Soekarno menjadi Presiden Soeharto. Peristiwa tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang menghantarkan Indonesia kepada praktik impeachment. Dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/MPRS/1967 menjadi tanda bahwa praktik impeachment di Indonesia pertama kali terjadi. Alasan yang mendasari praktik ini adalah Presiden Soekarno tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

      Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur, praktik impeachment terjadi pada bulan Agustus 2001. Mekanisme yang dilakukan terhadap praktik impeachment tersebut dilakukan dengan menggelar sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hasil dari sidang istimewa tersebut menyatakan bahwa MPR mencabut mandat atau memberhentikan Presiden Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden Repbulik Indonesia. Adapun alasan yang mendasari hasil sidang istimewa tersebut yaitu bahwa Presiden Gus Dur telah menyimpang dari haluan negara, tidak hadir dan menolak memberi pertanggungjawaban dalam sidang istimewa MPR, serta menerbitkan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 yang dianggap inkonstitusional oleh MPR. Meskipun sidang istimewa MPR membuahkan hasil sebagaimana yang dijelaskan di atas, Presiden Gus Dur sempat berupaya mengeluarkan maklumat yang salah satunya adalah membubarkan MPR atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun upaya tersebut tentu tidak mendapat dukungan dari MPR sehingga Presiden Gus Dur digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.

      Selanjutnya berdasarkan Pasal 7B UUD 1945, prosedur impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah:

  1. Sebelum pengajuan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR kepada MPR, DPR terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. MK berkewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban tersebut terdapat di dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi yang merupakan perkara impeachment.
  2. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti yang sudah disebutkan di atas, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
  3. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.
  4. Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
  5. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Berdasarkan penjelasan mengenai impeachment yang pernah terjadi di Indonesia, memperlihatkan adanya kekuatan politik menjadi faktor utama yang menentukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dapat “dijatuhkan” oleh parlemen. Pada saat ini secara yuridis aturan impeachment sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun bukan berarti proses impeachment begitu saja lepas dari pengaruh politik. Apabila melihat dari hukum positif tersebut, masih terdapat proses yang belum jelas dan dapat menimbulkan permasalahan. Oleh karena itu, masih diperlukan konsep impeachment yang ideal, termasuk dalam mengontrol konflik kepentingan politik dalam proses impeachment.

URS Januari-April 2019_190412_0013 URS Januari-April 2019_190412_0015

Baca Juga

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui...

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Penulis: Raymond Candela Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) merupakan suatu hukum positif yang mengatur ketentuan terkait rukun dan syarat perkawinan Islam di Indonesia....