Mengunggah Potongan Film di Media Sosial, Boleh atau Tidak?

Narasumber: Bagus Fauzan, S.H., M.H.

Notulen : Calista Aspasia Purnomo

Dewasa ini, media sosial sudah digunakan oleh hampir semua kalangan. Hal ini tentu menyebabkan penyebaran informasi yang cukup pesat, khususnya sinematografi atau film yang termasuk dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Salah satu contohnya adalah penyebaran potongan film tanpa izin di berbagai media sosial secara bertahap hingga film tersebut selesai. Fenomena pengunggahan potongan film di berbagai platform media sosial ini menimbulkan pertentangan dari beberapa pihak, terutama dari insan kreatif yang terlibat dalam pembuatan film tersebut. Hal ini merugikan mereka karena masyarakat yang telah melihat cuplikan suatu film cenderung malas untuk menonton film yang sedang ditayangkan karena sudah mengetahui jalan cerita film tersebut. Lantas, hal ini menimbulkan pertanyaan terkait apakah mengunggah potongan film di platform media sosial diperbolehkan?

Film atau sinematografi merupakan jenis Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi khususnya dengan Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC), dinyatakan bahwa:

“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Selanjutnya, dalam Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC diatur bahwa ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang salah satunya adalah karya sinematografi. Berdasarkan kedua pasal tersebut, Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada kreator melalui ide yang diwujudkan menjadi suatu kreasi yang nyata, yaitu film. 

Sebagai sebuah ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta karya sinematografi memiliki hak eksklusif, yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUHC, hak moral merupakan hak yang melekat secara pribadi pada diri pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta. Adapun, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e UUHC, pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta memiliki hak moral untuk mempertahankan haknya dalam hal terjadinya distorsi, mutilasi, modifikasi ciptaan atau hak yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Sementara itu, hak ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUHC, merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Adapun, dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC, pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta berhak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya dalam hal terjadi penggandaan, pendistribusian dan/atau pengumuman ciptaannya. Dalam hal ini, tindakan memotong film menjadi sebuah cuplikan disebut sebagai mutilasi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, setiap orang yang melakukan mutilasi suatu karya cipta dan melaksanakan hak ekonomi di atas wajib mendapatkan izin dari pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta.

Lebih lanjut, selain Hak Cipta, di dalam UUHC diatur juga mengenai Hak Terkait. Berdasarkan Pasal 20 UUHC, Hak Terkait merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pelaku pertunjukan, produser fonogram dan lembaga penyiaran yang telah melakukan finalisasi dari sebuah karya cipta atau fiksasi. Dengan kata lain, pelaku pertunjukan, produser fonogram dan lembaga penyiaran memiliki hak eksklusif yang sama dengan pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta, namun mereka melakukan upaya yang lebih dalam membuat suatu karya yang baru.

Berkaitan dengan fenomena pengunggahan cuplikan film di berbagai media sosial, terdapat beberapa pertentangan dari beberapa pihak. Di satu sisi terdapat pihak yang merasa diuntungkan karena dianggap bahwa tindakan tersebut merupakan promosi secara gratis. Akan tetapi, disisi lain terdapat pihak yang merasa dirugikan karena tindakan tersebut dilakukan tanpa izin dan digunakan untuk kepentingan pribadi. Berkaitan dengan pertentangan tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah hak moral dari pencipta. Berdasarkan UUHC, atas suatu karya cipta yang dipertontonkan atau bahkan digandakan untuk sesuatu yang bersifat komersial, pihak yang mempertontonkan atau menggandakan harus mendapat izin dari pencipta dan membayar sejumlah royalti. Akan tetapi, di dalam UUHC, diatur juga pembatasan-pembatasan pelindungan Hak Cipta terkait dengan hak ekonomi pelaku pertunjukan, produser fonogram, dan lembaga penyiaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUHC, yang meliputi:

  1. penggunaan kutipan singkat karya cipta untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; 
  2. penggandaan karya cipta hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan; 
  3. penggandaan karya cipta hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan 
  4. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu karya cipta dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.

Selain itu, dijelaskan juga mengenai perbuatan yang tidak termasuk sebagai pelanggaran terhadap Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 49 UUHC, yaitu perbuatan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan segala yang berkaitan dengan negara. Hal ini dikarenakan di dalam UUHC dikenal adanya prinsip pemakaian yang wajar (fair use). Prinsip ini menjelaskan bahwa siapapun yang ingin menggunakan karya cipta orang lain, harus mendapatkan izin dari pencipta, terlepas dari karya cipta tersebut dikomersilkan atau tidak. Oleh karena itu, sejalan dengan Pasal 9 ayat (3) UUHC, apabila kepentingan pengunggah karya film yang telah dimutilasi tersebut tidak bertujuan komersial dan mendapatkan izin dari pencipta, tindakan tersebut diperbolehkan oleh UUHC.

Selanjutnya, perbuatan seseorang yang menyebarkan cuplikan karya film ke media sosial dapat termasuk sebagai perbuatan pengumuman ciptaan, di mana perbuatan tersebut merupakan hak ekonomi dari pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta, sehingga harus mendapatkan izin dari pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta. Lebih lanjut, untuk menentukan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta yang merasa dirugikan atas pelanggaran Hak Cipta suatu karya film, perlu dilihat terlebih dahulu subjek dan objek dari pelanggar Hak Cipta tersebut. Pertama, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pencipta atau/pemegang Hak Cipta atas karya film tersebut dapat melaporkan subjek atau pihak yang menggandakan, memutilasi dan mendapatkan hak ekonomi tersebut kepada kepolisian. Adapun, berdasarkan Pasal 95 ayat (1) UUHC, pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta dapat melakukan alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase atau pengadilan dalam melakukan penyelesaian sengketa. Akan tetapi, dalam Pasal 95 ayat (4) UUHC, dijelaskan bahwa setiap pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait selain dalam bentuk pembajakan harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Indonesia. Apabila setelah dilakukan alternatif penyelesaian sengketa tidak ditemukan titik temu, maka pencipta dan atau pemegang Hak Cipta dapat mengajukan gugatan ganti rugi. Namun demikian, yang menarik dalam pelanggaran Hak Cipta karya film melalui media sosial UUHC tidak langsung dapat melakukan upaya hukum. Oleh karena itu, upaya hukum dapat dilakukan dengan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informatika dan Teknologi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Dalam Pasal 25 UU ITE, dijelaskan bahwa:

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, UUHC tidak melindungi sebuah karya film yang diunggah melalui internet, sehingga harus dilakukan pendekatan melalui UU ITE. Sementara itu, apabila pihak yang menggandakan, memutilasi dan mendapatkan hak ekonomi tersebut tidak dapat melakukan ganti rugi dan pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta masih merasa dirugikan secara moral, maka pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta dapat melaporkan pihak tersebut ke kepolisian. Hal ini dikarenakan, tindakan tersebut dapat dijerat Pasal 113 ayat (3) UUHC, yang menjelaskan bahwa:

“Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berdasarkan ketentuan tersebut, pihak yang menggandakan, memutilasi dan mendapatkan hak ekonomi secara komersial tanpa izin dari pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda.

Sementara itu, dalam hal upaya menghilangkan kerugian dari sudut pandang konten, Indonesia telah membuat Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 dan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik. Dalam hal ini, setiap pencipta, pemilik Hak Cipta dan/atau Pemilik Hak Terkait Film dapat melakukan upaya pelaporan terhadap Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk platform-platform yang dianggap melanggar Hak Cipta karya film melalui sistem elektronik untuk penggunaan secara komersial secara langsung maupun tidak langsung. Apabila tindakan tersebut telah diselidiki oleh tim ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika akan membuat keputusan apakah akan menutup konten tersebut atau terhadap hak aksesnya kepada platform tersebut. Akan tetapi, yang menjadi penting saat ini dalam UUHC tidak diatur mengenai audio visual, melainkan diatur mengenai potret, sehingga film yang merupakan karya cipta audio visual belum mendapatkan perlindungan secara eksplisit. Hal ini yang menjadi latar belakang Indonesia meratifikasi Beijing Treaty, yang mengatur terkait hak-hak terkait audio visual yang terdapat dalam medium internet atau nirkabel. Sehingga, saat ini sineas perfilman sudah mendapatkan perlindungan menyeluruh atas karya-karya film mereka.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta adalah sebuah seni. Di mana seni dan budaya Indonesia adalah karakter dari sebuah bangsa, baik seseorang maupun komunitas. Dengan memajukan seni dan budaya di Indonesia, maka dapat meningkatkan kualitas dan mengangkat harkat dan martabat bangsa apabila diberdayakan dengan baik. 

Tersedia di:

Baca Juga

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Perjanjian Perkawinan: Penting atau Tidak?

Narasumber: Lidwina Larasati Himawan, S.H., M.H. Notulen: Febri Patricia Margareth Simanjuntak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada dasarnya tidak memberikan definisi atau arti dari perjanjian perkawinan. Akan...

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Bagaimana Pengaturan Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan di Indonesia?

Penulis: Azka Muhammad Habib Pada dasarnya, perempuan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh laki-laki baik dari segi fisik, psikis, dan biologis.[1] Salah satu keunikan yang dimiliki perempuan khususnya dari segi biologis adalah siklus sistem...

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Kapan Memalsukan Tanda Tangan Bisa Dipidana?

Penulis: Tiara Nabila Dalam kehidupan sehari-hari tanda tangan bukanlah merupakan suatu hal yang asing. Setiap orang pernah menandatangani dokumen dalam bentuk apa pun. Tanda tangan dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen yang memerlukan persetujuan, dokumen resmi dari...