Menakar Negara Hukum Demokratis

Narasumber: Dominique Nicky F., S.H., M.H., MSc.

Indonesia merupakan negara hukum demokratis. Fakta tersebut telah tertuang dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 diatur bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum dengan kedaultan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Negara Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi sudah sepantasnya menjadikan penegakan hukum sebagai salah satu pilar utama pelaksanaan fungsi sebuah negara. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan. Dalam Laporan Indeks Demokrasi 2020 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) dipaparkan bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai angka 6,3. Angka tersebut merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam waktu 14 (empat belas) tahun terakhir.[1] Lantas hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: apa kabar hukum Indonesia dalam rangka penerapan demokrasi?

Demokrasi Indonesia telah terciderai beberapa praktik politik yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Pertama, tren menguatnya pengaruh militer dan kepolisian di dalam pemerintahan merupakan suatu fenomena politik yang timbul sebagai situasi yang dihadapi oleh kepemimpinan nasional, dalam hal ini Presiden. Bentuk yang paling riil ialah pilihan figur-figur yang memiliki latar belakang militer dan kepolisian menduduki jabatan-jabatan penting atau strategis di dalam pemerintahan, misalnya:

  • Menteri Pertahanan:
    Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto;
  • Menteri Koordinator
    Kemaritiman dan Investasi: Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan;
  • Menteri Dalam Negeri;
    Jenderal Polisi (Purn) M. Tito Karnavian;
  • Kantor Staf
    Kepresidenan: Jenderal (Purn) Moeldoko;
  • Kepala Badan Intelijen
    Negara: Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan; 
  • Wakil Kepala Badan
    Intelijen Negara: Letnan Jenderal TNI Teddy Lhaksmana Widya Kusuma; dan
  • Kepala Bulog: Komjen.
    Pol. (Purn) Budi Waseso.

Bahkan, sebelum dilakukan reshuffle pada 23 Desember 2020, Menteri Kesehatan dijabat oleh Letnan Jenderal (Purn) Terawan Agus Putranto sedangkan Menteri Agama dijabat oleh Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi.[2] Menguatnya pengaruh tersebut turut serta mewarnai kebijakan yang diputuskan oleh Presiden atau Pemerintah. Setidaknya di masa sebelum terjadinya pandemi Covid-19, ketergantungan Presiden terhadap institusi militer dan kepolisian sudah mulai nampak. Contohnya, pembangunan infrastruktur dan jaminan stabilitas keamanan di Tanah Papua[3], bantuan kemanusiaan dalam lingkup kebencanaan, pengelolaan sektor pangan, dan pembangunan desa. Dapat dikatakan ketergantungan terhadap militer dan kepolisian adalah kondisi yang tidak terhindarkan untuk mengawal visi dan kebijakan agar terlaksana tepat guna.

Selain fenomena yang telah disebutkan di atas, terdapat fenomena lain yang tidak kalah penting untuk dibahas dalam rangka menakar demokrasi di Indonesia. Fenomena tersebut terkait dinasti politik dan oligarki politik. Di beberapa daerah di Indonesia dapat terlihat praktik dinasti politik dan oligarki politik. Tentunya dinasti politik dan oligarki politik tidak sejalan dengan praktik demokrasi. Melalui praktik tersebut, sirkulasi politik akan terpusat pada 1 (satu) keluarga. Kekuasaan yang mereka dapatkan dipertahankan untuk menguasai sumber daya secara pribadi, bukan demi kepentingan umum. Dinasti politik sangat mempengaruhi jaringan birokrasi di suatu daerah, bahkan dinasti politik juga terjadi di tingkat pusat. Oleh karena itu, pendidikan politik masyarakat harus lebih ditingkatkan demi memutus rantai dinasti politik dan oligarki politik di Indonesia.

Kemudian, praktik lain yang sangat menciderai demokrasi di Indonesia adalah korupsi. Masyarakat tentu telah mengetahui bahwa korupsi merupakan musuh besar sekaligus racun bagi negara. Tidak dapat dipungkiri salah satu penyebab menguatnya korupsi adalah dinasti politik. Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah kepemimpinan yang kuat dalam institusi pemerintahan. Kepemimpinan tersebut tentu harus berpihak pada masyarakat. Untuk menduduki suatu jabatan, seorang harus memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Dalam menentukan seseorang untuk menduduki suatu jabatan, setidak-tidaknya ia harus memiliki rekam jejak dan kompetensi yang baik.

Sistem demokrasi di Indonesia saat ini masih banyak harus diperbaiki, namun sistem tersebut tetap dipertahankan. Hal ini dikarenakan melalui sistem demokrasi negara dapat mengganti kepemimpinan dengan cara damai, sehingga kekuasaan negara tidak terus menerus dipegang oleh  suatu pihak. Dengan demikian, kepentingan masyarakat akan terakomodasi, terutama terkait dengan kepentingan politik dan kehidupan bernegara. Demokrasi di Indonesia dinilai bercacat tidak terlepas dari peran partai politik sebagai aktornya. Visi, misi, dan kerja partai politik harus dikembalikan pada koridor yang seharusnya, yaitu sebagai pejuang kepentingan rakyat. Hukum dapat berperan dalam mewujudkan hal tersebut melalui undang-undang terkait dengan partai politik. Oleh sebab itu, sebaiknya segera dilakukan revisi terhadap undang-undang partai politik.

Referensi:

[1] DetikNews, Indeks Demokrasi 2020: Catat Skor Terendah dalam 14 Tahun Terakhirhttps://news.detik.com/dw/d-5361657/indeks-demokrasi-2020-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-14-tahun-terakhir (diakses 7 Maret 2021).

[2] Rizki Fachriansyah, Latest Cabinet reshuffle welcomes business heavyweights, politicians, https://www.thejakartapost.com/news/2020/12/22/latest-cabinet-reshuffle-welcomes-business-heavyweights-politicians.html (diakeses 22 Desember 2020).

[3] Kehadiran TNI-Polri di Papua untuk pastikan stabilitas keamanan, https://www.antaranews.com/berita/1865368/kehadiran-tni-polri-di-papua-untuk-pastikan-stabilitas-keamanan#mobile-src; Mendagri minta TNI dan Polri perkuat pengamanan Papua, https://www.antaranews.com/berita/1346310/mendagri-minta-tni-dan-polri-perkuat-pengamanan-papua; KontraS: TNI 76 Kali Langgar HAM dalam Setahun di 19 Provinsi, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201004123953-12-554155/kontras-tni-76-kali-langgar-ham-dalam-setahun-di-19-provinsi  (diakses pada 17 Januari 2021).

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...