Masih Perlukah Izin Atasan dalam Perceraian Anggota PNS?

Narasumber: Azka Muhammad Habib

Menurut Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasannya setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Akan tetapi, dalam menjalankan kehidupan berkeluarga, tidak dapat dipungkiri terdapat kondisi yang menyebabkan perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan sehingga terjadi perceraian. Beberapa alasan yang diperbolehkan untuk melaksanakan perceraian diatur dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang merumuskan: 

“Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; 
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; 
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.”

Berdasarkan rumusan penjelasan pasal di atas, Negara Indonesia memberikan jaminan bagi setiap Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) untuk melaksanakan perceraian sepanjang alasan yang mendasari perceraian sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Selain beberapa alasan perceraian di atas, bagi umat beragama muslim terdapat 2 (dua) alasan perceraian tambahan yang terdapat dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Alasan perceraian tersebut yaitu ketika suami melanggar taklik talak dan/atau ketika suami atau istri melakukan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Jaminan untuk melangsungkan perceraian berlaku bagi setiap WNI, tidak terkecuali bagi para Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS). Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, PNS didefinisikan sebagai: 

Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Berdasarkan ketentuan di atas, PNS merupakan WNI yang diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pada dasarnya pengaturan perceraian bagi PNS dan non-PNS di Indonesia diatur secara berbeda. Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP 10/1983) mengatur bahwa: 

Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;” (cetak tebal oleh penulis)

Berdasarkan ketentuan di atas, maka bagi pasangan yang salah satu atau kedua pihaknya merupakan PNS dan ingin mengajukan gugatan perceraian, dipersyaratkan adanya izin dari pejabat, sedangkan bagi non-PNS tidak terdapat persyaratan untuk memperoleh izin dari pejabat.[1] Oleh karena itu, dengan adanya persyaratan izin dari pejabat bagi PNS untuk melaksanakan perceraian menjadi sebuah pertanyaan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya menjamin hak bagi WNI untuk membentuk keluarga serta melaksanakan perceraian.

Berdasarkan Pasal 1 huruf b PP 10/1983, yang dimaksud dengan pejabat yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin perceraian adalah sebagai berikut: 

“Pejabat adalah

  1. Menteri;
  2. Jaksa Agung; 
  3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
  4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 
  5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
  6. Pimpinan Bank milik Negara;
  7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
  8. Pimpinan Bank milik Daerah;
  9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;” 

Berdasarkan pasal tersebut dapat terlihat bahwa yang dimaksud dengan pejabat sejatinya memiliki makna yang sama dengan atasan bagi PNS yang secara hierarki berada di atasnya. Sebagai ilustrasi, bagi pegawai Badan Usaha Milik Negara yang berstatus sebagai PNS dan ingin melakukan perceraian maka harus mendapat izin dari atasan yakni Pimpinan Badan Usaha Milik Negara. 

Ketentuan terkait kewajiban mendapatkan izin atasan PNS untuk melakukan perceraian bagi PNS menurut penulis telah memasuki ranah privasi yang seharusnya tidak dicampuri oleh pihak manapun termasuk negara. Hal ini karena sebagai anggota masyarakat, seseorang pada intinya memiliki privasi untuk menjalankan kegiatan rumah tangganya secara mandiri.[2] Maka dari itu, sejatinya patut dipertanyakan tujuan dari diaturnya izin atasan PNS dalam proses perceraian bagi PNS. Dalam tulisan ini, penulis akan mengkritisi pengaturan kewajiban izin perceraian bagi anggota PNS ditinjau dari sifat privasi urusan rumah tangga. 

Secara umum, privasi adalah aturan umum yang meliputi berbagai hak yang melekat dalam konsep kebebasan untuk diperintah, hak yang mencegah pemerintah mencampuri urusan individu untuk berhubungan dan berinteraksi, kebebasan individu untuk membuat pilihan hidup yang diterapkan pada dirinya, keluarganya, dan hubungannya dengan individu lain.[3] Berdasarkan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa urusan keluarga merupakan sebuah privasi serta sebuah kebebasan dari individu untuk menentukan pilihannya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Sedangkan, pengaturan terkait kewajiban adanya izin atasan PNS yang akan melaksanakan perceraian tampak jelas melanggar hak privasi yang dimiliki oleh PNS itu sendiri. Menurut penulis, izin dari atasan tersebut mencampuri urusan individu untuk menentukan pilihan hidup yang diterapkan pada diri dan keluarganya.

Sebelum lebih jauh membahas problematika keberlakuan izin perceraian bagi PNS, secara teori terdapat beberapa alasan mengapa izin atasan PNS dianggap perlu bagi PNS yang akan melakukan perceraian. Pertama, PNS merupakan aparatur negara yang menjadi teladan bagi masyarakat umum dari segi tingkah laku termasuk dalam menjalankan kehidupan berkeluarga.[4] Dikarenakan PNS adalah teladan bagi masyarakat umum, maka perceraian sedemikian mungkin harus dihindari agar citra PNS sebagai teladan masyarakat tetap terjaga. Kedua, dengan diaturnya izin atasan PNS akan memperketat syarat bagi PNS untuk melakukan perceraian. Izin atasan PNS juga adalah upaya memunculkan intervensi langsung bagi atasan untuk membantu PNS yang bersangkutan agar mengurungkan niat dan mengharmoniskan kembali rumah tangganya.[5] Intervensi dari atasan dapat berupa mediasi bagi para pihak yang ingin melakukan perceraian. Ketiga, izin atasan PNS dalam perceraian juga digunakan untuk mencapai tertib administrasi berkaitan dengan tunjangan yang diperoleh oleh PNS apabila perceraian dikabulkan oleh pengadilan.[6] Hal ini dikarenakan apabila perceraian dikabulkan, maka tunjangan keluarga [7] tidak akan lagi diberikan kepada PNS yang bersangkutan.[8] 

Menurut Pasal 12 PP 10/1983, atas surat permohonan izin perceraian yang diajukan oleh PNS, seorang atasan PNS mengeluarkan kebijakan berupa penolakan maupun perizinan.[9] Berdasarkan ketentuan tersebut dapat terlihat bahwa izin atasan PNS memiliki peran penting dalam proses perceraian bagi PNS, di mana izin atasan PNS tersebut akan menentukan apakah proses perceraian dapat dilanjutkan ke pengadilan atau tidak. Melihat pentingnya izin atasan PNS ini, maka penulis berpendapat bahwa apabila permohonan izin perceraian yang diajukan oleh PNS ditolak oleh atasan PNS, akan berpotensi menghambat proses perceraian itu sendiri. Pada dasarnya, keberadaan surat izin atasan PNS menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 (selanjutnya disebut SEMA 5/1984) hanya mewajibkan hakim untuk mengingatkan kepada PNS yang bersangkutan akan adanya hukum disiplin pegawai.[10] Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa hakim hanya berhak untuk mengingatkan semata dan tidak boleh menolak gugatan perceraian dengan alasan tidak adanya izin atasan PNS.

Dalam Putusan Pengadilan Agama Lubuk Pakam 2059/Pdt.G/2019/PA.Lpk, Pemohon yang merupakan seorang PNS telah mengajukan permohonan untuk memperoleh izin dari atasannya agar dapat melakukan perceraian.[11] Akan tetapi, sampai dengan 3 (tiga) bulan setelah diajukannya permohonan tersebut, surat izin dari atasan untuk melakukan perceraian tidak kunjung diberikan.[12] Dikarenakan surat izin tidak kunjung diberikan oleh atasannya, Pemohon membuat surat menanggung risiko agar sidang perceraian tetap dapat dilaksanakan tanpa adanya surat izin atasan PNS.[13] Keberadaan surat menanggung risiko sendiri dalam praktik kerap kali direkomendasikan oleh pengacara atau hakim kepada Pemohon bagi PNS yang akan bercerai tanpa izin atasan PNS. Dengan adanya surat pernyataan siap menanggung risiko Hakim sudah dapat melihat tekad dan keseriusan Pemohon untuk melakukan perceraian tanpa surat izin atasan PNS.[14] Proses perceraian yang dilangsungkan tanpa surat izin atasan PNS, dapat mengakibatkan dikenakannya hukuman disiplin pada Pemohon, sebab Pemohon telah melakukan perceraian tanpa izin dari atasannya.[15] Terhadap pemberian sanksi berupa hukuman disiplin ini, menurut penulis akan menjadi tidak adil ketika seorang PNS yang memutuskan untuk bercerai harus membuat surat menanggung risiko yang berdampak pada karirnya sebagai PNS. Menurut penulis, pemberian sanksi terhadap PNS yang melangsungkan proses perceraian tanpa adanya surat izin atasan PNS bukanlah suatu hal yang tepat mengingat bahwa pemberian sanksi ini termasuk upaya intervensi pemerintah terhadap perceraian yang akan dilakukan oleh PNS.

Dalam Putusan Pengadilan Agama Lubuk Pakam 2059/Pdt.G/2019/PA.Lpk, hakim menimbang bahwa keberadaan surat izin atasan PNS bersifat tidak mengikat serta bukanlah bagian dari hukum acara dan hukum materiil dari UU Perkawinan.[16] Selain itu, dalam perkara tersebut PNS yang bersangkutan telah berupaya untuk mendapatkan izin dari atasan, tetapi atasan yang bersangkutan tidak kunjung memberikan izin tersebut.[17] Dalam perkara tersebut hakim juga menimbang apabila hubungan perkawinan yang sudah rusak (broken marriage) tidak diputus secepatnya akan mendatangkan kerusakan yang lebih dalam keluarga yang bersangkutan.[18] Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa keberadaan izin atasan PNS dalam proses perceraian tidak tepat jika diberikan peranan yang penting, sehingga seharusnya izin atasan PNS tidak boleh menjadi penghambat bagi PNS yang ingin melaksanakan perceraian. 

Di sisi lain, terdapat pula hakim yang menilai bahwa izin atasan PNS dalam proses perceraian merupakan suatu hal yang penting. Hal ini ditunjukkan dari adanya hakim yang menunda bahkan menolak proses persidangan perceraian bagi PNS yang belum memiliki surat izin atasan.[19] Hal ini sejalan dengan Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 158/Pdt.G/2020/PN.Sda di mana hakim tidak menerima gugatan yang bersangkutan dikarenakan tidak adanya izin atasan PNS.[20] Penundaan sidang perceraian dengan alasan belum adanya izin atasan PNS dapat merugikan PNS yang bersangkutan dari segi waktu dan biaya, bahkan hal tersebut melanggar prinsip keadilan yang mengedepankan asas persidangan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.[21] Merujuk pada Putusan Pengadilan Agama Lubuk Pakam 2059/Pdt.G/2019/PA.Lpk dan Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 158/Pdt.G/2020/PN.Sda yang telah dipaparkan oleh penulis, menjadi suatu kebingungan karena dalam praktiknya antar pengadilan belum memiliki keseragaman dalam menangani perkara perceraian bagi PNS sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

Perceraian yang tertunda dikarenakan proses izin atasan PNS dapat memberikan dampak buruk bagi pasangan maupun kondisi keluarga yang bersangkutan. Sebagai ilustrasi, seorang istri yang merupakan PNS mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya mengajukan permohonan izin melakukan perceraian kepada atasan. Akan tetapi, izin tersebut tidak kunjung diberikan oleh atasan. Dikarenakan sang istri sudah tidak tahan atas perlakuan suaminya, sang istri pun mengajukan gugatan perceraian tanpa izin atasan PNS ke pengadilan. Akan tetapi, hakim dalam sidang perkara tersebut memutuskan untuk menunda persidangan dengan alasan belum adanya izin dari atasan sang istri. Sang istri juga disarankan agar membuat surat pernyataan siap menanggung risiko agar persidangan tetap dapat berjalan tanpa izin atasan PNS. Dengan demikian, jika sang istri membuat surat pernyataan siap menanggung risiko, artinya dirinya berpotensi dijatuhi hukuman disiplin PNS. Melihat ilustrasi di atas, kewajiban adanya surat izin atasan PNS yang menyebabkan persidangan perceraian tertunda berpotensi memberikan waktu yang lebih lama bagi istri untuk mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Selain itu, apabila perceraian yang diajukan dikabulkan dengan adanya surat pernyataan siap menanggung risiko, sang istri harus menderita kembali melalui pemberian hukuman disiplin PNS. Maka dari itu, dengan diaturnya alasan untuk melakukan perceraian dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, maka hakim seharusnya memeriksa dan menentukan gugatan tersebut dapat dikabulkan atau tidak tanpa perlu adanya izin atasan PNS yang bersifat administratif. 

Penulis berpendapat bahwa persyaratan izin atasan PNS bagi PNS yang akan bercerai merupakan hal yang tidak tepat jika dikaitkan dengan kebutuhan tertib administrasi. Lebih lanjut, kebutuhan tertib administrasi dapat tercapai dengan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terkait kewajiban bagi PNS yang bercerai untuk melaporkan perceraian mereka. Pada dasarnya ketentuan mengenai kewajiban pelaporan perceraian bagi PNS diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PP 10/1983 yang mewajibkan setiap PNS untuk melaporkan perceraian paling lambat 1 (satu) bulan setelah terjadinya perceraian. Lebih lanjut, Pasal 15 ayat (1) PP 10/1983 juga mengatur mengenai sanksi bagi PNS yang tidak melaporkan perceraian yang dialami berupa hukuman disiplin berat. Melihat keberlakuan dari kewajiban pelaporan perceraian bagi PNS, maka penulis merasa seharusnya yang perlu diperhatikan adalah pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaporan kondisi perceraian alih-alih berfokus pada pemberian izin atasan PNS terhadap PNS yang akan melakukan perceraian. 

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menilai bahwa izin atasan PNS dalam proses perceraian merupakan tindakan intervensi terhadap privasi seseorang yang berlebihan. Hal tersebut dikarenakan seseorang memiliki hak untuk menentukan jalan bagi diri dan keluarganya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Selain itu izin atasan PNS akan menjadi penghambat dalam proses persidangan perceraian yang seharusnya mengedepankan asas persidangan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hambatan berupa surat izin atasan PNS akan sangat berdampak bagi hubungan perkawinan yang sudah rusak (broken marriage). Selain itu, belum adanya keseragaman dalam praktik di pengadilan saat menghadapi perceraian PNS yang tidak memperoleh izin atasan PNS juga semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih menurut SEMA 5/1984 menyatakan bahwa hakim hanya berkewajiban untuk mengingatkan kepada PNS yang ingin bercerai akan adanya disiplin PNS, bukan menolak perkara perceraian tersebut. Melihat adanya sanksi yang akan diberikan kepada PNS yang melakukan perceraian tanpa adanya izin atasan PNS melainkan menggunakan surat menanggung risiko menurut penulis bukanlah sesuatu yang tepat. Menurut penulis, akan lebih baik jika pemberian sanksi yang berkaitan dengan kewajiban tertib administratif ditujukan bagi PNS yang tidak melaporkan perceraian yang telah dikabulkan oleh pengadilan, bukan bagi PNS yang tidak mendapatkan surat izin atasan PNS untuk melangsungkan perceraian. Berdasarkan pemaparan penulis di atas, penulis sampai pada suatu kesimpulan bahwa pengaturan terkait izin atasan PNS dalam proses perceraian bagi PNS tidak memiliki suatu urgensi dan sepatutnya dihapus. 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang R.I., No. 1 Tahun 1974, Perkawinan, L.N.R.I. Tahun 1974 No. 1.

Undang-Undang R.I., No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia, L.N.R.I. Tahun 1999 No. 165.

Peraturan Pemerintah R.I., No. 45 Tahun 1990, Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, L.N.R.I. Tahun 1990.

Surat Edaran Mahkamah Agung R.I., No. 5 Tahun 1984, Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.

Referensi : 

[1] Abdullah Taufik, Analisis Yuridis Tentang Peraturan Perceraian Bagi Aparatur Sipil Negara Di Instansi Polisi Republik Indonesia, https://www.jurnal.adhkiindonesia.or.id/index.php/ADHKI/article/download/111/53

[2] Muhlas, Seberapa Urgen Izin Dari Atasan Untuk Perceraian Bagi PNS, https://www.pta-jayapura.go.id/134-artikel-literasi/499-seberapa-urgen-izin-dari-atasan-untuk-perceraian-bagi-pns

[3] A. Garner, Bryan (ed), 1999, Black’s Law Dictionary seventh Edition, St. Paul Minn, New York. 

[4] Denni Herdiansyah dan Sukiati, Urgensi Surat Izin Atasan Perceraian PNS Pada Putusan Pengadilan Agama No.2059/Pdt.G/2019/PA.Lpk Perspektif Advokat Kota Medan, 4 Jurnal Preferensi Hukum. 310, 311 (2023).

[5] Mulida Hayati Syaifullah, Pemberian Ijin Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, 5 Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai. 725, 727 (2020).

[6] Denni Herdiansyah dan Sukiati, supra catatan no. 4, pada 315.

[7] Tunjangan keluarga adalah pendapatan tambahan di luar dari gaji pokok PNS yang terdiri atas tunjangan suami/istri dan tunjangan anak.

[8] Denni Herdiansyah dan Sukiati, supra catatan no. 4, pada 318.

[9] Fitria dkk, Reformulasi Hukum Perceraian Pegawai Negeri Sipil Dalam Penyetaraan Hak Privat Warga Negara 156 (BULLET, Bangka Belitung, 2022)

[10] Amelia Chandra Utami dan Setyaningsih Setyaningsih, Ditolaknya Gugatan Perceraian Karena Tidak Adanya Surat Izin Perceraian Pegawai Negeri Sipil, 3 Reformasi Hukum Trisakti.188, 199 (2021).

[11] Denni Herdiansyah dan Sukiati, supra catatan no. 4, pada 316.

[12] Id.

[13] Id.

[14] Id.

[15] Id.

[16] Id., pada 319.

[17] Id.

[18] Id.

[19] Id., pada 313.

[20] Amelia Chandra Utami dan Setyaningsih Setyaningsih, supra catatan no. 10, pada 195.

[21] Denni Herdiansyah dan Sukiati, supra catatan no. 4, pada 313.

Tersedia di :

Spotify

Spotify for Podcasters

Baca Juga

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Perkawinan Islam yang Tidak Dicatatkan, Apa Solusinya?

Penulis: Raymond Candela Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) merupakan suatu hukum positif yang mengatur ketentuan terkait rukun dan syarat perkawinan Islam di Indonesia....

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan dalam Hukum Positif di Indonesia

Oleh: Ilham Restu Ramadhani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) merupakan Program Revolusi di bidang agraria yang sering disebut dengan Agrarian Reform Indonesia, salah satu isi dari program tersebut...