Penulis: Binar Pancar Oman




Dalam beberapa tahun terakhir, pengaduan masyarakat terkait dugaan malapraktik yang dilakukan oleh tenaga medis terus muncul dan menjadi perhatian. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin langsung menyampaikan data dalam rapat anggota Komisi IX DPR-RI, bahwa telah terdapat 51 kasus malapraktik yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu antara tahun 2023-2025. Kasus malapraktik yang terjadi di Indonesia tersebut sebagian besar menyebabkan dampak yang serius sampai dengan kematian, dari 51 kasus yang ditemukan sebanyak 24 kasus dicatatkan menyebabkan kematian karena malapraktik.[1]
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia malapraktik sendiri memiliki pengertian sebagai tindakan yang dilakukan oleh kedokteran yang salah, tidak tepat dan menyalahi undang-undang atau kode etik. Dengan begitu dapat dikatakan pula bahwa malapraktik adalah tindakan menyimpang yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis seperti perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dari standar praktik profesional yang berlaku dan diakui. Pada dasarnya Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa seringkali malapraktik dapat terjadi jika adanya dugaan penyelewengan atau penyimpangan terhadap standar operasional prosedur (yang selanjutnya disebut SOP), kemudian kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh dokter atau tenaga medis, dan yang terakhir adalah buruknya penyampaian informasi antara dokter atau tenaga medis kepada pasien. Menurut seorang ahli hukum Busyra mengatakan bahwa terdapat empat kriteria malapraktik yang dapat dibawa ke ranah hukum, yaitu adanya hubungan terapeutik [2] antara dokter dengan pasien, adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter, adanya kerugian yang timbul dan dialami oleh pasien misalkan seperti cedera, dan yang terakhir adalah adanya hubungan langsung antara kesalahan dengan kerugiannya.[3]
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa penegakan disiplin dalam profesi medis merupakan hal yang dasar dan esensial. Hal tersebut penting karena agar setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga medis dokter atau tenaga medis seperti perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dapat dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. Selain itu Indonesia sendiri telah mengatur hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (yang selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran). Penegakan disiplin profesi dalam UU Praktik Kedokteran dilakukan melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (yang selanjutnya disebut MKDKI). MKDKI memiliki peran sebagai lembaga pengawas dan penegakan aturan bagi dokter dan dokter gigi serta berhak melakukan investigasi pengaduan dan pemberian sanksi disiplin.[4] Pada dasarnya pembentukan MKDKI memiliki peran sebagai lembaga yang otonom di bawah Konsil kedokteran Indonesia (yang selanjutnya disebut KKI).[5] MKDKI memiliki tugas utama seperti menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran disiplin yang terjadi. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat dilihat bahwa MKDKI memiliki peran yang sangat penting dalam penegakan disiplin profesi, akan tetapi MKDKI hanya terbatas mengawasi dokter dan dokter gigi.
Seiring dengan perkembangan dalam praktik kedokteran di Indonesia, UU Praktik Kedokteran mengalami perubahan yang cukup signifikan. UU Praktik Kedokteran dicabut oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (yang selanjutnya disebut UU Kesehatan). Perubahan menjadi UU Kesehatan tersebut berdampak pula pada proses dan juga lembaga penegakan disiplin profesi, yang semula MKDKI kemudian berganti menjadi Majelis Disiplin profesi (yang selanjutnya disebut MDP). Perubahan tersebut bertujuan untuk memperkuat sistem pengawasan dan penegakan disiplin yang lebih efektif dan efisien. MKDKI dan MDP ini memiliki beberapa perbedaan antara lain:
- MDP ini memiliki cakupan yang lebih luas dengan mencakup dokter atau tenaga medis seperti perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya tidak sebatas pada dokter dan dokter gigi. Anggota dalam MDP ini harus memahami etika, hukum kedokteran, dan disiplin untuk memproses pelanggaran dengan adil dan profesional;[6]
- MDP memiliki mekanisme pemeriksaan, persidangan, dan penjatuhan sanksi yang lebih baik dan sistematis dibandingkan dengan MKDKI. Proses pemeriksaan, persidangan dan penjatuhan sanksi yang dimaksud dalam kalimat sebelumnya, diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023;
- Selain itu, perbedaan lain antara MKDKI dan MDP dapat dilihat dari transparansi, MKDKI lebih tertutup dan bersifat sentralistik sementara MDP lebih melibatkan berbagai pihak;
- MDP juga memiliki peran baru yang penting yaitu sebagai screening system atau sebagai penyaring pertama terhadap adanya dugaan kasus malapraktik. Hal tersebut menjadi penting karena dalam penanganan suatu masalah dapat menjadi lebih proporsional. Hal tersebut dikarenakan penyelesaian dapat melalui penyelesaian internal terlebih dahulu sebelum masuk ke ranah hukum seperti gugatan perdata atau tuntutan pidana. Perubahan yang awalnya MKDKI menjadi MDP tetap memiliki tujuan yang sama yaitu memperkuat tata kelola layanan kesehatan nasional.[7]
Dengan begitu keberadaan MDP menjadi penting karena apabila masyarakat mengalami kerugian akibat malapraktik, dan ingin meminta pertanggung jawaban kepada dokter atau tenaga medis seperti perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan, lainnya maka harus mengetahui terlebih dahulu apakah hal yang dilakukan tersebut telah melanggar standar operasional prosedur atau tidak.
Berdasarkan Pasal 306 jo. 308 UU Kesehatan, MDP berwenang menjatuhkan sanksi disiplin yang berupa peringatan tertulis, kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di penyelenggara pendidikan di bidang Kesehatan atau Rumah Sakit pendidikan terdekat yang memiliki kompetensi untuk melakukan pelatihan tersebut, kemudian penonaktifan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk sementara waktu, dan/atau rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) dan juga memberikan rekomendasi sanksi pidana maupun sanksi pertanggungjawaban perdata yang dapat dijadikan pertimbangan bagi aparat penegak hukum. Rekomendasi yang dimaksud dalam Pasal 308 ayat 1 sampai 6 UU Kesehatan adalah sebelum dokter atau tenaga medis seperti perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya diproses secara hukum, harus ada rekomendasi dari MDP. Dalam perkara pidana, rekomendasi diminta oleh penyidik (PPNS atau Polri) melalui permohonan tertulis. Untuk perkara perdata (gugatan ganti rugi), rekomendasi dapat diminta oleh tenaga medis sendiri atau kuasanya, juga lewat surat, setelah ada gugatan dari pasien, keluarga, kuasanya. Lebih lanjut, isi dari rekomendasi pada dasarnya menilai apakah tindakan yang dilakukan telah sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Kementerian Kesehatan kemudian menurunkan aturan operasional yaitu dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Penegakan Disiplin Profesi Tenaga Medis Dan Tenaga Kesehatan (yang selanjutnya disebut Permenkes 3/2025). Berdasarkan Bab III Permenkes 3/2025 yang mengatur mengenai pengaduan, pengaduan dugaan pelanggaran disiplin dapat diajukan oleh pasien dan/atau keluarga pasien yang dirugikan langsung kepada MDP. Pengaduan diajukan tanpa harus melalui fasilitas kesehatan terlebih dahulu, dan dibuat secara tertulis (dapat melalui sistem informasi atau manual). Pengaduan melalui sistem informasi dapat diakses melalui tautan https://kki.go.id/page/read/layanan-pengaduan-disiplin-profesi.Pengaduan minimal mencakup identitas pengadu, data teradu (nama dan alamat tempat praktek), waktu dan tempat tindakan, kronologi kejadian, uraian dugaan pelanggaran, serta pernyataan kesediaan hadir di sidang dan persetujuan membuka rekam medis untuk kepentingan pemeriksaan. Setelah diterima, sekretariat/panitera MDP melakukan verifikasi administratif atas kelengkapan berkas, lalu menyampaikan pengaduan yang lengkap kepada majelis untuk ditindaklanjuti pada tahap pemeriksaan (pemanggilan para pihak, permintaan tanggapan, dan penjadwalan sidang).
Dengan begitu adanya MDP yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan berdasarkan UU Kesehatan dan PP 28/2024 memberi wadah aduan yang terstruktur bagi korban dugaan malapraktik sekaligus instrumen penegakan disiplin profesi yang lebih luas daripada MKDKI. MDP berwenang menerima pengaduan, memeriksa, dan memutus ada atau tidaknya pelanggaran disiplin serta menjatuhkan sanksi disiplin dan memberikan rekomendasi yang menjadi prasyarat sebelum proses pidana atau perdata berlanjut. Dalam hal tata cara pengaduannya, Permenkes 3/2025 memberikan tata cara pengaduan langsung ke MDP oleh pasien/keluarga berikut kelengkapan minimal dan alur verifikasi hingga pemeriksaan.
Dasar Hukum
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Penegakan Disiplin Profesi Tenaga Medis Dan Tenaga Kesehatan
Referensi
[1] Gede Arga Adrian, Malapraktik Berulang di Indonesia Bukan Sekadar Angka, https://www.ums.ac.id/berita/teropong-jagat/malapraktik-berulang-di-indonesia-bukan-sekadar-angka, (diakses pada 17 Oktober 2025).
[2] Terapeutik merupakan perjanjian atau kontrak yang dibuat antara pasien dengan dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan dimana tenaga kesehatan akan berjanji berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien.
[3] ibid.
[4] Gunawan Widjaja, Transformasi Penegakan Disiplin Profesi Medis: Dari Mkdki Ke Majelis Disiplin Profesi Sebagai Screening System Dugaan Malpraktik, Jurnal of Community Dedication Vol. 4 No. 4 Agustus 2025, hal., 149-160.
[5] Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H., Secarik Catatan untuk Majelis Disiplin Dokter, https://law.ui.ac.id/secarik-catatan-untuk-majelis-disiplin-dokter-oleh-dr-wahyu-andrianto-s-h-m-h/, (diakses pada 14 Oktober 2025).
[6] opcit. hlm 149-160.
[7] ibid. hlm 149-160.


