Konstruksi Hukum Pertanggungjawaban Pidana Para Pelaku Pembunuhan Brigadir J

Narasumber: Dr. Anne Safrina Kurniasari, S.H., LL.M.

Notulen: Nicolas Wianto

Perkembangan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (selanjutnya disebut Brigadir J) pada bulan Agustus 2022 adalah penetapan 5 (lima) orang tersangka, yaitu Bharada Richard Eliezer (selanjutnya disebut Bharada E), Ricky Rizal (selanjutnya disebut Brigadir RR), Kuat Maruf (selanjutnya disebut KM), Inspektorat Jenderal Polisi Ferdy Sambo (selanjutnya disebut FS), dan Putri Chandrawati (selanjutnya disebut PC). Kelima tersangka tersebut memiliki perannya masing-masing dalam kasus pembunuhan Brigadir, sehingga pasal yang dikenakan kepada mereka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) juga berbeda. Bharada E dijerat oleh Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 KUHP atau Pasal 338 KUHP jo. Pasal 56 KUHP. Brigadir RR, KM, FS, dan PC dijerat dengan pasal pembunuhan berencana, yaitu Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 KUHP atau Pasal 340 KUHP jo. Pasal 56 KUHP, subsidair Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 KUHP atau Pasal 338 jo. Pasal 56 KUHP. Hal yang akan dibahas adalah mengenai konstruksi hukum peran dan pasal yang dijeratkan kepada kelima tersangka pembunuhan Brigadir J.

Deelneming atau complicity atau keturutsertaan terjadi ketika suatu tindak pidana melibatkan beberapa orang. Deelneming diatur di dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP. Perbedaan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP terletak pada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dari orang yang terlibat sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah dihukum seperti pelaku / dader. Misalnya suatu ketentuan pidana terhadap dader diancam maksimal 15 (lima belas) tahun penjara, maka pertanggungjawaban pidana dari pelaku lain yang terkualifikasi Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sama dengan dader tadi, yaitu maksimal 15 (lima belas) tahun penjara. Alasan Pasal 56 KUHP dibedakan dari Pasal 55 KUHP adalah status dari pelaku tindak pidana adalah hanya sebagai pembantu, di mana bantuan dilakukan pada saat atau sebelum terjadinya tindak pidana. Pasal 56 KUHP juga menjelaskan bahwa bantuan yang dilakukan sebelum tindak pidana berupa pemberian kesempatan, sarana atau keterangan. Peran pelaku tindak pidana sebagai pembantu hukuman maksimalnya dijelaskan oleh Pasal 57 KUHP, yaitu dikurangi ⅓ (satu per tiga) dari maksimum ancaman tindak pidana pokok. Apabila ancaman pidana yang diancamkan terhadap plegen adalah hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, maka ancaman pidana untuk yang membantu melakukan tindak pidana paling lama 15 (lima belas) tahun penjara.

Unsur terpenting dari penyertaan tindak pidana adalah yang terlibat dari suatu tindak pidana harus lebih dari 1 (satu) orang. Rumusan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP yang tidak mungkin dapat berdiri sendiri menunjukkan keterlibatan beberapa orang pada suatu tindak pidana. Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP menyebutkan 3 (tiga) bentuk penyertaan. Pertama adalah kualifikasi sebagai deelnemer adalah yang melakukan atau plegen, dengan orang yang melakukan disebut pleger. Kedua adalah menyuruh melakukan atau doen plegen dan orang yang menyuruh melakukan disebut doen pleger. Ketiga adalah turut melakukan atau medeplegen. Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP menjelaskan mengenai uitlokken dengan berbagai macam terjemahan ke Bahasa Indonesia, misalnya membujuk melakukan atau menghasut. P.A.F Lamintang melalui Buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia menerjemahkan uitlokken sebagai menggerakan. Hal yang jelas adalah bentuk dari uitlokken adalah harus terdapat insentif yang sudah ditentukan oleh Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, misalnya pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau keterpandangan, kekerasan, ancaman kekerasan, kebohongan, kesempatan, sarana, dan keterangan. Artinya, seseorang ingin melakukan tindak pidana karena diberi insentif sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP. Orang yang digerakkan sesuai ketentuan pasal tersebut dalam Bahasa Belanda disebut sebagai de uitgelokte. 

Terkait peran masing-masing pelaku, perlu dijabarkan terlebih dahulu perbedaan-perbedaan antara uitlokken, medeplegen, dan lainnya. Medeplegen mensyaratkan adanya kerja sama yang erat sedemikian rupa, baik secara fisik maupun kesadaran. Pada kasus ini, terdapat hierarki jabatan sehingga menarik untuk dikaji apakah termasuk doen plegen atau menyuruh melakukan. Doen plegen memiliki 2 (dua) subjek, yaitu orang yang menyuruh lakukan sebagai pelaku tidak langsung (manus domina) dan orang yang disuruh lakukan sebagai pelaku langsung (manus ministra). Pelaku tidak langsung disebut sebagai manus domina karena pelaku melakukan tindak pidana melalui perantaraan orang lain. Pelaku langsung sebagai materieele dader diposisikan sebagai manus ministra atau alat. Manus ministra dapat terjadi dikarenakan pelaku mengalami gangguan jiwa atau terdapat suatu keadaan atas dasar perintah jabatan atau terdapat suatu keadaan overmacht atau keadaan overmacht tersebut dalam artian noodtoestand. Keadaan noodtoestand tersebut dapat terjadi apabila di satu sisi suatu perbuatan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang, tetapi di sisi lain perbuatan tersebut akibat pelaku terancam jiwanya atau terdapat ketakutan dikarenakan keberlangsungan pekerjaan pelaku yang terancam. 

Apabila dikaitkan dengan kasus pembunuhan Brigadir J, apakah Bharada E terdapat di posisi tersebut, sehingga Bharada E melakukan suatu penembakan. Jika Bharada E melakukan perbuatan tersebut, maka dia dapat tergolong dalam keadaan overmacht dalam arti noodtoestand. Berdasarkan hal itu, noodtoestand terjadi ketika terdapat kepentingan dari Bharada E yang apabila tidak dilaksanakan sedemikian rupa memiliki suatu konsekuensi tertentu. Noodtoestand juga dapat terjadi apabila Bharada E sama sekali tidak memiliki schuld, artinya Bharada E hanya merupakan alat dalam melaksanakan tindakan tersebut.

Apabila membahas perintah jabatan, maka terlihat sekali perbedaan antara menyuruh melakukan dengan perintah jabatan. Pada menyuruh melakukan, terdapat pada rumusan Pasal 55 KUHP yang dari sudut teori menjelaskan mengenai pertanggungjawaban pidana. Apabila doen plegen diposisikan sebagai manus ministra, maka dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Perintah jabatan diatur dalam Pasal 51 KUHP. Ketentuan tersebut berbicara mengenai dasar-dasar yang meniadakan hukuman. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) KUHP jelas menyebutkan:

“Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.”

Persoalannya adalah mengenai kekuasaan yang berwenang dalam perintah jabatan tersebut. Jika suatu perintah jabatan didasarkan pada kekuasaan yang tidak berwenang, maka perlu membaca ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP yang berbunyi:

“Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah perintah tadi.”

Pasal 51 ayat (2) KUHP berbicara mengenai itikad baik yang mengandung subjektivitas. Dalam perintah jabatan, pasti terdapat subordinasi. Terkait dengan kasus pembunuhan Brigadir J, subordinasi terdapat pada hierarki jabatan kepolisian. Hierarki jabatan yang ada di kepolisian terdapat pada ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut Perkapolri 3/2016). Pada Perkapolri 3/2016 kepangkatan kepolisian dibagi menjadi 3 (tiga) layers, yaitu tamtama, bintara, dan perwira. Pada masing-masing layer terdapat pembagian yang lebih spesifik, misalnya pada tamtama terdapat 6 (enam) layers

Terkait dengan kasus pembunuhan Brigadir J, pembagian layers menjadi penting untuk melihat apakah bawahan dalam suatu hierarki kepolisian tidak dapat menolak perintah dari atasannya, terutama atasan yang berada pada layer yang paling atas. Dalam perintah jabatan ini, cara melaksanakan perintah harus seimbang atau wajar atau tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah melakukan pembunuhan tidak dapat diterima karena itu merupakan hal yang tidak patut. Pada saat terdapat perintah jabatan yang tidak patut, seharusnya orang yang menerima perintah tersebut dapat menolak. Salah satu doktrin Hukum Pidana yang mengatur mengenai patut tanpa batas atau kepatutan yang membabi buta tidak menghapuskan pidana. Anggapannya, bawahan harus memiliki sikap kritis terhadap perintah jabatan yang diberikan oleh atasan yang abus de droit atau menyalahgunakan kewenangan. Bharada E memiliki hierarki paling rendah dalam jabatan kepolisian berhadapan dengan perwira tinggi atau pati yang memiliki layers paling tinggi dalam jabatan kepolisian, yaitu berbeda 19 (sembilan belas) tingkatan dari bharada ke inspektur jenderal polisi atau irjen.

Apabila dilihat dari sudut motif, sulit untuk menentukan pertanggungjawaban karena motif terdapat pada benak pelaku yang diwujudkan dalam bentuk tindakan. Teori Hukum Pidana menjelaskan motif sebagai awal mula orang memiliki suatu niat atau maksud. Niat atau maksud dalam Hukum Pidana tidak dapat dikenakan pidana. Pada saat niat atau maksud itu diwujudkan dalam bentuk tindakan, dapat dikaji dari perkembangan dari niat ke wujud. Sengaja dalam Hukum Pidana berarti willens en wettens, yaitu menghendaki dan mengetahui. Hal ini berhubungan dengan suatu penuntutan untuk dapat dikatakan sengaja harus dilihat mengenai maksud atau niat. Hukum Pidana yang mencari kebenaran materiil perlu melihat niat atau maksud melalui penelusuran motif atau latar belakang. 

Motif atau latar belakang secara umum dapat dilihat pada niat atau maksud yang diwujudkan pada kesengajaan yang terjadi, yaitu sengaja menghilangkan nyawa Brigadir J. Pada kesempatan ini, akan diandaikan mengenai motif kasus tersebut karena kasus tersebut masih dalam proses pengadilan. Apabila ternyata kasus ini memiliki keterkaitan dengan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, maka jangan sampai sidang dilakukan secara tertutup. Hingga saat ini, perkembangan sampai kepada niat atau maksud dikarenakan adanya suatu kemarahan yang terjadi pada diri FS. Motif dari PC bisa jadi ingin melindungi FS. Tersangka lain belum terungkap dari media apakah motifnya iri hati atau kepentingan jabatan atau kepentingan ekonomi. Misalnya RR sebagai brigadir polisi kepala atau bripka yang ingin menaikkan pangkatnya, sehingga RR mungkin saja memiliki kepentingan jabatan. Apabila melihat KM sebagai supir, lebih terlihat terdapat suatu kepentingan ekonomi atau iri hati. Motif dari Bharada E mungkin adalah kepentingan pribadi, yaitu Bharada E berada pada posisi apabila dia tidak melakukan tindakan yang diperintahkan oleh FS dengan perbedaan 19 (sembilan belas) tingkatan jabatan, maka Bharada E menjadi takut dipecat. Motif akan terlihat pada sidang pengadilan. Perkara pembunuhan Brigadir J terhadap para tersangka kemungkinan besar akan dilaksanakan melalui sidang terpisah agar seorang tersangka dapat menjadi saksi pada sidang tersangka yang lain.

Apabila dilihat dari pertanggungjawaban pidana, terdapat konstruksi hukum yang berbeda-beda mengenai pertanggungjawaban masing-masing tersangka. FS sebagai orang yang memerintahkan, entah itu dalam kapasitasnya sebagai orang yang menyuruh melakukan, membujuk, atau yang lainnya. Hal yang jelas FS berperan sebagai pleger karena melakukan penembakan. Keterlibatan FS dalam kasus ini semakin memberatkan FS karena adanya skenario yang dibuat sendiri oleh FS. Perlu dilihat juga pada saat Bharada E melakukan penembakan, apakah Brigadir J telah mati atau masih hidup. Apabila Brigadir J masih hidup, maka posisi Bharada E terkategori sebagai percobaan pembunuhan, bukan menghilangkan nyawa. Pada FS, jelas hal yang dilakukan adalah final karena dia melakukan penembakan sehingga mengakibatkan meninggalnya Brigadir J.

RR dan KM perlu ditelusuri lebih lanjut dalam persidangan peranannya dalam kasus ini karena masih kurang jelas. Namun, dalam pemberitaan yang beredar persoalannya RR dan KM sempat ikut dalam pembicaraan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengemukakan keterangan bahwa FS memanggil RR, KM, dan PC untuk membicarakan terkait perencanaan terhadap Brigadir J. Konstruksi hukum dari RR dan KM yang ikut dalam perencanaan adalah sebagai medeplegen karena mereka tahu terdapat penembakan. Persoalannya adalah pada saat terjadi perencanaan, RR dan KM sudah dijanjikan oleh FS dan PC akan diberikan imbalan masing-masing. Mengenai Bharada E sendiri belum diketahui apakah dia tergiur dengan imbalan tersebut. Apabila mereka menerima imbalan, maka konstruksi hukumnya mereka adalah sebagai uitlokken yang terdiri dari orang yang membujuk atau uitlokker dan orang yang dibujuk atau uitgelokte. Uigelokte biasanya menjadi pelaku atau pleger. Artinya, apabila orang hanya menonton suatu pembunuhan, maka tidak dapat dikategorikan sebagai uitgelokte.

Medeplichtigheid atau membantu melakukan tindak pidana dapat terjadi apabila RR dan KM hanya diam saja dengan kategori pembantuan secara pasif. Konstruksi hukum demikian terjadi karena seharusnya RR dan KM tidak diam saja. Apabila RR dan KM hanya bersikap pasif, maka mereka dapat dikategorikan sebagai medeplichtige.

Bharada E mungkin berperan sebagai pleger karena dia melakukan penembakan. Selain itu, Bharada E juga dapat dikonstruksikan sebagai medepleger apabila peran Bharada E dalam perencanaan tersebut utuh atau Bharada E memiliki opzet terhadap pembunuhan Brigadir J. Namun berdasarkan pemberitaan, Bharada E terlihat seperti tidak memiliki opzet untuk melakukan pembunuhan Brigadir J. Apabila Bharada E memiliki niat, harus digali oleh pengadilan. Pengacara Bharada E yang pertama pernah menjelaskan bahwa Bharada E sempat akan diberi insentif Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Persoalannya adalah apakah Bharada E tergiur akan insentif tersebut. Bisa jadi juga Bharada E hanya patuh sebagai bawahan yang berada di kepangkatan kepolisian paling bawah kepada atasannya yang berjarak 19 (sembilan belas) layers di atas Bharada E. 

Bharada E sebagai anggota kepolisian dididik untuk taat pada atasan, sehingga mungkin tidak memiliki pemikiran kritis terhadap suatu jabatan dapat dikategorikan sebagai manus ministra. Bharada E memiliki kesadaran dalam melakukan penembakan, namun Bharada E mungkin memiliki ketakutan akan siksaan atau pencopotan jabatan atau ikut ditembak, sehingga Bharada E dapat dikatakan berada dalam tekanan. Bharada E sebagai alat tidak dapat melakukan perlawanan, sehingga ketakutan terhadap atasan bisa jadi dapat dikategorikan sebagai overmacht dalam arti noodtoestand atau bisa jadi Bharada E dikategorikan sebagai manus ministra. Apabila Bharada E terkategori sebagai manus ministra, maka Bharada E tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Atas dasar Bharada E yang berada dalam keadaan noodtoestand inilah, terdapat dasar yang meniadakan pemidanaan bagi Bharada E. 

Pertanggungjawaban pidana yang terdapat pada Pasal 55 KUHP adalah pertanggungjawaban yang sama seperti dader. Apabila dader diancam dengan pidana mati, maka orang yang terkonstruksi ke dalam Pasal 55 KUHP akan diancam dengan pidana mati. Meskipun demikian, apabila terdapat manus ministra, maka manus minsitra tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah manus domina. Konstruksi hukum apabila terdapat medeplichtige, maka terdapat pengurangan hukuman terhadap ancaman pidana penjara, yaitu ⅓ (satu per tiga) dari ancaman pidana penjara. Namun, apabila diancam dengan pidana mati, dalam konteks medeplichtige terdapat pengurangan pemidanaan, yaitu maksimal 15 (lima belas) tahun penjara.

Hal yang perlu diperhatikan terakhir adalah konstruksi hukum yang dilakukan pada pembahasan kali ini bersifat berandai-andai untuk mencoba melihat konstruksi hukum mengenai pertanggungjawaban pidana dari para pelaku atau orang yang terlibat pembunuhan Brigadir J dipandang dari sudut teori deelneming Hukum Pidana. Pembahasan masih berandai-andai karena fakta dan bukti terbatas atau hanya didasarkan pada referensi yang didapat dari berbagai pihak yang dikemukakan di media sosial. Tentu saja dari pemberitaan tersebut masih banyak yang perlu penjelasan. Harapan dari narasumber, semoga kasus ini menjadi terang benderang di sidang pengadilan karena di sidang pengadilan akan terungkap peran masing-masing tersangka yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J ini.

Tersedia di:

Baca Juga

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Reduksi (Lagi) Makna Keadilan Restoratif Dalam RUU HAP

Penulis: A.M.Fariduddin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan) Keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang mengedepankan rekonsiliasi dan pemulihan berbasis kebutuhan terhadap korban, pelaku, dan lingkungan yang terdampak suatu tindak pidana.[1]...

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Dilema Jual Beli Akun Driver Ojek Online: Bolehkah Diperjualbelikan?

Narasumber: Jesslyn Kartawidjaja, S.H., M.M., M.Kn.Notulen: Puan Riela Putri RismanJual beli akun driver ojek online merupakan suatu fenomena yang kerap kali terjadi dalam masyarakat. Salah satu alasan yang melatarbelakangi adanya jual beli akun driver ojek online...

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAPS SJK: Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

Penulis: Damar Raihan Akbar Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan dalam industri jasa keuangan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PUJK) dengan konsumen, berpotensi memunculkan berbagai permasalahan yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak dari...