



Penulis: Olivia Agatha Kusuma (Dosen Fakaultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)
Sistem peradilan pidana Indonesia berada di persimpangan jalan. Perdebatan mengenai siapa yang memiliki kewenangan penyidikan mengemuka sebagai salah satu isu krusial dalam perumusan RUU HAP. Di satu sisi, terdapat prinsip diferensiasi fungsional yang menggariskan batas tegas kewenangan tiap lembaga dalam proses peradilan pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan). Dalam konteks ini, terutama yang disoroti ialah kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum. Penyidik bertanggung jawab penuh dalam penyidikan, sementara Jaksa memiliki kewenangan eksklusif dalam penuntutan. Di sisi lain, asas dominus litis berbicara mengenai siapa pengendali perkara pidana. Secara harfiah frasa dominus litis itu sendiri diambil dari bahasa Latin yang berarti “pemilik perkara”. Asas dominus litis menegaskan bahwa Jaksa memiliki kendali penuh atas perkara pidana sejak awal hingga akhir proses peradilan sebagai Penuntut Umum, yang harus menjalankan perkara sampai ke proses persidangan berdasarkan hasil penyidikan dari Penyidik.
Substansi KUHAP yang berlaku saat ini lebih menekankan pada asas diferensiasi fungsional daripada dominus litis. Hal ini merupakan hasil pergulatan sejarah hukum acara pidana Indonesia, di mana sebelum KUHAP berlaku, ada percampuran kewenangan antara Penyidik dan Penuntut Umum, sebab Penuntut Umum pada saat itu memiliki kewenangan sebagai Penyidik Lanjutan. Namun demikian, meskipun asas diferensiasi fungsional ini penting dan tampaknya perlu dipertahankan, asas dominus litis juga sama pentingnya dan tetap harus dipertahankan. Keseimbangan yang diusulkan dari FGD ini, dimaksudkan sebagai berikut:
- Tidak memilih/condong hanya ke salah satu asas dan mengesampingkan yang lain;
- Sistem yang dikembangkan adalah sistem hybrid (campuran), dengan mensintesiskan keunggulan dari masing-masing asas;
- Keseimbangan ini harus ditampakkan dan dikembangkan dalam suatu proses yang saat ini sudah ada yaitu prapenuntutan.
Tindak Pidana Umum
Dalam konteks Tindak Pidana Umum, perdebatan utama berkisar pada sejauh mana peran Jaksa dapat diperluas dalam proses penyidikan. Diferensiasi fungsional mengakui bahwa Penyidik Polri memiliki kewenangan penuh selama proses penyidikan, sementara Jaksa baru mulai berperan dalam tahap prapenuntutan. Namun, dengan adanya asas dominus litis yang menempatkan Jaksa sebagai pengendali utama perkara pidana, sejatinya menimbulkan konsekuensi bahwa Jaksa memiliki tanggung jawab untuk memastikan hasil penyidikan dari Penyidik layak digunakan dalam proses peradilan. Oleh karena itu, diusulkan penerapan sistem hybrid yang menggabungkan keunggulan kedua asas tersebut. Dalam sistem campuran semacam ini, koordinasi dan konsultasi antara Penyidik dan Jaksa seharusnya menjadi mutlak harus ada dan harus kontinu/berkelanjutan pada proses penyelidikan, penyidikan dan prapenuntutan. Hal ini bukan menegasikan Polri dan PPNS sebagai Penyidik, ataupun memindahkan secara penuh kewenangan Penyidikan pada Jaksa, melainkan bahwa Jaksa perlu dilibatkan dalam hal-hal tertentu sejak tahap Penyidikan, sehingga tidak hanya baru berperan sejak tahap prapenuntutan. Penyidikan tetap berada di bawah kewenangan Polri, PPNS, atau Penyidik Tertentu, namun dengan peningkatan peran Penuntut Umum sejak tahap awal. Sejak penyelidikan dan/atau penyidikan, seharusnya Penuntut Umum memperoleh surat dimulainya penyelidikan dan/atau penyidikan (SPDP) agar Penuntut Umum dapat melakukan monitoring.
Salah satu usulan perluasan keterlibatan Jaksa pada proses Penyidikan tersebut yaitu Penuntut Umum seharusnya memiliki kewenangan memberikan pendapat atau pertimbangan mengikat mengenai kualifikasi hukum tindak pidana (pasal mana yang disangkakan) sejak tahap penyidikan. Mengikat artinya bukan harus diikuti secara persis, melainkan mengikat untuk dipertimbangkan secara serius oleh Penyidik. Konsekuensi apabila pertimbangan kualifikasi tindak pidana tersebut diabaikan oleh Penyidik tanpa alasan yang kuat, maka Jaksa berhak menolak berkas perkara (Berita Acara) dari Penyidik. Peran Jaksa dalam hal ini adalah mengawal proses penyidikan agar kualifikasi hukum suatu perkara menjadi lebih presisi ketika digulirkan ke persidangan, selain itu juga berguna untuk mempersingkat waktu proses prapenuntutan. Guna memberikan pertimbangan kualifikasi hukum tindak pidana, maka Jaksa juga perlu diberikan kewenangan untuk meminta laporan perkembangan penyidikan serta memberikan usulan mengenai alat bukti dan/atau barang bukti (apa yang masih diperlukan dan sebagainya), tanpa mengintervensi aspek teknis penyidikan (sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 36 RUU HAP).
Proses prapenuntutan seharusnya dipersingkat, dengan PPNS dan Penyidik Tertentu berada langsung di bawah garis koordinasi dan konsultasi dengan Penuntut Umum, guna mencegah distorsi hasil penyidikan yang sering terjadi akibat terlalu banyaknya jenjang birokrasi. Pembatasan frekuensi koordinasi dan konsultasi hanya 1 (satu) kali juga perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan efektivitas penegakan hukum. Dari FGD ini diusulkan bahwa jumlah koordinasi dan konsultasi harus dapat dilakukan berkali-kali sesuai kebutuhan. Selain itu, dalam rangka mempersingkat waktu prapenuntutan, perlu ada ketentuan jangka waktu yang lebih singkat bagi Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan dari Berita Acara yang diserahkan Penyidik.
Tindak Pidana Khusus
Dalam konteks Tindak Pidana Khusus, kewenangan Jaksa sebagai penyidik masih menjadi perdebatan, sebab berdasarkan asas diferensiasi fungsional, seharusnya Jaksa tidak mungkin menjadi Penyidik. Namun di sisi lain berdasarkan asas dominus litis, Jaksa bertanggung jawab memastikan hasil penyidikan layak digunakan dalam proses di persidangan. Hanya pada beberapa tindak pidana khusus saja, Jaksa memiliki kewenangan sebagai Penyidik.
Adapun argumentasi yang mendukung diperlukannya kewenangan penyidikan Jaksa sebenarnya hanya didasarkan pada alasan sosiologis, bukan yuridis. Beberapa di antaranya yaitu reputasi dan pengalaman Kejaksaan dalam menyidik Tindak Pidana Korupsi sering kali dianggap lebih unggul dibandingkan institusi lain. Kompleksitas hukum dalam Tindak Pidana Khusus juga menjadi faktor utama yang mendorong diperlukannya peran lebih aktif Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Khusus, karena penangangan kasus ini kerap kali membutuhkan pemahaman hukum yang lebih mendalam dibandingkan tindak pidana konvensional. Jika alasan-alasan sosiologis ini diterima, maka kewenangan Jaksa dalam penyidikan tidak seharusnya terbatas pada Tindak Pidana Korupsi dan kasus Pelanggaran HAM Berat seperti status quo yang berlaku, tetapi juga diperluas menjadi Tindak Pidana Khusus lainnya seperti Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana di bidang Perpajakan, dan sebagainya. Perlu digarisbawahi bahwa kewenangan Jaksa untuk melakukan Penyidikan tetap merupakan pengecualian, sehingga pada prinsipnya Polri tetap merupakan lembaga yang memegang kewenangan Penyidikan utama.
Dalam struktur kelembagaan, perlu juga dilakukan perubahan mendasar. Penyidik dalam draf RUU HAP terdiri dari Penyidik Polri, PPNS, dan Penyidik Tertentu. PPNS terdiri dari penyidik
di lingkungan bea cukai, imigrasi, dsb. Sementara Penyidik Tertentu yakni dari KPK, Kejaksaan, dan OJK. Sejumlah pandangan dalam FGD ini menyoroti bahwa seharusnya Penyidik Tertentu termasuk juga lembaga lainnya seperti BNN, DJP, dan sebagainya mengingat beragamnya jenis Tindak Pidana Khusus. PPNS dan Penyidik Tertentu juga seharusnya tidak perlu berada di bawah supervisi Penyidik Polri, melainkan langsung berada di bawah garis koordinasi dengan Jaksa, sehingga dapat tercapai dua hal: 1) Semua fungsi penyidikan tetap berada pada Polisi tanpa tumpang tindih dengan Jaksa (diferensiasi fungsional), sementara 2) Dominus Litis tetap menjadi kewenangan Jaksa.
Sebagai dominus litis, diusulkan pula bahwa Jaksa berperan sejak awal proses hukum, yakni sejak penyelidikan. Namun keterlibatan ini berupa pengawasan. Jaksa saat ini tidak memiliki kewenangan mengawasi penyelidikan dan penyidikan, sehingga tidak dapat memastikan apakah penghentian perkara (SP3) sudah sesuai prosedur. Jaksa seharusnya dilibatkan sejak tahap penyelidikan untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan.
Perihal perizinan dalam proses penyidikan dan penuntutan, dipandang sangat perlu untuk mengembalikan gagasan adanya Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP), yang nantinya diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan izin dan menilai jalannya baik penyidikan maupun penuntutan. Sementara fungsi saling mengawasi antara Penyidik dan Jaksa tidak perlu dihilangkan, namun justru harus semakin diperkuat, misalnya dengan memberikan kewenangan penghentian penuntutan bagi Penyidik dan kewenangan penghentian penyidikan bagi Jaksa. Usulan adanya kewenangan ini tentu bukan dimaksudkan untuk mencegat satu sama lain, melainkan sebagai mekanisme kontrol. Koordinasi dan konsultasi antara Penyidik dengan Jaksa, oleh karenanya, menjadi hal yang mutlak dilakukan tanpa ada batasan frekuensi waktu.[1]
Dengan demikian, beberapa rekomendasi utama dapat disimpulkan, antara lain:
- Perlu ada keseimbangan diferensiasi fungsional dan dominus litis dengan cara membentuk sistem hybrid yang mengadopsi keunggulan dari kedua prinsip, memanfaatkan tahap yang sudah ada sekarang yaitu prapenuntutan.
- Koordinasi dan konsultasi antara Penyidik dan Jaksa perlu diperkuat dan tidak dibatasi.
- Jaksa sebaiknya dilibatkan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan dalam hal kualifikasi hukum tindak pidana, tanpa intervensi aspek teknis penyidikan.
- Sistem pengawasan PPNS (serta Penyidik Tertentu) perlu dilakukan agar PPNS langsung berada di bawah koordinasi Jaksa tanpa melalui Penyidik Polri, agar mengurangi distorsi yang diakibatkan oleh birokrasi berlebihan.
- Mekanisme pengawasan antara Penyidik dan Jaksa perlu ada dalam proses penyidikan dan penuntutan.
- Jaksa dari bebagai lembaga seharusnya diberikan kewenangan sebagai Penyidik (Penyidik Tertentu) tidak hanya terbatas pada kasus Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat saja, melainkan diperluas cakupan tindak pidana khusus lainnya dalam frasa “lembaga yang menangani Tindak Pidana Khusus”.
- Perlu digarisbawahi bahwa kewenangan Jaksa untuk melakukan Penyidikan tetap merupakan pengecualian.
Dasar Hukum:
- Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
[1] Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) draf RUU HAP, koordinasi dan konsultasi secara intensif antara Penuntut Umum dan Penyidik (dalam prapenuntutan) dibatasi hanya 1 (satu) kali untuk setiap perkara.