Narasumber : Dr. Niken Savitri, S.H., MCL.
Angka kasus kekerasan seksual di Indonesia dewasa ini mengalami peningkatan.[1] Sejalan dengan keadaan ini, Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” Universitas Katolik Parahyangan (selanjutnya disingkat sebagai LBH “Pengayoman” UNPAR) juga sedang banyak menangani kasus mengenai kekerasan seksual. Kondisi ini juga tidak luput bahkan dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (selanjutnya disingkat sebagai Covid-19).
Salah satu permasalahan Klien yang sedang ditangani oleh LBH “Pengayoman” UNPAR juga terkait dengan kekerasan seksual. Permasalahan bermula dari mantan kekasih Klien yang meminta foto Klien tanpa busana dengan ancaman akan memutuskan Klien jika menolak untuk mengirimkan foto tersebut. Kondisi ini menyebabkan Klien akhirnya memberikan foto tanpa busana kepada mantan kekasih Klien. Akan tetapi, setelah hubungan Klien dan mantan kekasih Klien berakhir, foto tanpa busana milik Klien tersebar diberbagai media sosial tanpa seizin Klien.
Permasalahan di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual Revenge Porn atau balas dendam porno. Revenge Porn sendiri memiliki pengertian sebagai balas dendam dengan cara mendistribusikan gambar atau video seksual yang eksplisit, tanpa persetuan dari pihak yang bersangkutan.[2] Tidak hanya Revenge Porn, permasalahan Klien ini juga dapat dikategorikan sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online.
Kasus yang dihadapi oleh Klien ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Kekerasan seksual sendiri didefinisikan oleh Pasal 1 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut sebagai RUU PKS), yaitu:
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Terkhusus dalam masa pandemi Covid-19, perlu disadari bahwa kekerasan seksual yang sering terjadi adalah Kekerasan Berbasis Gender Online dan kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disingkat sebagai KDRT).
Salah satu alasan kondisi di atas terjadi adalah karena keadaan psikologi seseorang dapat saja terganggu karena diharuskan berdiam diri di rumah atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Hal ini tentu dapat mengakibatkan peningkatan intensitas stress yang menyebabkan kekerasan.[3] Sementara secara spesifik untuk permasalahan Kekerasan Berbasis Gender Online, hal ini sejalan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang menyebabkan masyarakat lebih banyak menggunakan jaringan untuk berkomunikasi satu sama lain. Tidak hanya itu, mulai banyak bermunculan platform media sosial yang memudahkan penyebaran maupun pemerolehan informasi dan data seseorang. Di sisi lain, secara psikologi, orang cenderung lebih berani melakukan kekerasan seksual secara Online karena orang tersebut tidak bertatapan langsung dengan korban dan pelaku tersebut dapat dengan mudah memalsukan identitasnya sehingga tidak mudah untuk dilacak.
Selanjutnya perlu diketahui lebih lanjut bahwa KBGO tidak hanya sebatas penyebaran gambar atau video seksual tanpa konsen pihak bersangkutan, tetapi memiliki banyak sekali macam bentuk. Adapun bentuk-bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online lainnya dapat terdiri dari: [4]
- Cyber
hacking; - Cyber
harassment; - Impersonation;
- Cyber
Recruitment; - Cyber
Stalking; - Malicious
Distribution; - Revenge
Porn; dan - Morphing.
Hukum Indonesia sendiri sudah mulai mencoba untuk mengatasi permasalahan-permasalahan mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Akan tetapi, permasalahan mengenai kekerasan seksual sering kali tidak terselesaikan menggunakan hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh berbagai alasan. Alasan pertama, terkadang pemahaman penegak hukum terhadap pasal-pasal dalam undang-undang di atas masih kurang. Alasan kedua adalah karena banyak dari pasal-pasal dalam undang-undang di atas merupakan delik aduan, sehingga laporan korban merupakan unsur yang esensial. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan korban dikarenakan banyak korban yang menganggap kekerasan seksual terhadapnya merupakan aib sehingga memilih untuk diam. Ketiga, mekanisme masyarakat Indonesia masih kurang peduli terhadap permasalahan kekerasan seksual. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa memberikan stigma yang kurang baik kepada para korban kekerasan seksual tanpa mau mendengarkan sisi korban. Alasan terakhir adalah penegak hukum masih kurang peduli dengan permasalahan kekerasan seksual dan menganggap kekerasan seksual merupakan hal yang biasa.
Sejalan dengan kondisi di atas, kekerasan seksual kerap terjadi pada lingkungan pendidikan tinggi atau universitas. Dengan melihat hal tersebut, adanya inisiatif dari Dr. Niken Savitri selaku perwakilan dosen Fakultas Hukum UNPAR yang bekerja sama juga dengan beberapa dosen dari fakultas ilmu sosial dan politik serta fakultas hukum, yang dibantu oleh LBH “Pengayoman” UNPAR dalam melakukan survey mengenai kekerasan seksual di UNPAR sebagai bentuk kepedulian terhadap kasus kekerasan sesksual yang terjadi di lingkungan UNPAR. Adapun respon dari para korespondensi yang terdiri baik dari kalangan mahasiswa, dosen, serta karyawan UNPAR menunjukkan bahwa terdapat ketakutan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual dalam lingkungan kampus terkait relasi kekuasaan, seperti takut tidak diluluskan jika diadukan. Ada juga yang menganggap bahwa dalam lingkungan kampus belum ada wadah yang tepat untuk melaporkan bilamana terjadi kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa seyogyanya seluruh universitas harusnya memiliki unit khusus yang dapat menangani permasalahan kekerasan seksual dengan standar operasi baku yang jelas. Unit ini juga memberikan rasa aman bagi seluruh masyarakat di suatu universitas.
Kondisi di atas harus menjadi perhatian bersama seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat harus mulai menyadari bahwa korban kekerasan seksual merupakan pihak yang seharusnya dilindungi dan tidak seharusnya diberikan stigma buruk. Jika masyarakat terus-menerus untuk tutup mata tentang fenomena kekerasan seksual ini dan menganggap remeh cerita para korban, maka akan banyak sekali korban di luar sana yang akhirnya menutup diri dan tidak mau menceritakan permasalahannya. Hal ini tentu mengakibatkan permasalahan mengenai kekerasan seksual di Indonesia akan susah untuk diatasi.
Referensi:
[1] Cindy, Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia Meningkat, https://www.medcom.id/nasional/politik/zNAYDJvN-kasus-kekerasan-seksual-di-indonesia-meningkat. (diakses pada tanggal 3 Januari 2021, pukul 10.20 WIB).
[2] Pulih, Fenomena Revenge Porn yang Berdampak Buruk pada Korban, http://yayasanpulih.org/2020/06/fenomena-revenge-porn-yang-berdampak-buruk-pada-korban/. (diakses pada tanggal 3 Januari 2021, pukul 10.30 WIB).
[3] Suwandi, Kekerasan Berbasis Gender Online jadi Sorotan Indonesia-Inggris, https://www.antaranews.com/berita/1898960/kekerasan-berbasis-gender-online-jadi-sorotan-indonesia-inggris (diakses pada tanggal 3 Januari 2021, pukul 10.35 WIB).
[4] Intan Khairunisa, Mengenal Bentuk-Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), https://ketik.unpad.ac.id/posts/981/mengenal-bentuk-bentuk-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-2, (diakses pada tanggal 15 Januari 2021, pukul 19.09 WIB).
Tersedia di: